Alpaca

58 5 0
                                    

Sinar matahari yang menerobos masuk lewat ventilasi udara membuat Andra menggeliat dalam tidurnya, sedikit ringisan terdengar ketika ia menggerakan badan dan langsung merasakan sakit meski tidak sesakit seperti semalam namun cukup membuatnya meringis. Matanya terbuka, dengan posisi terlentang ia menatap langit-langit kamar berwarna putih tulang lalu beralih menatap jam weker di sebelahnya yang sudah menunjukkan pukul 06:37.

Dengan kedua tangan yang ditekan pada kasur Andra berusaha bangun lalu menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Tanpa menunggu lama ia beranjak dari tempat tidur, berjalan tertatih ke arah kamar mandi.

Sekitar lima belas menit Andra sudah selesai dengan pakaian santainya, hari ini hari Sabtu dan harusnya ia masih masuk sekolah tapi mengingat kondisi tubuhnya yang seperti ini membuat Andra mengajukan izin saja. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, sakitnya sudah mulai reda karena efek dari obat yang semalam dia minum. Namun, berbanding terbalik dengan kondisi wajahnya saat ini, bibir sedikit bengkak dengan luka lebam dimana-mana tapi Andra tak ambil pusing dan lebih memilih untuk segera keluar kamar karena ia yakin Papanya sudah ada di ruang makan.

Tak … tak … tak ….

Suara langkah kaki terdengar nyaring saat Andra menuruni tangga di rumah besar yang sepi ini. Yap, seperti inilah hari-hari Andra di sini, kosong.

Pijakan kaki berlabuh di lantai dasar, sejenak Andra terdiam sambil sesekali menarik napas pelan sebelum akhirnya ia berbelok ke sisi kiri yang langsung membawanya ke ruang makan. Saat sampai di pintu masuk, netranya menangkap sosok tegap lengkap dengan jas hitam tengah terduduk di kursi dengan laptop di hadapannya.

Andra menunduk, tidak berani menatap pada seseorang yang selalu dihormatinya. Dengan langkah pelan Andra mendekat, menarik kursi dan duduk tepat di depan orang itu yang tak lain adalah Papanya sendiri.

Dimas -nama Papa Andra- mendongak, mengalihkan tatapan dari laptop ke arah anaknya yang baru datang dan tetap menunduk.

"Angkat kepala kamu." Suara tegas dan dingin menyapa indra pendengaran Andra.

Dengan takut Andra mengangkat kepalanya pelan. Tatapan keduanya bertemu, hanya beberapa detik sampai akhirnya Andra kembali menunduk.

Terdengar Dimas menghembuskan napas kasar.

"Ma-maaf," cicit Andra.

Gebrakan keras di meja makan membuat Andra terlonjak kaget, untung saja meja yang tersedia terbuat dari kayu bukan kaca. Jika itu kaca, bisa dibayangkan bagaimana nyaringnya jika pecah karena terlalu keras digebrak.

"Berdiri."

Tangan Andra saling meremat, ia benar-benar takut sekarang. Bahkan seluruh badannya sudah gemetar.

"BERDIRI PAPA BILANG!"

Dalam sekejap Andra berdiri tegak menatap takut pada papanya yang sudah menahan amarah. "Ma-maaf, Pa."

Dimas berjalan menghampiri Andra, tangannya sudah terkepal kuat.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi kiri Andra, rasanya sangat panas dan perih.

"KAPAN KAMU BERHENTI CARI MASALAH, HAH?!"

"Pa …."

Plak!

Lagi, kini di sebelah kanan.

Air mata Andra luruh membasahi pipinya yang kebas.

"UDAH BERAPA KALI PAPA BILANG CUKUP JADI ANAK YANG BAIK DAN JANGAN PERNAH BUAT MASALAH!"

"Pa … tapi-" Andra terjatuh sebelum menyelesaikan ucapannya, tamparan untuk ketiga kalinya ia dapatkan bahkan luka di sudut bibir yang mulai mengering kini kembali mengeluarkan darah segar. Andra menangis dalam diam, ia tak berani menatap orang di depannya.

SEMICOLON (COMPLETED)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora