The Moon is Beautiful, isn't?

22 3 0
                                    

Bingung, Fano menatap rumahnya yang tampak sepi dan terkunci, ia melihat ke sekitar berusaha mencari seseorang namun nihil tak menemukan siapa pun. Apa orang tuanya sudah berangkat lagi? Tapi kenapa mereka tidak memberi tahu terlebih dahulu? Dengan cepat ia mengambil handphone yang disimpan pada saku celana dan tanpa menunggu lama lagi ia mendial sebuah nomor milik mamanya.

Cukup lama menunggu sampai akhirnya terdengar jawaban dari sebrang sana.

"Aduh. Maaf, ya, Fan. Mama gak sempat ngabarin karena tadi urusan di kantor cabang mendesak banget."

Suara Nida terdengar menyesal dari dari sebrang sana, membuat Fano merasa tidak enak karena menghubungi wanita itu sekarang, harusnya ia bisa lebih mengerti dengan kesibukan yang dimiliki oleh kedua orang tuanya.

"Gak papa kok, Ma. Fano juga ngerti, barusan cuma kaget aja karena kalian gak ngabarin Fano dulu."

"Iya tadi Papa tiba-tiba ditelpon harus ke sini, ada sedikit kendala yang terjadi."

Fano mengangguk mendengar penjelasan yang diberikan oleh mamanya. Sadar dengan reaksinya yang tidak bisa dilihat oleh Nida ia kembali bersuara. "Jadi sekarang Mama ada di Bandung?"

"Iya, Sayang. Mama lagi di Bandung dan kemungkinan nginep tiga hari di sini."

Fano sedikit menjauhkan telponnya dari telinga, ia menghembuskan napas pelan. Padahal orang tuanya baru kembali tiga hari yang lalu dan sekarang harus sudah kembali ke sana, sebenarnya Fano tidak merasa kesal karena selalu ditinggalkan tapi yang membuatnya kesal adalah karena mereka selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja tanpa memikirkan kesehatan masing-masing.

"Fan, kamu masih di sana, Sayang?" Suara Nida terdengar kembali ketika ia kembali mendekatkan telponnya.

"Iya, Ma. Fano masih di sini."

"Kamu gak papa, kan, Mama tinggal?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh mamanya membuat Fano terkekeh pelan. "Fano gak papa, Ma. Tapi Mama sama papa jangan lupa istirahat. Janji sama Fano."

"Haha, iya, Sayang. Mama janji. Yaudah kalau gitu Mama tutup telponnya, ya? Kamu jangan lupa makan, bye anak Mama."

Tut!

Suara sambungan telepon yang terputus.

Lagi-lagi Fano terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir dengan perlakuan sang ibu seraya kembali memasukan handphone ke saku dan langsung mengambil kunci cadangan yang selalu dibawanya.

Pintu terbuka. Fano melangkahkan kakinya ke rumah minimalis itu, meskipun keluarganya termasuk dalam daftar keluarga kaya tapi mereka selalu menerapkan hidup sederhana. Bahkan di sini tidak ada ART karena permintaan dari nyonya rumah sendiri.

Tanpa memedulikan apa-apa lagi Fano melangkahkan kakinya ke arah kamar. Membuka pintu, menyimpan tas lalu membaringkan tubuhnya begitu saja. Rasa nyaman seolah langsung memeluk erat membuat Fano mengatur napasnya serileks mungkin.

Cukup lama pemuda itu diam dengan posisi terbaringnya sampai tiba-tiba ia bangun seraya berjalan ke arah lemari dan membukanya pada bagian paling atas. Tangan kekarnya kini memegang sebuah kotak yang cukup besar, dengan langkah pelan ia kembali duduk di ranjang.

Sejenak hanya menatap kotak itu tanpa berniat untuk membukanya. Cukup lama sampai akhirnya Fano memberanikan diri untuk membuka dan melihat isinya yang sudah lama tidak ia lihat.

Helaan napasnya terdengar berat seolah menyimpan sesak yang kentara.

Fano menatap isi di dalamnya tanpa ada niatan untuk menyentuh barang-barang itu. Lagi-lagi ia menghela sampai akhirnya kembali menjatuhkan tubuh ke ranjang dengan kotak yang masih setia di pahanya.

SEMICOLON (COMPLETED)Where stories live. Discover now