Pertanda Buruk

88 16 69
                                    




Menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, rasanya sangat tenang juga nyaman. Perlahan, kedua mata Gema terpejam. Tubuhnya sangat lelah, seharian ini sudah dipaksa untuk beraktivitas padat.

Selepas mengantarkan Kinara pulang, Gema langsung pulang namun bukannya membersihkan badan, Gema justru langsung jatuh tertidur. Belum lama ia terlelap, suara lembut yang sangat dikenali Gema memanggil namanya.

"Kak Gema. Kak Gema bangun," bisik seseorang dengan lembut di telinganya.

Kelopak mata Gema terbuka, wajah Kinara semakin jelas dalam penglihatannya.

"Kinara," gumam Gema dengan suara seraknya.

Senyum lembut di bibir Kinara menular pada Gema, dengan segera ia bangkit dari tidurnya dan bersandar di kepala ranjang.

"Kamu kenapa di sini? Ini udah mau magrib, Ki." Pandang Gema tertuju pada jam digital di atas nakas, sudah jam enam lewat lima.

Kinara masih bergeming, namun senyum lembut di bibirnya semakin merekah. Merasa ada yang aneh dengan Kinara, Gema berusaha menggenggam tangan gadis di hadapannya. Namun, saat tangan Gema terulur meraih tangan Kinara tiba-tiba saja tubuh Kinara menghilang.

"Kinara!" Gema langsung bangun. Napasnya memburu, pandangan matanya bergerak liar mengamati setiap sudut kamarnya. "Cuma mimpi," gumam Gema panik.

Sambil menetralkan kecemasannya, Gema meraih ponselnya untuk menghubungi Kinara. Perasaannya tidak enak setelah bermimpi tentang Kinara dan ingin memastikan gadis itu baik-baik saja.

Bukan nada sambung yang terdengar, melainkan suara mbak operator seluler mengalun merdu memberitahukan jika nomor yang dituju sedang tidak aktif. Gema berdecak, meremas ponselnya. "Jangan bikin aku khawatir, Kinara."

Karena teleponnya tidak mendapat jawaban, Gema langsung bangun, tanpa mencuci muka, tanpa mengganti pakaiannya, ia langsung ke luar dari kamar. Kakinya melangkah dengan tergesa-gesa, namun saat melewati ruang keluarga ia disapa bibi Wini.

"Aden, mau ke mana?" Bibi Wini yang kebetulan baru selesai membersihkan ruang keluarga, menyapa majikan mudanya.

Gema berbalik, menatap wanita paruh baya dengan daster kebesaran yang melayang-layang ditiup angin. "Mau ke rumah Kinara."

"Tapi Aden, kan, belum mandi. Makan juga belum. Nyonya sama Tuan pasti marah kalau tahu Aden melupakan waktu makan," ujar Bibi Wini. Raut kecemasan di wajah rentanya tak bisa ditutupi.

Dengan langkah malas, Gema mendekati bibi Wini yang memasang wajah cemas. "Bi, ini urgent. Gema janji setelah dari rumah Kinara, Gema langsung makan. Bibi jangan khawatir. Juga jangan kasih tahu masalah ini ke Papa dan Mama," jelas Gema dengan lugas. Urusan Kinara adalah hal yang paling penting bagi Gema. Akan Gema kesampingkan segalanya jika itu menyangkut gadis kesayangannya.

Bukannya merasa tenang, bibi Wini justru semakin khawatir. Sebagai orang yang dipercayakan untuk mengurus dan menjaga Gema, termasuk memastikan anak semata wayang majikannya itu makan tepat waktu. Ia tidak bisa mengiyakan keinginan Gema.

"Tapi Aden punya penyakit maag."

Gema kalah telak. Bantahan dan penjelasannya seakan patah, belum cukup sampai di situ sebuah fakta bahwa dirinya juga pernah dirawat di rumah sakit gara-gara telat makan, menamparnya keras.

"Bi, Gema harus benar-benar ketemu Kinara. Lagian tadi pas pulang dari main futsal Gema sama Kinara udah makan di luar," kilah Gema. Resah karena tak kunjung menemui Kinara, Gema memutar otaknya agar menemukan jalan.

Gerakan kecil saat Gema menggaruk lengan kanannya, tidak luput dari perhatian bibi Wini. Sebuah kebiasaan ketika Gema tengah berbohong, menyadarkan sang ART bahwa majikan mudanya itu sedang berada di keadaan yang mendesak sehingga harus berbohong.

Gemara [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang