Bagian 17

6 1 0
                                    

"Don, hentikan ini," lirih gadis dengan mengenggam erat kursi yang ia duduki.

Napasnya memendek setiap melihat apa yang dilakukan oleh manusia tak berakal di depannya. Sebutan itu sangat pas dengan orang yang sudah memberikan luka lahir dan batin pada gadis itu. Bukan hanya meninggalkan jejak di hati, namun juga fisiknya.

Namun, bukannya berhenti, ia malah semakin asyik membelai gadis tersebut dan membekap mulutnya dengan kain. Senyumnya muncul ketika dapat melakukan apa yang ia mau, tanpa perlawanan apa pun. Setelah mengikat gadis itu di kursi, ia akhirnya bisa melakukannya dengan mudah.

"Selene, Selene, kamu itu mau pertahanin apa sih? Lagi pula kamu udah jadi bekas, gak perlu khawatir," ucap sang pelaku tanpa dosa.

Suara gadis itu, Selene, hanya terdengar dengusan karena tertahan oleh kain yang menyumpal mulutnya. Tubuhnya sudah tak sanggup menerima hingga tak bisa melakukan sesuatu yang dapat melindungi tubuhnya. Sekarang ia hanya bisa berharap untuk mendapatkan pertolongan Ilahi kepadanya.

"Kenapa setiap melihat kamu aku selalu merasa puas? Seperti sekarang, kamu memang obat untukku, Selene," lanjutnya mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi Selene.

"Jika aku obat, kamu adalah luka yang selalu menganga, Doni," batin Selene yang mulai meneteskan air matanya.

Doni tertawa kencang sesaat setelah menatap Selene yang meneteskan air mata itu. Ia sampai terbatuk karena tawanya sendiri. Sementara Selene diam saja merutuki nasib kehidupannya yang sudah hancur. Tak ada yang harus ia perjuangkan, tak ada juga yang menerima perjuangannya.

Setelah puas tertawa, Doni melepaskan kain yang berada di mulut Selene. Ia mengecup bibir itu dan kembali menarik tubuhnya. Selene langsung memalingkan muka setelah bibirnya dikecup. Walau ia sudah diperlakukan lebih dari itu, namun dirinya merasa Doni adalah hal kotor yang harusnya tak menyentuh dirinya.

"Lepaskan aku, Don," ujar Selene dengan nada gemetar.

"Baiklah." Doni segera melepaskan ikatan pada kaki dan tangan Selene serta memberikan lembar pakaian yang baru sebagai pengganti yang sudah ia rusak.

"Kamu pakai parfum baru?" tanya Doni membuat gerakan Selene terhenti.

"Hanya mencoba," jawabnya tak santai.

Doni mendekat dan mencium wangi tubuh Selene yang sudah berpakaian rapi. Sontak Selene mundur dan membuat raut Doni langsung berubah.

"Aku pernah mencium wangi ini, tapi dimana?"

---

Izzah memperhatikan Maya yang terduduk di depan pintu kamar mereka. Cahaya matahari sore yang langsung menyilaukan mata tak digubris oleh Maya. Gadis itu tetap menatap ujung sepatunya dan sesekali bergumam tak jelas. Jika dihitung-hitung, mungkin ia sudah duduk di sana hampir dua jam lamanya. Terbukti dengan Izzah yang telah selesai mencuci, mandi, sampai membersihkan kamar tapi Maya masih duduk tak jelas di sana.

"Maya, masuk aja ke dalam. Kamu gak pegel duduk di sini dari tadi?" tegur salah seorang teman mereka dari kamar sebelah.

"Oh iya, iya," sahut Maya sambil memberikan senyum anehnya.

"Dia kenapa lagi?" gumam Izzah bertanya entah pada siapa.

Karena takut mati penasaran, Izzah pun menghampiri Maya dan ikut duduk. Sekarang mereka menikmati silaunya matahari sore bersama. Dengan kebodohan yang ada, Maya malah memberikan jempolnya ke arah Izzah.

"Kamu kenapa?" tanya Izzah perlahan.

Maya menoleh dan menggeleng. Gadis itu masih menatap ujung sepatu sembari sesekali memejamkan mata. Maya tetap tak bergeming dari tempat yang ia duduki. Tak peduli dengan omongan orang lain, Maya hanya ingin hidup dengan damai tanpa harus memikirkan masalah orang lain.

"Suka sama orang lagi?" Izzah kembali membuka suara sekian menit kemudian.

"Sekali pun aku suka, gak ada yang suka sama aku juga, Zah. Kenapa harus aku pikirin kalo yang itu?"

Izzah terdiam mendengar jawaban dari Maya. Tak biasanya ia mendengar kalimat seperti itu dari mulut Maya secara langsung. Gadis itu bukan seperti Maya yang ia kenal, yang selalu ceroboh, berbicara asal ceplos, hingga ketidakpeduliannya tentang orang yang ia suka.

"Maksudnya?" tanya Izzah bermaksud untuk menanyakan maksud ucapan Maya.

Terdengar tarikan napas oleh gadis itu, ia pun mengembuskannya dengan sedikit kasar. "Aku udah gak mudah suka sama orang."

"Apa?" Izzah benar-benar terkejut mendengar penuturan dari Maya.

"Maksudnya kamu udah biasa aja gitu kalau setiap ketemu cowok baru?" tanya Izzah sedikit antusias dari sebelumnya.

"Tapi, aku juga kurang yakin sih, Zah." Maya bersandar pada dinding kamar selagi menunggu pertanyaan Izzah selanjutnya.

Lama mereka saling berdiam diri, Maya lebih dulu berinisiatif untuk melepaskan sepatunya terlebih dahulu. Rasanya sudah sangat pegal, namun ia segan untuk membuka ikatan sepatu tersebut. Sama seperti, ia sangat tidak ingin membuka sebuah luka yang sebenarnya ia tahu luka itu akan menyisakan lega bagi dirinya.

"Sejak kapan?" tanya Izzah dan membuat Maya berpikir sejenak.

"Sejak aku cium wangi sitrus," jawab Maya yakin.

Izzah kebingungan dengan jawaban Maya. Sangat kecil kemungkinan Maya tidak lagi jatuh hati kepada seseorang hanya karena wangi sitrus. Ia juga yakin wangi sitrus merupakan wangi yang cukup familiar, bahkan ia sering mencium wangi itu. Tapi, seketika ingatannya seakan menarik kepada satu moment yang membuat kepalanya mendadak pusing.

"Wangi sitrus?" Izzah menggelengkan kepalanya dengan pelan. Bahkan gerakan itu tak disadari oleh Maya.

"Iya, waktu aku yang aku bilang Doni sama Selene di lorong gedung kamu. Di situ ada yang bawa aku pergi tapi gak tau siapa," papar Maya mulai menjelaskan runtutan kejadian yang ia lalui.

Izzah kembali menghadap kepada Maya. "Zaky."

"Zaky?" Maya membeo, namun lebih ke arah bertanya.

Izzah menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Kamu tahu aku pernah masuk ke ruangannya yang di bengkel, di sana aku cium bau sitrus."

Berbeda dengan Izzah, Maya malah menggeleng sekuat tenaga. Setelah kedua sepatunya terlepas sempurna, Maya segera menarik Izzah untuk masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.

"Kamu yakin Zaky? Apa urusan Zaky ke gedung musik?" tanya Maya sambil berbisik.

"Gak mungkin dia, untuk apa dia mengusik Maya?"

"Aku yakin, kamu ingat ciri-ciri dia?"

Maya kembali menggeleng. "Mataku ditutup pakai kain. Pas lainnya dibuka, dia udah hilang."

"Apa perlu kita tanya Zaky langsung?" tawar Izzah dan dibalas penolakan oleh Maya.

Maya masih merasa malu karena telah menyangka Eliz adalah kekasih Zaky. Ia masih mencoba menetralkan dirinya agar dapat biasa saja di depan Zaky. Sejauh ini karena sudah lama tak melihat wujud lelaki itu, Maya mulai terbiasa. Ia sudah biasa melihat lelaki tanpa rasa suka dan ia tak perlu menahan detak jantung yang selalu berpacu setiap berdekatan dengan lawan jenis.

"Gak mungkin Zaky," gumam Maya karena cukup yakin itu bukan Zaky.

Izzah yang melihat masih tak percaya ikut panik sekaligus takut. Ingatan di otaknya masih menjadi alat rekam paling ditakuti oleh Izzah. Ia takut akan kembali mengingat kejadian itu sampai ia sesak napas.

"Tapi yang memiliki wangi sitrus bukan hanya satu orang," cicit Maya membuat Izzah membuka matanya sempurna.

"Siapa lagi?" tanyanya dengan takut yang mulai menjalari tubuh.

Maya awalnya sedikit segan memberi tahu pada Izzah, namun di sisi lain ia juga merasa ini akan dapat membantunya.

"Kak Andro dan Selene."

"Dia adalah Andro?"

TBC!

Journal Of LoveDove le storie prendono vita. Scoprilo ora