Bagian 15

6 1 0
                                    

"Iya, bu. Maya sama Izzah sehat kok."

Tangan Maya tak berhenti membolak-balikan lembar demi lembar buku yang ada di hadapannya. Walau tengah berbicara dengan seseorang di seberang sana melalui ponsel, Maya tetap tak ingin terlihat malas. Ia mencoba untuk melakukan tugasnya yang sebenarnya masih cukup lama untuk dikumpulkan.

"Maya sedang di kampus, Izzah tadi masih di kost. Mungkin sekarang dia udah ke kampus juga, bu," ujar Maya di sela kegiatannya.

"Yaudah kamu lanjut aja. Ibu tutup teleponnya," ucap suara di seberang sana.

"Iya, bu." Panggilan terputus, sepihak.

Melihat layar ponselnya sudah kembali ke menu awal, Maya mendengus karena kesal sang ibu tak peka dengan maksud dirinya. Maya memang menelepon ke telepon rumahnya dengan harapan ayahnya yang menerima panggilan, tapi harapannya pupus saat mendengar suara lembut dari wanita yang sangat ia kenal.

Pasalnya ia ingin meminta jatah uang bulanan untuk bulan ini. Karena sudah memasuki awal bulan, kebutuhan Maya tentunya sudah berangsur-angsur berkurang. Mulai dari bahan makanan, kebutuhan di kamar mandi, bahkan kebutuhan tubuhnya. Semuanya sudah hampir menipis. Tapi untuk berbicara dengan ibunya Maya hanya bisa pasrah sampai sang ayah peka, ibunya hanya mencemaskan tanpa memberikan kontribusi.

"Eh anak mama lagi belajar. Mau tante bantuin?"

Maya menoleh. "Iya nih tante. Aku gak ngerti sama pelajarannya."

Rara mengakak dan mengundang tawa bagi Maya serta Prily. Mereka memang sedikit gila jika dikumpulkan, hanya Izzah saja yang bertahan ada di sekeliling ketiga gadis itu.

"Sudah siap untuk tampil nanti, May?"

Prily memastikan temannya itu agar tetap tenang hingga semunya berjalan dengan lancar. Jika Maya dan Selene tidak memberikan penampilan yang terbaik, bisa jadi nilai mereka yang berada di garis tidak aman. Sebagai ketua kelas, ia juga yang akan bertanggung jawab untuk meminta toleransi dari sang dosen.

"Kalian cukup baca doa aja nanti, aku agak kurang yakin sih," ceplos Maya tanpa dosa.

"Kalau kamu bisa bikin Bu Sari terkesima, aku bakal traktir kamu selama satu minggu!" seru Rara bermaksud untuk menantang.

Maya menyodorkan tangannya dan segera disambut oleh Rara. "Deal!"

---

Sebanyak 25 teman kelas Maya kini sudah berkumpul di dalam ruangan, 26 jika dihitung dengan dirinya. Bu Sari juga belum memberikan tanda jika ia akan tiba, bahkan sedari pagi ia tak memberi kabar kepada Prily tentang kejelasan perkuliahan.

"Pril, Bu Sari kayaknya gak masuk deh," tutur Maya merebahkan tubuhnya ke lantai.

"Kayaknya gitu," sahut Prily ikut merebahkan tubuh ke sebelah Maya.

Banyak di antara mereka yang sudah mengeluh karena menunggu ketidakpastian dari Bu Sari. Rasa lega sekaligus panik bercampur aduk dan menyumpal dada Maya. Ia tetap memikirkan segala kemungkinan positif yang terjadi padanya walau tak pasti. Ia hanya bisa berharap.

"Selamat siang semua." Suara Bu Sari memecahkan keributan yang ada.

Bu Sari masuk tanpa beban dan berjalan santai dari pintu masuk menuju tempat duduk yang khusus disediakan untuk dosen. Gayanya tetap sama, kemeja polos yang dipadukan dengan celana dasar selalu menjadi andalannya setiap mengajar. Sampai-sampai mereka bisa hafal pakaian seperti apa yang akan dikenakan oleh dosen yang satu itu.

Journal Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang