Bagian 3

5 1 0
                                    

Suasana pagi yang selalu membuat dunia terasa lebih segar menjadi hal terfavorit bagi Maya sampai saat ini. Ia sangat senang ketika melihat mentari terbit hingga suara-suara burung yang berkicau di lingkungan tempat tinggalnya. Menurutnya pada saat itulah dirinya dapat melihat seluruh kehidupan yang dimulai, walau sampai detik ini ia selalu melewatkan moment mentari terbit itu.

"Maya, bangun! Alarm kamu udah bunyi dari setengah jam yang lalu. Budeg ni telinga, Maya," oceh Izzah tak segan menendang-nendang bokong Maya hingga gadis itu terjatuh dari ranjang.

Sayangnya itu tak membuatnya terbangun dari alam mimpi. Sekalipun ia harus dilempar dari tempat ketinggian pun sepertinya ia tak akan bangun, toh akhirnya tetap tak sadarkan diri juga; minimal pingsanlah.

"Maya! Izzah! Tolong dong alarmnya dimatiin, keganggu orang-orang masih mau tidur!" Izzah pun segera menghentikan alarm sialan yang ada di atas meja dekat Maya tidur.

"Iya, maaf ya," sahut Izzah setelah alarm itu berhenti berbunyi.

Ini bukan pertama kalinya mereka ditegur oleh teman kost yang lain. Namun, tetap saja Maya selalu menghidupkan alarm pagi hari walau tak pernah terbangun. Alasannya jika suatu saat ia terbangun di pagi hari sesuai jam alarmnya berbunyi, ia ingin menyaksikan fajar yang datang. Tapi, entah kapan itu akan terjadi.

Izzah yang sebenarnya bukan tipe 'kebo' seperti Maya memutuskan untuk kembali ke tempat tidur karena ia belum puas menikmati jam istirahatnya. Karena apa? Karena tugas. Bukan hal yang aneh jika seorang mahasiswa/i akan selalu bergadang bila mendapatkan tugas dari dosen. Begitulah yang dirasakan Izzah sekarang. Jika diingatkan dengan apa yang ia tulis tadi malam saja ia sudah tak peduli, hal terpenting sekarang ialah ia dapat mengumpulkan tugas itu tepat waktu.

Baru saja hendak memejamkan mata, Izzah seakan teringat dengan kejadian beberapa hari lalu. Bertemu tanpa sengaja mungkin akan dirasakan oleh semua orang, tapi kebanyakan tidak menginginkannya. Izzah mencoba membuang pikiran itu dengan berusaha keras tetap pada posisi terpejam. Tanpa disadarinya, ia sudah terpejam cukup lama namun tak terlelap juga. Hingga akhirnya ia merasakan dada yang sesak dan kesulitan bernapas.

"May..." lirih Izzah mencoba menggapai Maya yang masih ada di lantai dengan susah payah.

"Maya... Dada aku sakit, May... " ucapnya terbata.

Cengkeraman yang cukup kuat dari Izzah membuat Maya sedikit tersadar. Ia terkejut bukan main melihat kondisi Izzah yang ada di atas ranjang sambil memegang dada bagian kirinya.

"Asma kamu kambuh lagi, Zah? Di mana obatnya?" tanya Maya panik dan mencoba mengumpulkan semua nyawanya yang masih tertinggal di alam bawah sadar.

Maya melihat arah telunjuk Izzah yang mengarah ke lemari baju. Segera ia membuka lemari itu dan menemukan botol spray yang selalu gadis itu bawa ke mana-mana.

"May... "

"Tunggu bentar, ini nih."

Izzah mengarahkan botol spray itu ke mulutnya. Maya menunggu sampai sahabatnya itu selesai. Tak butuh waktu lama, Izzah sudah kembali seperti semula. Namun, matanya sedikit berair karena menahan sesak di dadanya.

"Kamu kenapa, Zah? Kok bisa kambuh?" tanya Maya seraya meletakkan botol spray tadi ke atas nakas.

"Aku ketemu dia, May."

"Aku kepikiran sama Mamak Bapak di rumah," jawab Izzah berbohong.

Maya terkekeh. "Sama, aku juga kepikiran mereka. Apa kita pulang aja libur ujian nanti?"

"Boleh. Udah kamu tidur lagi sana, aku mau nyuci," ujar Izzah turun dari ranjang.

Tanpa rasa curiga sedikit pun, Maya pun kembali ke ranjangnya dan berbaring di sana. Tanpa waktu lama, ia sudah berlabuh di alam bawah sadar bersama mimpi-mimpinya. Sementara Izzah, ia masih terpaku di depan kaca dan menatap seseorang yang sangat mirip dengannya. Saking miripnya, Izzah tak dapat membedakan yang mana dirinya dan mana orang lain.

---

"Guys, aku punya info. Tolong duduk sebentar."

Mendengar hal itu, Maya dan Rara yang tadinya tengah mengobrol di luar kelas akhirnya mencari tempat duduk di ruangan bernuansa putih tulang tersebut. Semua pasang mata pun tertuju pada seorang perempuan bertubuh kecil yang sekarang berdiri di tengah ruangan.

"Tadi pagi aku dapat info kalau Bu Sari lagi ada di Bali, karena itu untuk minggu ini kita ditugaskan untuk membuat tarian tradisional yang berdurasi 2 menit saja. Ini praktek dari teori yang sudah beliau sampaikan minggu lalu. Untuk deadline secepatnya. Ada pertanyaan?"

Salah seorang dari mereka mengangkat tangan, lalu membuka suara. "Individu?"

"Berpasangan. Nama-namanya kumpulkan ke email aku nanti biar bisa dilaporkan ke Bu Sari."

Semua yang ada di dalam ruangan mengangguk mengerti, termasuk Maya dan Rara. Walau mereka bukan mahasiswa yang ambis tapi mereka selalu memberikan yang terbaik untuk nilai mereka.

"Kantin yuk, May, Ra," ajak Prily, sang ketua kelas yang tadi memberikan informasi kepada mereka.

"Wait, aku telepon Bagas dulu," ujar Rara yang sedikit menjauh dari mereka berdua.

Prily membuang napas kasarnya beberapa kali. "Pacaran terus, aku beresin barang dulu, May."

Maya hanya menganggukkan kepala. Ia memeriksa layar ponselnya, tak ada notif dari siapa-siapa. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Izzah, ia pun menanyakan kabar gadis itu karena takut terjadi apa-apa.

"May, kamu udah ada temen buat tugas Bu Sari?"

Maya menatap gadis itu dengan sedikit rasa terkejut yang terselip pada tatapannya. Ini merupakan kali pertama kali setelah mereka satu kelas selama 2 tahun, sang introvert yang terkenal di kelas menyapa dirinya. Tangannya langsung terhenti mengetik dan fokus pada gadis di depannya.

"Bel---"

"Udah, Maya sama aku."

Maya langsung menyenggol lengan Rara yang tiba-tiba datang entah dari mana. "Kapan aku setuju tugasnya sama kamu?" bisiknya pelan.

"Oh gitu ya, yaudah deh aku sama yang lain aja. Makasih, May, Ra." Saat ia hendak berbalik, Maya lebih dulu menahannya pergelangan tangannya.

"Aku belum ada temen kok," jawab Maya membuat Rara melotot ke arahnya.

Gadis itu tersenyum, terlihat sangat tulus. "Kita berdua aja, gimana?"

Maya mengangguk antusias. Entah kenapa dirinya merasakan penasaran yang sangat amat dalam terhadap gadis yang selalu menjadi bahan gunjingan Rara.

"Kok kamu mau sih, May?" bisik Rara masih tak terima.

Maya tetap tersenyum, begitupun dengan gadis itu. Ia tak mengubris bisikan setan Rara yang menyuruhnya segera pergi, begitupun dengan Prily yang sedikit terkejut.

"Aku duluan ya, kabarin aja kapan mau latihan."

"Hati-hati, Selene."

TBC!

Journal Of LoveWhere stories live. Discover now