𝟏𝟒. 𝐓𝐡𝐞 𝐇𝐨𝐧𝐞𝐬𝐭 𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡.

Start from the beginning
                                    

Mendapat ciuman hangat di kening tak begitu membuat Taehyung luluh. Anak itu memang keras seperti batu. Apalagi jika menyangkut hal–hal tak adil tentang orang yang ia kasihi. Saat sang Ibu hendak ke luar dari pintu kamarnya, barulah ia berujar. "Kenapa Ibu selalu mengalah untuk bajingan kotor sepertinya? Apa karena Ibu takut tak dicintai siapapun dan takut ditinggalkan ... seperti yang pernah Ayah lakukan dulu, maka Ibu selalu mengalah untuk hal–hal tak penting? Ibu hanya takut kesepian 'kan?" sinisnya muak.

Sempat tertegun, perempuan berambut lurus sebahu itu hanya tersenyum tipis. Merasa tak pantas meladeni perdebatan di hari ulang tahun putranya. Kembali menutup pintu dengan suara yang sangat pelan.

Kelima jari kanan Taehyung menyatu keras di atas meja belajar, seakan menghitung dalam hati apa yang akan terjadi di luar kamar. Hening. Tak ada keributan kecil lagi seperti tadi. Ini bukan satu kali saja Taehyung menerima laporan dari tetangga sekitarnya tentang teriakan sang Ibu dan suara barang–barang yang terlempar keras tiap kali ia tak di rumah.

Tetap saja, Taehyung butuh bukti kuat untuk semua itu.

Maka, saat remaja Kim itu telah muncul di depan pintu kamarnya, didapatinya si Ayah tiri terduduk di ruang makan. Berleha–leha menunggu mangkuk di hadapan diisi oleh Jjamppong 'hadiah ulang tahun' yang terpaksa dibagi dua. Masih pantaskah si bajingan satu itu diberi kesempatan berumur panjang?

"Taehyung, kau mau ke mana? Tak mau makan bersama di sini?" sambut Ibunya hangat, mendapati anak lelakinya masih mematung dengan tatapan dingin pada si Ayah tiri. Sedangkan si Ayah tiri pura–pura memberi perhatian pada hal lain. Selalu menolak bertemu pandang.

"Aku baru ingat besok ada ulangan. Aku juga perlu belajar ... dan suasana yang tenang," sindirnya datar. Tanpa melepaskan perhatian pada pria yang masih menunduk ke sembarang arah.

"Benarkah? Sayang sekali, padahal ini hari ulang tahunmu," nada bicara sang Ibu melemah di akhir. Penuh sesal. Merasa bersalah telah membagi makanan kesukaan putranya dengan sosok pria yang putranya teramat benci sejak awal perjumpaan.

"Tak masalah, Bu. Aku bukan anak kecil yang suka menuntut hal–hal tak penting," sarkasnya lantang ke arah si Ayah tiri. "Kalau begitu, aku pergi dulu." Taehyung berpamitan sopan pada sang Ibu saja sebelum meninggalkan dua orang dewasa itu di ruang makan.

Beberapa waktu setelah Taehyung pergi, sang Ibu tertegun di meja makan. Tak jadi menuangkan Jjamppong, malah perlahan ia merasa teramat sesak di bagian dada. Tatapan terakhir kali putranya sangat membuat hatinya terluka. "Ini salahmu. Jika bukan karena ulang tahun Taehyung, aku tak akan merelakan jam lemburku malam ini demi pulang melihat putraku," gertaknya dingin.

Si Ayah tiri memicing, merasa tersinggung atas ucapan barusan. "Kau bicara apa? Ulangi." Suara kursi terbanting memecah sunyi selaras tubuh yang bangkit dari dudukan. Sempoyongan. Wajah merah padam itu meladeni murka wanita yang masih tertunduk takut di pijakan. "Ku bilang ulangi, jalang," titahnya dingin.

"AKU MUAK! TINGGALKAN KAMI, BAJINGA—"

Suara tamparan keras itu terdengar bersamaan dengan pekikan kesakitan Ibu Taehyung, disusul benda–benda lain yang terlempar nyaring ke arah Ibu Taehyung. Jelas, tangisan pilu itu terdengar jelas bagi Taehyung. Ia tak jadi pergi, berhasil mengendap–endap ke dapur saat Ibunya lengah. Hanya sebagai siasat untuk menjebak perilaku jahanam si Ayah tiri yang lebih pantas dibinasakan.

Ya, dibinasakan. Itu lebih baik daripada kurungan penjara 'kan?

Gerusan rahang Taehyung kian menjadi, seiring jeritan sakit sang Ibu terdengar meminta pengampunan karena tendangan yang berkali–kali menghujani tubuh yang meringkuk di atas lantai. "MATI! KAU HARUS MATI!!"

happier than ever. [vrene] ✔️Where stories live. Discover now