𝟏𝟐. 𝐏𝐥𝐮𝐭𝐨.

149 34 127
                                    

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟏𝟐

𝐏𝐥𝐮𝐭𝐨.

Belum saja Taehyung menutup pagar buru–buru, satu presensi menyambutnya dengan derap tak sabar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Belum saja Taehyung menutup pagar buru–buru, satu presensi menyambutnya dengan derap tak sabar. "Taehyung?"

Si empunya nama pun menoleh, tertegun bingung. "Bibi Nam? Mencari ... siapa...."

"Ikut aku," pinta Bibi Nam sungkan. Tanpa penjelasan lebih.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

"Nenek tak bisa ikut menjemput, pinggangnya kambuh. Lagipula, ini memang salahku. Maaf, aku sangat merepotkan," bungkuk Taehyung agak lama.

"Tak apa, Taehyung. Aku juga tak tahu Minji berada di kamar Joohyun sejak tadi," balas Bibi Nam sungkan. "Sebenarnya, ia tak mau pulang dan bercerita apapun. Tapi, Jeongguk berhasil membujuknya lewat telepon. Aku tak tahu ... apa saja yang mereka obrolkan. Yang jelas, mereka bercerita banyak. Barulah Minji mau menjelaskan pada kami apa yang terjadi sebenarnya."

Dua pasang mata itu beralih perhatian ke pintu kamar Joohyun yang terbuka cukup lebar. Terlihat Minji ditemani Joohyun terduduk memunggung di tepian kasur. Sial, apa lagi yang dilakukan si bajingan Nam itu untuk 'mencuci otak' orang–orang terdekatnya? Taehyung masih larut dalam kabut amarah. Lengannya bersandar memberi perhatian sepenuhnya dari muka pintu.

Minji yang tengah memainkan jam pasir milik Guru Yoo sempat tertegun beberapa waktu. Dua–tiga pertanyaan Joohyun yang sempat ia balas diam pun disahutinya ketus. "Aku tak mau pulang. Ayah jahat. Lebih jahat dari biasanya. Untuk apa dia tiba–tiba menawariku ingin bertemu Ayahku yang sebenarnya? Aku yakin ... setelah ini dia pasti pergi meninggalkan kami berdua. Hanya melakukan itu sebagai menebus rasa bersalah sebelum pergi lagi. Menghilang entah ke mana. Datang dan pergi semaunya. Itu ... memang kesukaannya 'kan?" dengusnya muak.

"Minji, kau benar–benar yakin itu tujuannya? Kau belum bertanya alasan sebenarnya 'kan?" tanya Joohyun bijak.

"Belum ...," geleng Minji pelan. "Memang, apa lagi yang akan dia lakukan setelah ini? Lagipula, aku tak meminta sesuatu yang mahal–mahal darinya, seperti Paman Polisi yang tak lupa membawa makanan enak dari Seoul saat pulang. Ayah juga dari Seoul 'kan? Jangan kan makanan, menanyakan sesuatu yang ku suka saja tak pernah." Mata Minji telah terlihat berair. Tapi, selalu berusaha ia tahan lewat gertakan rahang. "Bahkan, dia memarahiku di depan banyak orang hanya karena cita–cita. Apa salahnya membicarakannya berdua denganku saja?! Aku benci dipermalukan seperti itu! Entahlah, dia seperti ... orang asing yang Nenek minta agar ku panggil Ayah. Jelas, Paman Polisi lebih memahamiku dengan baik!" ketusnya diakhiri helaan marah. Tidak! Pokoknya, Kim Taehyung tak boleh melihatnya menangis. Jika ia menangis, berarti ia kalah—prinsip 'batu' itu telah mendarah daging dalam jati diri seorang Kim Minji.

Tak sabar, langkah lebar Taehyung hampir bergegas menghampiri. Tapi, secepat itu pula ucapan Joohyun mencegah perbuatannya kembali.

"Minji, ku pikir ... Ayah–mu sedang lelah dan banyak pikiran. Mungkin, setelah ini ia akan menyesali perbuatannya dan meminta maaf, hm?" sungging Joohyun tipis sembari memberi usapan hangat di bahu Minji.

happier than ever. [vrene] ✔️Where stories live. Discover now