𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝐎𝟔
𝐂𝐚𝐫𝐢𝐧𝐨.
"Nenek memintaku membawakan ...," cengiran Joohyun menggantung di udara, mendapati Taehyung tak lagi di tempat semula. "... i ... ni...." Kotak makanan di genggaman tak lagi berminat ia tunjukkan, selaras senyuman yang luntur begitu saja.
Menoleh kecil, Taehyung pun berdiri. "Kau ... menyimpan pisau?" selidiknya samar. Memastikan bahwa firasat tak beres tentang benda satu ini benar adanya.
"Hm. Aku memang sering membawanya untuk keperluan sekolah. Menajamkan pensil, misalnya," angguk Joohyun enteng dibarengi senyuman. Seolah tahu apa yang pemuda Kim simpulkan tentangnya.
Lantas, Taehyung tak langsung menyahut. Sorot redup itu ditatapnya balik, menepis alasan Joohyun barusan lewat dengusan sinis. "Berikan semua pensilmu. Biar aku yang menajamkannya."
"Apa yang kau—" Bersirat tak berterima, Joohyun lekas menghampiri Taehyung guna merampas si pisau kecil yang mendadak disita. "Ini hanya pisau. Kembalikan," pintanya tertahan agar tak memancing Nenek Ryeo ke luar dari rumah.
Wajah panik itu masih Taehyung ladeni dengan sorot datar. "Akan ku ganti dengan rautan." Namun, bujukan tegasnya tak berarti. Joohyun berusaha mengambil sekuat tenaga pisau lipat itu dari genggaman eratnya. Seberapa berharganya pisau lipat ini sampai–sampai ditempeli beberapa stiker dan gantungan boneka kentang? Tepat seperti barang kesayangan pada umumnya.
"Ku mohon, kembalikan."
Pekikan kecil itu membuat Kim Taehyung tak berdaya. Pisau lipat terlepas begitu saja dari genggamannya, bersamaan dengan ekspresi Joohyun yang kembali melega. Hampir saja gantungan boneka kentang itu terputus dari sana.
Usai memasukkan hasil rampasan ke tas kecilnya, Joohyun kembali tersenyum tipis. Tak mau mengungkit apapun, meski Taehyung kini membuang pandangan. "Kau ... masih ingin di sini? Aku mau pulang," pamitnya sungkan.
🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻
Suara pintu utama memaksa Bibi Nam beralih perhatian, menyambut Yoo Joohyun yang muncul dengan paras lesu. "Kau ... sudah pulang? Ada telepon untukmu," jelasnya ramah sembari menyodorkan gagang telepon.
Joohyun hanya menoleh sekena, ragu–ragu melewati ruang tamu hanya untuk menghindari sosok itu.
Tak mendapat gestur yang diharapkan, Bibi Nam kembali memperjelas, "Tentang Ayahmu."
Benar ... kah? Langkah Joohyun terhenti perlahan, bimbang merasuki kepala. Tapi, ia tak punya opsi lebih saat Bibi Nam membawa bahunya untuk meladeni telepon tersebut.
"Ayo, bicaralah. Biar ku tinggal sebentar."
Joohyun berhela samar, belum benar–benar meletakkan telepon ke telinga. Kabel itu ia permainkan di jemari sesekali, masih cemas kalau–kalau itu sekadar bualan. "Ya," sahutnya serak.
YOU ARE READING
happier than ever. [vrene] ✔️
Fanfiction❝𝘵𝘩𝘪𝘴 𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘪𝘴 𝘢𝘣𝘰𝘶𝘵 𝘵𝘩𝘦𝘺 𝘧𝘪𝘯𝘥 𝘩𝘢𝘱𝘱𝘪𝘯𝘦𝘴𝘴 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦𝘪𝘳 𝘰𝘸𝘯 𝘸𝘢𝘺.❞ Tak pernah terpikirkan oleh Taehyung bila kepulangannya ke desa kelahiran setelah merelakan seluruh mimpinya berakhir di Seoul akan mengukir le...