𝟏𝟐. 𝐏𝐥𝐮𝐭𝐨.

Start from the beginning
                                    

"Ayah ... melakukan itu juga pada Guru Yoo?" lirik Minji kesal. "Maksudku, bersikap kasar dan semacamnya. Jika aku menjadi Guru Yoo, aku tak akan mau berlama–lama betah dengan pria pemarah seperti Ayah. Aku benci dengannya! Lebih baik, Guru Yoo bersama Paman Polisi saja!"

"Jika kau tak mau pulang juga tak masalah. Aku tak akan memaksamu!" tegas Taehyung.

"Maaf ... mengganggu," potong Bibi Nam halus dari celah pintu. Tak sengaja memangkas adu mulut barusan. "Minji, ada telepon untukmu ... dari Paman Nam. Dia sangat mengkhawatirkanmu sampai menelepon lagi. Kau mau bicara?"

Tolehan Minji yang sempat tertuju marah ke arah Taehyung luntur seketika mendengar satu nama itu. Sumringah. "Benarkah?!" Melewati sang Ayah yang masih berwajah masam di pintu, demi meladeni riang gandengan tangan Bibi Nam sebelum bersamaan menuruni tangga. Sedangkan Joohyun masih terduduk di ranjang. Membuang wajah ke arah lain.

Helaan keras itu berasal dari Taehyung. Mengorek seluruh udara kotor dari paru–paru yang entah dari mana muasal membuat ia menjadi marah bercampur canggung. Bingung ingin berbuat apa di depan gadis Yoo.

Joohyun beranjak dari kasur sebelum memberi tatapan datar. "Minji telah menceritakan semuanya padaku. Apa yang terjadi denganmu? Kau berbeda akhir–akhir ini."

Hah? Lantas, Taehyung mengernyit sinis. Kenapa malah dirinya yang dituduh berbeda? Sedangkan, orang–orang yang ia hadapi sekarang lebih sepatutnya ia tanyai hal demikian. "Apa maksudmu? Kau lebih percaya dengannya dibanding aku? Begitu?"

"Mungkin tak masalah jika kau melakukannya hanya padaku. Tapi, dia Kim Minji. Hanya anak kecil yang belum mengerti apapun," tegas Joohyun sekali lagi. "Mengalahlah sedikit."

"Sial, kenapa orang–orang desa ini semakin membuatku tak waras?!" Langkah Taehyung berhentak marah. Meninggalkan Joohyun demi mengawasi perbincangan bocah Kim dengan si 'Paman Polisi Kesayangan' di ruang tamu.

"Jadi, bagaimana? Ayah sudah datang menjemputmu?"

"Sudah. Wajahnya seperti jeruk lemon kecut," cibir Minji sembari melirik sang Ayah yang tengah bersandar di pertengahan anak tangga. Memainkan kabel telepon sesekali, barulah ia kembali meladeni obrolan—yang menurutnya—menyenangkan barusan. "Aku akan pulang setelah Nenek datang saja. Tak apa kan, Paman?"

"Oh, begitu? Ya sudah, senyamanmu saja. Yang penting, perasaan Kim Minji sudah lebih baik dari sebelumnya. Aku paham, kau masih kesal. Tapi, bagaimana pun juga dia tetap Ayah–mu 'kan? Aku berjanji, sepulang nanti aku akan membawa banyak makanan kesukaanmu dari Seoul. Atau ... mau berjalan–jalan juga? Tak apa, kita bisa pergi bersama Guru Yoo kesayanganmu juga."

"Benarkah? Whoa, aku semakin tak sabar menyambut Paman pulang!"

Tak tahan juga, sahutan–sahutan riang Minji membuat bibir Taehyung bergerak nyinyir. Dongkol seraya memainkan kepalan tangannya ke tembok. Semakin penasaran dengan apa saja yang dua orang itu bicarakan.

Risih. Minji pun menyadari tatapan mematikan Taehyung sejak tadi, membuat ia berujar pelan. "Bisa kah Paman bertanya hal–hal sedikit umum saja? Sepertinya Ayah 'menguping' sejak tadi." Sengaja memunggung dan semakin memelankan suara. "Ngomong–ngomong, Paman tak sibuk?"

"Ya. Bisa dikatakan begitu. Tapi, demi Kim Minji ... itu tak masalah bagiku."

"Ayah juga dari Seoul. Tapi, dia belum pernah meluangkan banyak waktu menelepon Nenek seperti Paman."

"Oh, begitu. Bisa jadi, Ayah–mu lebih sibuk dariku. Tentu saja, dia lebih 'hebat' dariku," sarkas Jeongguk ramah.

"Benarkah? Tapi, jika dia hebat ... kenapa dia kembali ke desa? Bukankah orang hebat adalah orang yang menaklukkan Seoul? Paman pernah mengatakan itu padaku."

happier than ever. [vrene] ✔️Where stories live. Discover now