"Apa kabar? Kau selalu menolak teleponku. Aku merindukanmu."
Suara dari telepon itu belum Joohyun tanggapi sepenuhnya. Atensinya bertumpu penuh pada satu figura di nakas berisi foto keluarga—terdiri dari Ayah, Ibu, seorang putra dan dirinya juga di sana. Penuh kebencian. "Benarkah? Oh."
Sahutan dingin seorang Yoo Joohyun memang selalu tak berarti bagi pria ini. "Kata Ibu, kau sangat sibuk akhir–akhir ini. Kim Taehyung pulang, ya?"
"Hm."
"Hadiah dariku sudah dibuka? Ibu sudah meletakkan semua bingkisan ke kamarmu. Atau, bahkan ... kau terlalu sibuk sampai tak sempat membukanya?"
"Berhenti memberiku perhatian," tegas Joohyun tertahan.
"Aku telah menunjukkan fotomu pada teman–teman dan atasanku. Mereka bilang, kita sangat serasi. Aku semakin tak sabar dengan hari bahagia kita."
"Jeongguk–ssi, ku mohon berhenti...."
Tawa si pemilik nama terdengar renyah. Mendiamkan sebentar desisan geram Joohyun yang lebih terkias seperti suara anak kucing tak berdaya itu demi meredakan lelucon sepihaknya. "Oh, kau masih menunggu kabar satu itu, ya? Dua minggu lalu, aku telah mengunjungi Ayahmu di sel. Sedikit merepotkan—sial, itu benar. Untungnya, dia belum berulah sampai detik ini."
Tak ada sahutan.
Helaan dongkol pun diberikan oleh si putra tunggal Kepala Desa. "Aku akan mempergunakan cuti akhir tahunku. Yang jelas, aku tak mau mendengar kau membuat alasan apapun lagi untuk menghindar setelah aku tiba di Seoha. Paham?" cetusnya dingin.
Telepon itu Joohyun putuskan sepihak. Mengabaikan beberapa panggilan kecil Bibi Nam atas dirinya yang berjalan cepat menuju kamar. Mengunci pintu, bersandar di sana dengan rahang yang masih tergerus kuat. Mual, sesak, pusing—seakan seluruh emosi yang berkumpul di dada hampir meluap dan siap ditumpahkan.
Langkah Joohyun menyeret gontai ke sudut kamar. Pada cermin seukuran tubuh yang meninggalkan satu retakan besar, Joohyun mendapati pantulan dirinya dari sana. Sama hancurnya ... seperti cermin itu. Berpilah–pilah. Tak utuh lagi seperti jati diri yang selama ini ia sembunyikan pada banyak orang.
Sekaligus, retakan pelampiasan amarah bahwa Nam Jeongguk pernah 'mengkhianati' kepercayaan yang salah satunya kira bahwa itu sekadar hubungan kakak–adik belaka. Membuat ia semakin hina dari sebelum–sebelumnya.
Sekali lagi, Joohyun mencoba menarik masing–masing ujung bibir. Orang–orang yang selalu ia jumpai selalu menyukai senyumannya, bukan? Termasuk Kim Taehyung. Mereka lebih peduli pada cekungan di bibir ini daripada sepasang mata yang tersirat meminta pertolongan.
Mereka semua ... sama saja 'kan? Akan pergi jika senyuman ini juga hilang.
Joohyun tersenyum.
Hanya datang dan bersinggah sementara waktu ... untuk menghancurkanku yang semakin hancur.
Namun, semakin sosok yang terjebak di cermin itu menunjukkan senyuman andalan, semakin kebencian itu memuncak. Marah. Sesak. Jijik. Kacau. Bulir dari pelupuk bertumpahan seiring emosi yang memuncak, Joohyun meraih satu botol parfum kaca di atas nakas. Melempar benda itu ke cermin, membuat retakan itu meninggalkan beberapa serpihan kaca di atas lantai.
"PERGI! KU BILANG PERGI, BANGSAT!!" geramnya kacau pada pantulan gadis yang masih terjebak di sana. Memukul kepala berkali–kali, mengusir bisikan demi bisikan yang menyesaki benak tanpa henti.
Masih dilanda kalut, ia buru–buru mengambil serpihan kaca itu. Membuka paksa balutan perban di lengan kirinya, melampiaskan semuanya pada sayatan–sayatan baru di garis–garis luka yang belum sepenuhnya mengering.
YOU ARE READING
happier than ever. [vrene] ✔️
Fanfiction❝𝘵𝘩𝘪𝘴 𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘪𝘴 𝘢𝘣𝘰𝘶𝘵 𝘵𝘩𝘦𝘺 𝘧𝘪𝘯𝘥 𝘩𝘢𝘱𝘱𝘪𝘯𝘦𝘴𝘴 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦𝘪𝘳 𝘰𝘸𝘯 𝘸𝘢𝘺.❞ Tak pernah terpikirkan oleh Taehyung bila kepulangannya ke desa kelahiran setelah merelakan seluruh mimpinya berakhir di Seoul akan mengukir le...
𝐎𝟔. 𝐂𝐚𝐫𝐢𝐧𝐨.
Start from the beginning