Anaya mencurigakan

6.1K 449 15
                                    

Brak... Pintu itu dibuka dengan kasar. Binar yang tengah bersantai di ruang keluarga tersentak dan sontak menoleh ke arah pintu. Retina matanya dapat menangkap sosok gadis mungil dengan pakaian gamis serta hijab panjang yang menutupi seluruh tubuhnya itu dengan jelas.

Mila, gadis itu tersenyum dengan lebar. Serta tangan yang merentang lebar, bersiap berlari ke arah Binar untuk mendapatkan sebuah pelukan. Jangan lupakan suaranya yang nyaring mengiringi langkah kakinya yang cepat. Ah, rasanya mau meledak isi kepala Binar melihat tingkah Mila yang tak ada ubahnya anak remaja.

"MBAK BINAR! YUHUUU, MILA IN HERE!"

Binar memijit kening lelah. "MILA, JANGAN TERIAK-TERIAK, INI BUKAN HUTAN!" Teriak Binar tak kalah nyaring.

"Sayang, kamu juga sama. Jangan berteriak! Nanti tenggorokan mu sakit, Bi." Binar melirik suaminya dengan cengiran kuda. Mengangkat dua jari di samping muka, seraya bergumam, "Peace, Daddy."

"Mila, masuk sana. Makan siang dulu!" Titah Damar diiringi kode mata.

Memang sebelumnya Mila terus menerus merengek mengatakan lapar. Tadi pagi dompetnya ketinggalan, jadi dia hanya menggunakan ponselnya sebagai dompet. Eh, ternyata batrenya juga hanya sedikit sehingga langsung habis di jam pelajaran kedua.

Memang dasar nasib sial. Sudah merengek-rengek meminta untuk makan sebentar di luar, tetap saja muka sedatar tembok suami kakak sepupunya ini tidak goyah sama sekali. Alih-alih merasa iba, Damar malah memikirkan istrinya di rumah, dan berulangkali mengatakan kasihan istrinya tidak ada yang menemani.

Dasar bucin akut. Kesal, pokoknya Mila kesal!

"Loh, kalian belum makan siang?" tanya Binar dengan heran.

"Belum, Mbak. Om nih gak mau. Katanya gini, 'Jangan makan di luar. Di rumah aja, nanti kamu di kira simpanan saya. Kasihan istri saya di rumah' ke-pd-an mah si Om, ihh... Udah tua juga."

"Saya hanya menjaga perasaan istri saya. Nanti dia cemburu. Lagian tua-tua gini, mbak kamu masih cinta tuh," ucap Damar penuh percaya diri.

"Nah kan, nah kan, Mbak! Lihat kan, Om Damar serem. Terlalu percaya diri itu tidak baik, Om. Percayalah," ujar Mila dramatis.

Binar tergelak, "Tapi bener loh, Mil. Tua-tua gitu, mbak masih cinta, kok."

"Sudahlah, sudahlah, Ya Allah. Hamba tertekan diantara pasangan bucin ini, tolong jauh-jauh kan dari hamba yang suci ini, bye!" Mila melenggang pergi dari sana. Meninggalkan Binar dan Damar yang tertawa dengan puas.

•••

POV Danu

Aku menghela napas berat. Hari ini aku menemani Anaya untuk check up kandungannya lagi. Ini adalah check up ke tiga setelah aku mengetahui kehamilan Anaya.

Berbeda dari sebelumnya. Aku mulai merasa ragu dan memikirkan ucapan Paman mengenai Anaya. Apa benar jika Anaya tidak hanya bersama denganku selama ini? Bagaimana jika bayi itu terbukti bukan milikku? Apa yang harus aku lakukan?

Aku tidak bisa membayangkan sejauh itu. Namun, hatiku terus mengatakan bahwa aku harus mencari tahu kebenarannya.

Ini bukan pertama kalinya paman memperingatkan ku tentang Anaya. Bahkan sudah berulangkali. Apa aku harus tutup mata dan percaya pada Anaya sepenuhnya. Atau-- Tidak, aku harus percaya jika bayi itu milikku. Harus!

Setidaknya aku tahu jika Anaya mencintaiku dengan tulus. Ya, benar begitu.

"Mas, kamu melamun? Mikirin apa?" Aku sedikit tersentak kala telapak tangan Anaya menyentuhnya bahuku. Bisa-bisanya aku melamun di ruang pemeriksaan seperti ini.

"Tidak ada. Uhmm... Jadi gimana Dok kondisi anak saya?" tanyaku seraya mengelus pelan perut Anaya.

"Alhamdulillah, janinnya berkembang dengan baik, Pak. Untuk selanjutnya kita pasti sudah bisa melihat jenis kelaminnya. Sayang sekali kali ini dia masih malu-malu sehingga kita belum bisa melihatnya." Jelas dokter kandungan itu dengan senyum ramah.

"Bagaimana dengan ibunya, Dok? Ini tidak berbahaya untuk istri saya, kan?"

"Bahaya? Tidak, Pak. Bapak tidak perlu terlalu khawatir. Keadaan ibu Anaya sangat sehat, jika terus begini kemungkinan ibu bisa melahirkan normal tanpa hambatan. Tetapi meskipun begitu tetap harus diperhatikan pola makan dan kegiatannya ya, Pak. Jangan melakukan kegiatan ekstrim yang berlebihan."

Anaya sangat sehat? Entah kenapa aku ragu dengan penjelasan Dokter. Maksudku, Anaya itu ada riwayat penyakit jantung. Bukannya dengan diperbolehkan mengandung saja itu sudah sebuah keajaiban. Lalu, kenapa sekarang mendadak tubuhnya menjadi sehat.

"Benarkah, Dok?" tanyaku masih tidak yakin.

"Iya, Pak. Nah, ini resep obat yang harus ditebus. Hanya vitamin tetapi tetap harus ditebus ya, Pak. Sampai bertemu dipertemuan selanjutnya."

"Ba--"

"Enggak, Dok. Kedepannya kami tidak akan datang lagi. Hari ini karena dokter kandungan yang menangani saya sebelumnya sedang tidak ada makanya kami ke tempat ini." Anaya memotong ucapan ku dengan cepat, raut wajahnya terlihat sedikit cemas. Ini aneh. Apa benar Anaya menyembunyikan sesuatu dariku?

"Iya, Dok. Kalo gitu kami pamit, ya, permisi."

Aku mengikuti langkah Anaya yang berjalan dengan sedikit tergesa-gesa. Anaya, kamu terlihat semakin mencurigakan.

"Mas, aku mau pulang." Aku mengangguk setuju. Tanpa berniat mengatakan apapun, aku segera membawa Anaya untuk pulang.

Tidak apa Anaya. Aku akan mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya kamu sembunyikan.

Semakin hari tingkahmu semakin aneh. Paman juga berulangkali memperingatkan ku untuk mengawasi mu. Aku rasa tidak ada salahnya melakukan pengawasan terhadap istri sendiri. Aku tidak ingin apa yang dialami paman sebelumnya juga aku alami.

Dalam perjalanan Anaya tidak banyak bicara. Dia hanya diam, sesekali akan memperhatikanku namun segera berpaling ketika aku menoleh.

Biasanya itu terlihat menggemaskan. Namun sekarang, itu terlihat semakin mencurigakan. "Ada apa, Nah?" tanyaku pelan.

"Enggak." Anaya berpaling. Melihat ke arah jendela, tanpa berniat untuk menatapku seperti biasanya.

"Kamu kayak mau ngomongin sesuatu sama, Mas. Apa?"

"Dengar-dengar dari mbok Yem. Mbak-- Ah, maksudku Tante Binar hamil, ya?"

Aku menatap wajah Anaya sekilas. Raut wajah keruh terlihat jelas. Sepertinya akhir-akhir ini Anya terang-terangan memperlihatkan bahwa dia tidak menyukai Binar dihadapan ku. Sedikit mengejutkan karena selama ini dia selalu menunjukkan respon yang positif serta senyum manis ketika aku membicarakan tentang Binar padanya.

Benar kata orang. Dalamnya lautan masih bisa diukur, tapi dalamnya isi hati manusia siapa yang tahu.

"Benar. Kenapa?" jawabku.

"Pasti kamu senang, Ya. Sebentar lagi punya adik."

"Hemm... Aku turut senang karena akhirnya paman punya keluarganya sendiri."

"Kamu masih ada niat untuk rujuk sama mbak Binar?" Pertanyaan itu seakan menghantam sudut hatiku. Apa selama ini niatan ku terlihat dengan jelas.

"Kenapa kamu nanya gitu, Nay? Jangan berpikir yang aneh-aneh. Dokter bilang kamu tidak boleh banyak pikiran, kan."

"Jadi benar, ya." Ucap Anaya dengan lesu. Satu tetes bulir bening jatuh membasahi pipinya. Perlahan tangannya terangkat untuk mengusap air matanya. "Aku mengerti sekarang kenapa mbak Binar begitu percaya diri menyuruhku untuk mengawasi kamu, Mas. Ternyata kamu memang telah jatuh cinta dengan dia. Aku... Aku kecewa sama kamu, Mas." Lirih Anaya seraya kembali berpaling menghadap jendela.

"Maafin aku, Nay." bisik ku tak kalah lirih.

Married with your Uncle Kde žijí příběhy. Začni objevovat