8.Kesalahan berujung kenikmatan

39K 899 16
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

Aku terbangun tengah malam, melirik jam di ponselku ternyata sekarang pukul dua dini hari . Aku kebelet pipis, tapi aku ragu untuk keluar karena hanya mengenakan kaos milik Om Damar tanpa dalaman apapun.

Membuka pintu kamar dengan sangat pelan-pelan. Aku mengintip keadaan sekitar yang remang-remang karena lampu ruang tengah yang dimatikan. Tak lupa aku melirik sebentar ke arah sofa, memastikan jika Om Damar masih tertidur dengan pulas.

Setelah memastikan Om Damar masih tertidur. Aku melanjutkan langkahku, berjalan mengendap-endap dengan langkah kaki teramat pelan. Sudah seperti pencuri saja, padahal sekarang ini tempat tinggal ku. Walaupun hanya satu minggu.

Tiba di kamar mandi, aku menutup pintu tak kalah pelan. Tapi memang dasarnya pintu kamar mandi ini menyebalkan. Semakin pelan aku menutupnya, maka semakin keras pula suara derit dari engsel pintu yang terdengar. Pintu sialan!

Setelah pintu berhasil tertutup. Aku melakukan keinginanku. Rasanya lega, perutku menjadi nyaman seketika. Setelah selesai aku segera bersih-bersih. Tak lupa aku menggunakan tissue yang sempat aku bawa dari kamar untuk mengeringkan area pribadiku.

Ketika aku membuka pintu. Jantungku terasa mau lepas saking terkejutnya. Di depanku ada Om Damar yang tengah berdiri sembari memasukkan tangannya ke dalam kantong celana.

"Ke--kenapa, Om?" tanyaku gugup.

Om Damar tidak menjawab, pria itu hanya menatapku tanpa berkedip. Kemudian tanpa aba-aba menarikku ke dalam pelukannya. Mencium bibirku dengan cepat, dan kasar.

Aku terkejut! Sungguh. Demi apapun aku benar-benar terkejut. Pikiranku tiba-tiba kosong. Ini adalah ciuman pertamaku. Kenapa rasanya seperti ini, manis, kenyal, dan juga basah. Apa ciuman memang seperti ini? Atau hanya pendapatku saja?

Beberapa saat kemudian aku kehabisan napas. Yang tadinya aku mematung, menepuk-nepuk dada Om Damar untuk dilepaskan. Aku tidak mau mati karena kehabisan napas, oke!

"Bi," panggil Om Damar dengan suara berat dan kaku. Membuat bulu kudukku berdiri. Ini benar Om Damar 'kan? Bukan genderuwo yang menyamar seperti di cerita-cerita thriller yang pernah aku baca, kan?

"Jadilah istriku," ujarnya tiba-tiba. Aku yang masih mencerna ucapannya hanya menatap wajah pria berusia 46 tahun itu dengan bingung. Mencari-cari jawaban pasti dari wajah tampan, yang tidak tertutup oleh usia itu.

Lamaran seperti apa ini? Atau jika dia bercanda, apa pantas bercanda sejauh ini?

"Om?!"

"Aku menginginkanmu, Bi. Aku sudah tak sabar menunggu," bisiknya sembari mengigit daun telingaku pelan. Sedetik kemudian bibir itu telah berpindah ke tulang selangka ku.

Aku hanya bisa terpaku, tidak tahu harus berbuat apa. Aku tahu ini salah, hanya saja akal sehatku mengatakan ini adalah kesempatanku untuk merasakan sentuhan seorang pria. Setan memang!

Aku membiarkan Om Damar mengecupi setiap sudut leherku. Sedangkan tanganku, mencengkram ujung baju bawahnya dengan erat. Tangan Om Damar menahan pinggangku agar aku tidak luruh ke bawah.

"Om," cicit ku dengan suara lirih.

"Panggil namaku, Bi. Sebut namaku dengan bibir manis mu, Sayang!" Pintanya tanpa menghentikan aktivitasnya.

"A--aku capek berdiri. A--apa kita tidak bisa duduk saja?" tanyaku dengan suara terbata. Astaga, kemana suaraku. Kenapa terdengar seperti cicitan anak ayam yang bahkan sulit untuk didengar apalagi di pahami.

"Di kamar?!" Tanya Om Damar meminta persetujuan dariku. Aku dengan polosnya mengangguk. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, aku tidak tahu. Yang jelas, aku menikmati ciuman ini. Aku menikmati sentuhan Om Damar di leher dan tulang selangka ku.

Rasa gelenyar aneh yang merambat membuat adrenalin ku berpacu. Memompakan darah lebih cepat ke seluruh organ tubuhku seperti tengah menaiki rollercoaster yang bergelombang.

Aku tersentak, Om Damar tiba-tiba mengangkat tubuhku. Menggendongku gaya koala, sembari menarik kepalaku agar terbenam di ceruk lehernya.

"Cium di sana, Sayang. Aku menginginkannya," pinta Om Damar sembari berjalan menuju pintu kamarku.

Menepis sedikit keraguan, aku menempelkan bibirku di lehernya. Hanya menempel tidak lebih. Aku terus melakukan itu, mengalihkannya ke beberapa tempat. Aku tidak berpengalaman. Tolong!

Setelah tiba di kamar, Om Damar mendudukkan tubuhku di kasur. Ia kemudian berbalik, mengunci pintu, lalu berdiri sambil menatapku dengan rumit dari sana.

Cukup lama kami terdiam. Tidak ada yang memulai, tidak ada yang membuka suara. Hanya diam, sunyi, ditemani suara jangkrik dari luar jendela.

Setelah cukup lama. Om Damar mendekatiku. Mengangkat tubuhku, lalu memindahkannya ke atas pahanya. "Menikahlah denganku, Bi. Aku berjanji akan memberikan kebahagiaan untukmu!" Pinta Om Damar dengan tatapan mata serius.

Gila! Ini benar-benar gila! Paman dari mantan suamiku, memintaku untuk menikah dengannya. ASTAGA!

"Tapi, Om--"

"Damar, jangan panggil aku dengan panggilan Om, Binar!" titahnya mutlak.

Aku hanya bisa meneguk ludah dengan kasar. "I--iya, maksudku. Beberapa hari yang lalu bahkan kita masih berstatus menantu dan mertua dari keponakan mu. Ba--bagaimana bisa?" Tanyaku sedikit terbata-bata karena takut dengan tatapan matanya yang sangat berbeda dari biasanya.

"Bisa!" Tegasnya, "Kamu belum di jamah. Kamu sendiri yang mengatakannya padaku, bukan? Masih suci, bahkan jika kita menikah di hari kamu bercerai pun itu bukan masalah!"

Pemahaman macam apa lagi ini? Ucapan Om Damar benar-benar di luar dari nalar ku. Aku tidak bisa berkata-kata, ini terjadi seperti mimpi Baru saja bercerai dari keponakannya, masa harus menikah dengan pamannya. Apa kata dunia nanti? Yah, meskipun orang-orang luar tidak banyak yang tahu status dari Mas Danu. Tetap saja, bagaimana jika nanti orang-orang tiba-tiba tahu?

Selain itu, mau bagaimanapun Om Damar adalah paman mantan suamiku. Aneh rasanya jika kami harus menikah.

Aku kembali tersentak tak kala sesuatu yang kasar meraup dada kiri ku. Mendongak, aku melihat Om Damar tersenyum miring.

"Nikmati malam ini, Bi. Setelah ini berlalu, sudah tak ada alasan untukmu menolak ku!" Tukasnya sembari merapatkan pelukannya pada tubuhku.

Mataku terpejam menikmati sentuhan lembut bibirnya di bibirku. Rengkuhan nakal tangan Om Damar di dadaku bahkan tidak ada bandingannya dengan bibirnya yang manis. Namun, ketika tangan liar itu menyibakkan kaos yang aku kenakan hingga ke atas dada. Bibirnya tersenyum nakal.

"Seksi," bisiknya pelan tepat di depan wajahku. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang dia lakukan. Setiap sentuhannya, kubalas dengan lenguhan. Aku pasrah terhadap apa yang Om Damar lakukan pada tubuhku. Karena pada dasarnya aku menikmati sentuhan ini.

"Ini dia intinya, Sayang." Tuturnya sembari membuka kedua pahaku hingga melebar. Sesaat kemudian, rasa sakit menyeruak dibagiin inti tubuhku.

"Hiks... Jangan, stop. Enggak mau gini, ini sakit, Om. Enggak! Udah-udah, jangan gini, sakit!" Rengek ku sembari menangis.

Om Damar menghentikan kegiatannya sebentar. Membelai lembut pipiku dengan penuh perasaan sayang. "Ternyata kamu benar masih perawan. Bersabarlah, Sayang. Sakitnya hanya sebentar, nanti kamu juga akan menikmatinya!" tuturnya sembari mulai melumat kembali bibirku.

Aku pikir dia mendengarkan rengekan ku. Rupanya aku salah! Sialan! Om Damar malah menyentak tubuhnya dengan kuat. Rasanya ada sesuatu yang hancur di bawah sana. Benar-benar menyakitkan, andai saja aku tahu begini. Aku tidak akan termakan bualan Bu Rini dan Mbak Andien. Mereka membohongiku! Bagian mananya yang enak? Bagaian mananya yang membuat melayang hingga ke langit tertinggi. Jelas ini menyakitkan, hingga rasanya ingin menyambangi neraka saja!

Awas saja nanti aku pulang. Bu Rini pasti akan ku caci maki hingga puas!

Married with your Uncle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang