20.Berdamai di bibir

14.9K 602 8
                                    

Happy Reading!!!

Author POV

Binar diantar pulang ke kompleks perumahan permai oleh mang Kardi. Sepanjang perjalanan, ia banyak melamun. Bukan karena sedih mengingat reaksi Danu, melainkan karena karena dia merasa bersalah telah menjadi pemecah belah pihak antara Danu dan Damar.

"Neng, kita udah sampai. Gerbangnya masih di kunci ya, Neng?" Binar tersentak mendengar suara Mang Kardi.

Pelan, dia mengangguk. Buru-buru Binar turun dari mobil, berlari-lari kecil menuju rumah buk RT.

"Assalamualaikum. Buk RT, ibuk...," panggil Binar dari luar pagar.

Tak lama terlihat Pak RT membuka pagar rumah. "Ehh, Mbak Binar. Mau ambil kunci, ya?" Tanya Pak RT sembari membukakan pintu pagar lebar.

"Iya, Pak. Sekalian mau ngasih tahu kalo aku udah nikah lagi. Nanti dikira Binar nyelundupin laki lagi ke rumah," kelakar Binar yang disambut tawa garing Pak RT.

"Oalah, udah nikah lagi, toh. Kok bisa, nikah di kampung ayahnya, ya, Mbak? Wajarlah Mbak masih muda, pasti segera dicarikan jodoh lagi sama orangtuanya, ya. Ouh iya, masuk ... Masuk ... Sebentar, saya ambil dulu kunci rumah, Mbaknya." Binar mengangguk, dia lebih milih berdiri di dekat pagar dari pada duduk di teras.

Bukan apa-apa, takutnya Buk RT sedang tidak ada di rumah. Nanti malah jadi fitnah. Lebih baik menghindari, dari pada menjelaskan, bukan?

"Ini, Mbak. Ouh iya, boleh saya foto bukti buku nikahnya, Mbak. Sekalian fotonya, buat ditunjukkan pada penjaga keamanan kompleks. Toh, suaminya belum ikut pulang kan, ya," pinta Pak RT pada Binar.

Binar segera mengeluarkan buku nikahnya dari dalam tas. Dia sempat tertegun sejenak ketika melihat buku nikah suaminya juga masih di tangannya. Mungkin Damar lupa menyimpan buku nikah miliknya, atau memang sengaja dibiarkan bersama Binar semuanya.

Binar menggelengkan kepala pelan. Membuang spekulasi mengenai prahara buku nikah. Segera ia tunjukkan keduanya pada Pak RT. Setelah buku nikahnya di foto, Binar juga mengirimkan satu foto pernikahan mereka beserta satu foto Damar yang mengenakan jas formal.

"Terimakasih, ya, Pak. Bilang sama Bu RT, oleh-olehnya nanti, belum sempat di bongkar," bohongnya. Padahal sudah jelas dia melupakan koper berisi oleh-oleh untuk para tetangganya samping kiri-kanan, juga depan rumah masih tertinggal di rumah Damar.

"Hehehe ... Iya, mbak. Nanti saya sampaikan," kekeh Pak RT menanggapi Binar.

.

.

.

Berulangkali Binar menghembuskan napas panjang. Rasa pegal, capek, letih, dan lelah seusai perjalanan belum hilang. Dia sudah di suguhi keadaan rumahnya yang pengap juga berdebu.

Buru-buru Binar menghubungi tukang sedot debu andalannya. Dia harus segera menyingkir setiap debu yang ada di rumahnya. Tak lupa, dia juga menghubungi orang yang biasanya membantunya membersihkan rumah selain Mbok Yem.

Benar kata orang. Emosi boleh, impulsif jangan. Lihatlah, gara-gara harga dirinya yang serasa di injak-injak oleh Danu. Dia malah memutuskan pulang dengan impulsif. Tanpa memikirkan bahwa rumahnya sudah dua minggu lebih tidak ditinggali. Dia malah mengajak Damar---suaminya untuk tinggal di sini.

"Derita banget hidup ku," keluh Binar sembari menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu.

Tak lama, tukang sedot debu datang. Binar mengarahkannya untuk memulai dari kamar di lantai atas. Lalu setelah itu baru di gorden-gorden, kursi-kursi yang ada bantalan, serta sofa-sofa di lantai bawah.

Married with your Uncle Where stories live. Discover now