16.Bisikan maaf yang tak sampai

15.8K 605 8
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

Setelah bertengkar dengan Anaya di jalan. Aku mengantar wanita itu kembali ke apartemen. Aku tidak tahu ada apa dengan hatiku. Sejak kapan Binar menjadi begitu berharga untukku. Hanya saja perceraian ini berhasil membuatku tersiksa hingga ke tulang.

Sebelumnya aku sangat percaya diri jika Binar tidak akan pernah berani meminta cerai dariku. Dia sebatang kara, orang tuanya sudah meninggal semua. Harta? Bahkan ibu Binar sebelumnya menghabiskan semua harta mereka untuk pengobatan. Lalu, keberanian apa yang membuat wanita itu nekat menceraikan ku.

Dengan perasaan yang tak kunjung tenang. Aku membereskan semua pakaianku, memasukkannya ke dalam koper besar yang sebelumnya di antarkan Binar ke sini.

Aku tahu, tidaklah sedikit luka yang aku torehkan untuk wanita itu. Sejak awal pernikahan pun aku memang telah mengkhianatinya. Hanya saja saat itu aku hanya bermain-main dengan para wanita bayaran. Tidak seperti tiga tahun terakhir yang hanya terpaku pada Anaya. Kekasihku yang sempat menghilang selama dua tahun lebih.

Perginya Anaya tanpa kabar selama hampir setahun sebelum pernikahanku membuatku hampir gila hingga menyetujui rencana orangtuaku yang di sampaikan paman untuk menikahkan aku dengan anak Tante Arum. Hanya saja, setiap kali melihat Binar, aku menjadi teringat bagaimana Tante Arum merawatku selayaknya seorang anak kala itu.

Aku tidak boleh egois, bukan? Aku tidak bisa mencintai putrinya seperti yang mereka harapkan. Setidaknya aku tidak menghancurkan masa depannya dengan menidurinya tanpa cinta.

Aku sudah menganggap Binar seperti adik kandungku sendiri kala itu. Meniduri Binar yang lugu tanpa cinta, hanya akan membuatnya sama seperti jalang yang aku tiduri di luar sana. Tidak! Binar adalah gadis yang terhormat.

Pemikiran seperti itulah yang selalu aku tanamkan di dalam hati. Tapi sekarang aku menyesali pemikiran itu. Andai saja aku menidurinya dan memiliki anak dengan Binar. Mungkin saja dia tidak akan meminta cerai dengan mudah.

Kepalaku berdenyut sakit tiba-tiba. Memikirkan tentang Binar memang tidak ada habisnya. Lebih baik, ku tunda kepergian ku sampai besok pagi. Setidaknya aku harus istirahat sejenak agar mempunyai tenaga untuk menyetir hingga ke Bandara. Aku memutuskan untuk liburan ke Bali. Otakku rasanya mau pecah karena di penuhi kenangan yang tidak seberapa bersama Binar.

"Mas, kamu sudah pulang?" Binar terlihat menghampiriku. Dengan cekatan mengambil jas, juga koper yang ku tarik di tangan kiri.

Senyum manis di bibir wanita cantik itu tak pernah luntur kala menyambutku. Sejurus, rasa bersalah menghantam hati kecilku. Hanya saja otakku menolak untuk menerima.

Seharusnya Binar marah-marah ketika aku pulang seperti para istri pria lain yang mengetahui bahwa suaminya berselingkuh. Hanya saja, Binar tidak seperti itu!

Bahkan kala aku mengangkat telepon dari wanita lain pun dia tidak menunjukkan raut wajah cemburu, apalagi marah. Kami di rumah ini sudah benar-benar seperti adik kakak yang hanya tinggal berdua.

"Hemm," sebuah paper bag berisi tas Gucci pengeluaran terbaru ku berikan pada Binar. Aku tahu pamanku sering memberikan hadiah untuk Binar.

Paman juga sering bilang jangan ragu untuk royal sama istri, karena rezeki suami itu juga rezeki istri. Tapi, apakah itu masih berlaku untuk rumah tangga seperti aku dan Binar?

"Untukku?" Tanyanya tidak percaya.

"Hemm... Aku capek, boleh aku minta buatan sesuatu yang hangat dan segar untuk mengembalikan energi?" Pintaku pada Binar. Ia tersenyum, lalu mengangguk dengan antusias. Astaga, lihatlah anak itu. Disuruh malah senang, memang terlihat sedikit berbeda dengan para wanita yang ku kencani.

Boro-boro menyambut dengan bahagia seperti itu. Mereka malah akan merengut dan merengek takut kulit dan kuku-kuku cantik mereka rusak. Andai saja hati ini bisa mencintai Binar lebih dari sekedar menyayangi seorang adik.

Tok ... Tok ...

"Mas, aku masuk, ya?" Bangkit dari tempat tidur. Aku membukakan pintu. Ku lihat Binar sudah berganti pakaian, daster pendek dengan belahan dada rendah. Apa yang ada di pikiran wanita ini? Menggodaku? Tapi rasanya itu tidak mungkin.

"Sini, istirahatlah."

Setelah mengambil secangkir wedang jahe yang dibuatkan Binar. Aku kembali menutup rapat pintu kamarku. Ya, kami memang tidur di kamar yang terpisah.

Paman tentu saja tidak tahu soal ini. Juga, aku tidak perlu takut paman tahu. Karena paman tidak pernah datang ke rumah kami. Sebaliknya, malah Binar yang sering datang ke rumah paman hanya untuk bertemu dengan ibu-ibu tetangga paman, menggosip bersama layaknya istri normal lainnya.

Pagi harinya, Binar terlihat sedang menyiram bunga di taman mini miliknya. Bersenandung kecil seolah-olah tidak memiliki beban hidup sama sekali. Melihatnya begitu bahagia aku tersenyum. Langkah kakiku ingin membawaku menghampiri Binar, entah angin apa yang membuatku ingin memeluk tubuh ramping, nan seksi itu ke pelukanku.

"Sayang, lepaskan itu. Berhentilah bermain air, nanti kamu kecapekan!" Seorang lelaki dengan wajah samar yang tidak aku kenali melewati tubuhku. Keluar dari dalam rumah kami lalu mengambil alih pekerjaan Binar.

Dadaku bergemuruh, sesak, dan sakit secara bersamaan. Apa-apaan ini! Apa Binar berselingkuh juga dariku? Dia ingin balas dendam, lalu membawa pria lain ke rumah saat aku ada di rumah? Begitu?!

Keterlaluan, tidak bisa dibiarkan lagi. Memikirkan Binar yang menggunakan daster pendek dengan belahan dada rendah tadi malam membuat aku semakin panas. Apa mereka bercinta di rumah kami tadi malam? Bermesraan seperti aku tidak ada di rumah? Apa memang begini kelakuan Binar?!

"Binar!" Bentak ku memekik keras. Hanya saja Binar seakan-akan tuli dengan suaraku. Apa wanita itu sudah tidak menghormati ku lagi. Setidaknya sebagai seorang kakak, meskipun tidak bisa menganggap ku suami.

"Binar! Apa yang kalian lakukan haaa!" Pekik ku semakin keras, dipenuhi gelora amarah. "Binar!"

Byur...

Uhuk ... Uhuk ...

"Mas! Bangun!" Anaya terlihat berkecak pinggang dengan gelas kosong di tangannya. Aku masih terbatuk-batuk karena air memasuki rongga hidung.

Perih sekali rasanya. Aku menatap Anaya yang masih memegang gelas dengan garang. Melihatnya semakin kurang ajar membuatku kehabisan kesabaran.

Plak ...

"Apa yang kamu lakukan, haa! Berani sekali menyiram ku dengan air seperti ini." Makiku keras, aku mendorong tubuh Anaya ke tempat tidur.

"Mas, kamu nampar aku?" Anaya membulatkan matanya tidak percaya. Mata bulat besar itu terlihat berkaca-kaca. Seolah-olah sangat nelangsa, dan tersiksa.

Astaga! Apa yang aku lakukan. Mencoba meredam emosi di hati. Aku menghembuskan napas panjang. Memilih berbalik, lalu memasuki kamar mandi.

"Mas! Kamu kenapa sih?! Tega kamu nampar aku, Mas. Gimana kalo aku keguguran pas terjatuh, Mas!" Suara teriakan dari Anaya masih terdengar dari luar kamar mandi.

Mengabaikan teriakan Anaya, aku meraup wajah lelah. Ternyata apa yang terjadi adalah mimpi. Binar bersama pria lain hanya mimpiku saja. Ya Allah, sejauh mana kau telah membolak-balikkan hati ku. Sejauh mana kau ingin menunjukkan padaku jika Binar adalah wanita yang tepat untukku.

Mengacak-acak rambutku hingga berantakan. Lalu perlahan aku menghidupkan shower, menyiram setiap jengkal tubuhku dengan air dingin yang mengalir. Aku perlu mendinginkan kepalaku.

Bayang-bayang tentang Binar yang menyambutku dengan senyum cerah. Mengabaikan bau parfum, juga kadang bekas lipstik wanita lain di pakaianku membuatku semakin sesak.

"Maafkan aku, Bi. Seharusnya aku membahagiakan mu, tetapi malah menyakitimu. Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau kembali padaku, Bi. Andai saja aku bisa memutar waktu," lirih hati yang terus memanggil seorang Binar untuk kembali ke dalam kehidupanku.

"Maafkan aku," bisikku pada angin kosong. Binar mungkin tidak bisa mendengar ucapan maaf ku, tapi aku berharap Tuhan berbaik hati menghembuskan bisikan maaf ini hingga ke hati Binar. Wanita baik, dan penuh kesabaran yang selama ini telah aku sia-siakan.

Beri vote kalean... Gak mau tahu aku😤

Married with your Uncle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang