11.Menggoda Binar

23.7K 705 11
                                    

Happy Reading!!
.
.
.

"Om, bangun. Katanya lapar, kok malah tidur!" ujar Binar sembari mendudukkan tubuhnya di ujung kakiku. Ku lihat di meja sofa sudah ada sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. Ayam goreng, tempe goreng, lalapan beserta sambal. Di dalam mangkok samping piring juga ada sayur asem yang masih panas.

"Hemm, iya. Tunggu sebentar, aku cuci muka dulu," jawabku.

Setelah mencuci muka, aku merasa jauh lebih segar. Badanku pun terasa lebih ringan dari tadi pagi. Mungkin karena kurang tidur tadi malam aku menjadi merasa lebih lelah dari biasanya.

"Kamu enggak makan?" Tanyaku pada Binar. Karena kulihat tidak ada piring lain selain sepiring ayam goreng beserta teman-temannya. Juga dua mangkok sayur asam di atas meja.

"Ini lagi makan," Binar mengarahkan satu piring kecil berisi sambal juga jagung yang aku tebak berasal dari sayur asam. Ditangannya ada paha ayam yang sudah dimakan separuh.

"Enggak pakai nasi?" Tanyaku heran.

Binar menggeleng. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya, dan kembali beralih ke arah dapur. Mengabaikan Binar, aku mulai memakan makanan yang sudah disiapkannya.

Sungguh bodoh Danu mengabaikan istri seperti Binar. Wanita itu tahu bagaimana merajakan seorang suami. Empat tahun aku memperhatikan Binar, dari apa yang aku nilai. Binar merupakan tipikal wanita yang senang direpotkan.

Dia akan senang jika dimintai tolong. Ketika dia masih menjadi menantu keponakanku, aku bahkan sering memintanya untuk membuatkan kopi. Bahkan jika ada kesempatan untuk makan siang di kantor, aku akan memintanya mengantarkan makanan ke kantor.

Meskipun Binar selalu meninggalkannya di meja resepsionis. Tapi aku tahu jika dia senang, Yem biasanya akan mengirimkan vidio-vidio singkat kebersamaannya bersama Binar ketika menyiapkan makan siang untukku. Tentunya Yem melakukan itu atas keiingan ku!

"Ini kopinya, Om!" Aku mengangguk. Kulihat ditangannya sudah membawa beberapa potong ubi jalar rebus.

"Kamu enggak makan nasi, Bi?" Tanyaku lagi penasaran.

"Iya, nasinya beras putih. Aku takut gemuk," jawabnya santai, membuatku hampir tersedak. Buru-buru aku mengambil gelas air putih. Menenggaknya sampai habis tak tersisa.

"Bi, kamu itu kurus loh. Enggak apa-apa berat badannya naik dikit, sepuluh kilo pun belum bakal buat kamu kelihatan gemuk!" Aku memberikan nasehat pada wanitaku tercinta ini. Bisa-bisanya dia takut gemuk, di saat tubuhnya yang kurus ramping itu bisa saja melayang jika diterpa angin kuat.

Ku tebak, berat badan Binar saat ini mungkin tidak lebih dari 45 kilogram. Wajar sih, meskipun dia pernah menikah. Tetapi dia masih gadis, belum merasakan yang namanya perubahan hormon.

"Jadi menurut Mas Damar aku kurus, gitu?" Ujar Binar dengan nada sewot.

"Bukannya gitu, Sayang. Tapi 'kan maksudku, meskipun kamu nambah berat badan juga tubuhmu masih akan terlihat sama."

"Iya, nanti aku coba naikin berat badannya. Tapi nanti, enggak sekarang!" Ujarnya tanpa melihat ke arahku. Dia kembali mengambil potongan ayam yang tadi dia makan. Diselingi dengan potongan ubi berwarna ungu yang sialnya terlihat lezat di mataku.

"Kamu yakin tenaga kamu cukup buat ngelayani aku dengan makan itu?" Godaku memberikan kerlingan mata nakal pada Binar.

"Apa sih, Om. Semalam itu aku khilaf, oke, jadi enggak ada lagi lain kali. Pokoknya sebelum kita sah, jangan coba-coba lagi!" Ketusnya dengan nada suara sedikit tinggi.

Aku menghentikan suapan tanganku. Menatap Binar yang masih sibuk memakan ubi dengan intens. Aku tidak salah dengarkan? Dia minta dinikahi olehku 'kan?

"Kamu mau nikah sama aku?" Tanyaku ragu-ragu.

"Jadi menurut Om aku harus nikah sama siapa? Jangan mentang-mentang aku udah janda, Om mau lari dari tanggungjawab, ya!" Hardiknya kesal.

Aku hanya terkekeh geli mendengar ucapannya. Memangnya siapa yang mau lari dari tanggungjawab? Ada-ada saja. Susah-susah aku menjebaknya sampai ke sini hanya untuk meminta restu pernikahan masa malah lepas tanggung jawab. Itu adalah satu-satunya hal yang tidak mungkin akan terjadi!

"Om, benar-benar akan menikahi ku 'kan?" Tanyanya lagi dengan nada suara rendah. Tatapan matanya berubah menjadi sendu. Seketika aku merasa bersalah karena menanyakan hal bodoh yang tidak bermanfaat seperti tadi.

"Iya, Sayang. Besok kita ke rumah Paman Afit, ya. Kita minta restu dari Paman, juga meminta beliau untuk menjadi wali nikah mu nanti," jawabku menenangkan Binar.

"Paman Afit?" Tanyanya bingung.

"Iya, Paman Afit. Adik dari ayahmu." Binar nampak mengangguk. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Meskipun dia tidak mengatakannya, aku tahu dia pasti merasa sedih.

Dari kecil, Binar tidak pernah bersama ayahnya. Ibunya Binar di Jakarta, sedangkan ayahnya menikah lagi setelah satu tahun pernikahan karena mendapatkan warisan pembagian kebun dari kakek Binar.

Ibunya Binar orang hebat, aku sangat tahu itu. Dia merupakan seorang desainer perhiasan terkenal pada masanya, juga sahabat baik almarhum istri kakakku. Setelah beliau tahu ayahnya Binar menikah lagi di Sumatra, beliau tidak meminta cerai seperti wanita lainnya. Tetapi beliau juga tidak pernah sekalipun menerima kembali ayah Binar untuk kembali ke rumah.

Ketika kakakku dan istrinya meninggal dunia. Ibunya Binar adalah orang yang membantuku menjaga Danu yang saat itu berusia lima tahun. Empat tahun setelah itu, Ibunya Binar depresi hingga hampir gila. Ayahnya Binar benar-benar bejat. Karena terus saja ditolak untuk kembali, beliau menculik Binar dan mengancamnya.

Ibunya Binar mengalami gangguan mental karena terus menerus tertekan, dan telatnya penanganan psikologis. Selain itu dia juga terkena kangker payudara. Dia harus melakukan pengobatan selama bertahun-tahun hingga harta mereka perlahan habis untuk biaya pengobatannya.

Sebelum meninggal dunia. Ibunya Binar sempat memintaku menjaga Binar dan memberikan wasiat almarhum kakakku untuk menjodohkan kedua anak itu. Itulah yang membuat Binar dan Danu menikah.

Di hari pernikahan Binar, ayah kandung Binar datang menjadi wali. Saat itu pulalah pertemuan terakhir Binar dengan ayahnya. Almarhum ayah Binar memberikan warisan perkebunan. Karena tidak ada yang mengelola, akhirnya aku juga yang turun tangan untuk perkebunan itu.

Ya, serumit itulah kehidupan orang tua Binar. Dan sekarang, Binar bahkan harus merasakan yang namanya di selingkuhi sama seperti almarhum ibunya.

Tapi aku juga tidak bisa mengalahkan Danu sepenuhnya. Binar dan Danu, mereka besar dan tumbuh bersama. Wajar rasanya jika Danu merasa bahwa Binar sudah seperti adiknya sendiri, dan bingung menyikapi pernikahan mereka.

"Sayang, enggak usah terlalu dipikirkan. Nanti kamu juga akan kenalan dengan semua kerabat ayahmu, kok. Aku cukup dekat dengan semua kerabat ayahmu, mereka juga mengharapkan bertemu denganmu. Percaya, mereka sebenarnya sangat menyayangimu meskipun belum pernah bertemu secara langsung. Di rumah paman Kaduk, aku bahkan pernah melihat foto ibu, juga kamu dipajang di samping foto keluarga mereka." Jelasku menenangkan Binar yang tengah berkecamuk dengan pikirannya sendiri.

"Bahkan aku enggak pernah liat foto ayah kamu di rumah paman Kaduk. Enggak tahu kalo di rumah paman Afit, belum pernah bertamu soalnya," sambungku diiringi kekehan.

"Iya, Om. Aku cuman penasaran aja sama saudara-saudara ayah. Sama ayah aja aku cuman sempat ketemu sekali. Aku hanya mengenal paman Kaduk juga bibi," adunya dengan senyum yang dipaksakan.

"Lanjut makan, sana. Habis ini aku minta jatah ranjang lagi," godaku mencoba mencairkan suasana melow di hati Jessi.

"Om! Ihh... Dibilangin nanti tunggu sah." Gerutunya marah, dengan bibir manyun. Binar menghentikan makannya. Membereskan piring yang ia gunakan, lalu membawanya menuju dapur.

"Mau kemana, Bi. Kamu udah gak sabar ya, sayang? Tapi aku belum selesai makan loh!" Teriakku semakin gencar menggodanya.

"Enggak peduli! Aku ngambek sama kamu." Pekiknya lantang dari dapur. Aku tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lucu Binar. Dan kembali melanjutkan acara makan ku yang tertunda karena obrolan yang melow.

Married with your Uncle Where stories live. Discover now