22 - Saudara

32 4 0
                                    

Gadis itu menatap ke luar jendela mobil yang diumpanginya, memandangi jalanan yang penuh sesak dengan berbagai macam kendaraan. Pikirannya berkelana pada pembicaraannya tempo hari bersama Dean. Entah angin apa yang membuatnya memikirkan sosok itu. Namun, yang jelas ada setitik khawatir yang tiba-tiba terasa di dadanya, meski tidak tahu mengenai sesuatu yang benar-benar ia khawatirkan.

Netranya mengerjap, menyibukkan diri dengan pemandangan di luar kendaraan sebelum atensinya beralih pada ponselnya yang bergetar. Terpampang jelas nama sang ibunda di sana yang mengirimkan pesan singkat padanya.

Bunda Desvi

|Nai, sudah perjalanan pulang?
|Maaf, ya, bunda belum bisa jemput.

Nanai dalam perjalanan menuju rumah sakit. Bunda mau dibawakan apa?|

Semenjak dua hari yang lalu, memang Desvia—bundanya—menjalani rawat inap di rumah sakit entah apa sebabnya. Mereka—bunda dan ayahnya—tidak memberitahu dirinya perihal kenapa wanita yang telah merawatnya itu sampai harus di bawa ke rumah sakit. Dirinya pun baru tahu pagi tadi ketika hendak pulang dari tempat olimpiade, saat bertelponan dengan ayahnya. Katanya, agar ia tidak kepikiran dan fokus pada pelaksanaan olimpiade.

Meskipun tidak habis pikir dengan alasan yang diberikan, karena menurutnya—sekarang—hanya sang ibunda yang utama, apalagi perihal kesehatan. Namun, tidak dapat dipungkiri hal tersebut juga disyukurinya. Bukan karena tidak tahu akan kondisi bundanya, tetapi lebih kepada perhatian dan pemahaman kedua orangtuanya itu terhadap dirinya. Meskipun sebenarnya tidak disukainya.

Bersamaan dengan mobil yang berhenti akibat lampu merah yang menyala pada pojok kanan jalan, ponselnya kembali bergetar. Kali ini lebih nyaring dan bertahan lama karena bukan pesan yang masuk, tetapi sebuah panggilan telepon. Sang bunda.

"Assalamualaikum, Sayang." Terdengar suara lembut yang khas dari seberang.

"Waalaikumsalam, iya, Bunda?" tanyanya berpikir sang bunda membutuhkan sesuatu hingga harus menelponnya. Seraya menunggu jawaban dari seberang, matanya tak lepas dari memandang langit mendung Kota Jakarta yang tak serta merta mengurangi hiruk pikuk manusianya. "Bunda butuh sesuatu?" lanjutnya lantaran tidak kunjung mendapat jawaban.

"Tidak, Bunda tidak butuh apapun. Hanya saja, ada yang perlu Bunda bicarakan sama kamu, Sayang."

"Kenapa?"

Terdengar helaan napas berat dari seberang sana, seolah sudah lelah dengan kehidupan duniawi yang tidak kunjung menemukan titik terangnya. Menandakan ada hal berat yang tidak mampu terucap, tetapi harus disampaikan. "Sebelum pengumuman pemenang olimpiade tahun ini lusa, Bunda ingin memberitahu beberapa hal sama kamu. Yang mungkin akan membuat kehidupan kamu berubah seratus delapan puluh derajat nantinya. Namun, Bunda harap yang akan bunda sampaikan nanti dapat kamu terima dengan lapang dada dan dikemudian hari kamu bisa bahagia dengan kenyataan ini."

Perasaan aneh menjalar di hati Nanai. Pikirannya mulai menebak-nebak apa yang akan disampaikan Desvia sebenarnya. Sesuatu yang pasti gadis itu yakini, yang akan disampaikan salah satu orang yang amat dihormati itu, bukan merupakah hal sederhana.

Tidak sabar dengan bahasa Desvia yang seolah berputar-putar, gadis bermata hazel itu kembali mengeluarkan suara. "Memangnya, kenyataan apa, Bunda?"

"Sabar dulu, kebiasaan, deh!" Peringatan mulai diperingatkan.

"Iya-iya, kenapa?" tanya gadis itu lagi seraya mengalihkan atensinya. Memasang telinga agar tidak tertinggal satu kata pun dari mulut Desvia.

"Tidak etis rasanya jika bunda sampaikan lewat sambungan telepon seperti ini. Akan tetapi, bunda tidak bisa menunda-nunda penjelasan ini lebih lama lagi, Bunda takut keberanian ini akan hilang seketika. Bunda juga tidak mau adanya penyesalan di masa mendatang akibat dari terlambatnya kamu mengetahui yang sesungguhnya."

Reswara (END)Where stories live. Discover now