19 - Sebelum memulai

37 4 0
                                    

Setelah mendapatkan karunia Tuhan berupa kembali diterima dalam tim peserta olimpiade sains nasional, Nanai menjadi lebih sering belajar ketimbang melakukan hal lain. Hal tersebut dilakukan lantaran tidak ingin mengecewakan sang guru yang telah memberinya kesempatan. Meskipun memang tidak seharusnya ia mendapat hukuman itu.

Gadis itu yang awalnya ambisius dengan tidak mempedulikan orang lain, saat ini mulai berusaha mengubah dirinya. Pada kenyataannya, kejadian sore itu mampu untuk membuat sikap kemanusiaan Nanai kembali muncul.

Walaupun tujuan Nanai masih sama, yaitu kepopuleran. Namun, semenjak eksistensinya tidak lagi diakui, baginya teman hanyalah sebagai alat menciptakan senyum di wajahnya. Tidak seperti dulu yang untuknya kepopuleran merupakan segalanya. Apa pun untuk mereka tanpa memikirkan keadaannya sendiri.

"Bunda! Ayah!" panggil Nanai dengan suaranya yang merdu. Berjalan memasuki rumah dengan wajah ceria yang jarang ditampakannya.

Sang bunda dan sang ayah yang sedang sibuk berbincang di sofa ruang tamu pun lantas mengangkat kepala. Menatap penasaran pada sang putri yang tengah berteriak itu.

"Ada apa, Sayang?" Desvia pun bertanya. Penasaran akan sesuatu yang dapat membuat putrinya sesenang itu.

"Ini, Mah. Yah, kasih tanda tangan, ya!" katanya memberikan kertas beserta pulpen kepada orang tuanya.

"Mana mungkin ayah bisa menolak," balas sang ayah yang kemudian menuruti putrinya. Membubuhkan tata tangannya pada kertas itu. Kertas yang berisi surat izin mengikuti asrama sebelum dan setelah pelaksanaan olimpiade. Sebagai salah satu syarat untuk menjadi peserta dalam ajang tersebut.

"Makasih, Yah!" ungkap gadis itu tulus. Lalu, berniat beranjak dari sana sebelum sang ibunda menghentikan pergerakannya.

"Nai, ingat pesan bunda, lho! Jangan melakukan kesalahan yang sama lagi."

Nanai mengangguk dengan yakin. Walau bagaimanapun curang bukanlah sifat yang gadis itu suka. Ia lebih senang menjatuhkan lawan dengan cara yang cerdas dan berwibawa, tidak seperti yang dirinya lakukan kemarin.

"Iya, iya!"

Begitu bahagia kondisi keluarga Nanai, tetapi ia masih menuntut hal lain. Padahal, kehidupannya sudah termasuk ke dalam kondisi yang hampir sempurna.

Sayang, gadis itu tidak terima begitu saja. Di sekolah ia masih mencari kesempurnaan yang lain, hingga membuatnya terjebak dalam ego yang menguasai diri.

****

Berbeda dengan kondisi hidup di rumah dengan cat coklat susu itu. Penuh dengan tuntutan dan ketegangan yang tiada berakhir. Baik satu sama lain, saling berlomba, bukan bekerja sama. Keharmonisan seakan jauh dari mata.

Bahkan ketika hanya ingin dihargai saja terdengar begitu mustahil di sana. Saling mencari kesempurnaan satu sama lain yang sebenarnya tidak mungkin dimiliki oleh setiap insan yang hidup di bumi.

"Nah, kalian, 'kan, udah dipercaya sama sekolah. Maka, kalian harus lebih keras berusaha. Jangan malu-maluin Mamah yang telah mengandung kalian. Sesekali bikin bangga gitu loh!" cakap sang mama seraya menandatangani dua surat izin tinggal di asrama selama beberapa hari.

Dean yang juga berada di sana hanya dapat memutar bola matanya malas. Lagi-lagi hanya tuntutan yang ia dapat. Bahkan ucapan selamat pun tidak terdengar dari mulut wanita paruh baya itu. Untuk sekedar memberi semangat pun tidak dilakukannya.

"Khususnya kamu, Dean! Belajar jangan bikin kecewa terus-menerus. Nggak malu sama Kaira kamu? Kalian kembar, tetapi Kaira bisa, kok, bikin bangga mama. Ya, 'kan, Sayang."

"Iya, Mah."

"Tapi kamu juga jangan terlena, tetap belajar. Jangan buat harapan Mamah pupus untuk memiliki anak yang pintar dan cerdas. Kalian tahu, jadi bodoh tuh nggak enak. Diremehkan, dihina, tidak dihargai," katanya lantas menatap kedua putra-putrinya.

Namun, baik Dean maupun Nanai, sama-sama tidak menanggapi. Keduanya hanya saling tatap satu sama lain dengan sorot mata yang tidak dapat diartikan.

"Dengar, nggak?" Sadar tidak mendapatkan respon dari keduanya, sang mama kembali bertanya. Memastikan mereka masih tetap mendengarkannya.

"Dengar, kok, Mah!" balas Kaira mewakili.

"Bagus!" Wanita paruh baya itu menjletikkan jarinya mengudara. Ada sedikit jeda sebelum berlanjut pada kalimat berikutnya, "Pokoknya, kalian harus menjadi yang terbaik dalam ajang itu."

Saling men-support itu penting.

Saling menjaga itu perlu

Saling menghargai itu sebuah kewajiban.

Namun, bagaimana dengan keluarga yang tidak mendapatkan semua itu? Hanya derita yang tercipta akibat paksaan meraih yang diinginkan orang tersayang. Tertekan, tetapi tidak bisa apa-apa. Mereka harus bagaimana?

Hatinya terpecah; sebagian ingin menyerah, sementara sebagian lainnya memaksa untuk menetap dan bertahan. Memenuhi segala tuntutan yang ada, tingginya ekspetasi keluarga, serta tekanan batin yang tiada tara.

Mah, kami lelah!

****

Langkah kaki terdengar nyaring di koridor sekolah. Menandakan ada seseorang yang tengah melewatinya. Meskipun bukan jam masuk sekolah, tetapi masih ada beberapa murid yang berkeliaran di sana. Mereka tidak lain dan tidak bukan ialah para murid yang akan mewakili sekolah ini dalam ajang olimpiade sains nasional.

Setelah beberapa lama menunggu, hari inilah jadwal keberangkatan mereka menuju asrama. Sebelum itu, mereka diharuskan mengecek keperluan mereka untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.

Kendati tempat penyelenggaraan tahap satu ada di kota mereka sendiri. Namun, karena ini adalah lomba bertajuk nasional, maka mereka tetap diwajibkan tinggal di asrama yang telah disiapkan panitia.

"Sudah lengkap semua bawaannya?" tanya Pak Baskara pada mereka. Pria paruh baya yang menjabat sebagai Wakil Kepala SMA Cemara itu hanya ingin memastikan kelengkapan bawaan mereka sebelum sampai sana.

Semua mengangguk tak terkecuali tiga manusia yang paling menonjol di antara lainnya. Namun, ketiganya tidak sesenang kelihatannya. Seperti ada beban berat yang dibawa oleh mereka.

"Oke, kalau seperti itu kita ke ruang olim dulu, ya. Kita masih ada waktu untuk kembali memantapkan strategi."

Tak ingin menunggu lama, mereka pun mengikuti langkah Pak Baskara menuju ruangan yang dimaksud. Tampak beberapa dari mereka menunjukkan raut tegangnya, tetapi masih banyak juga yang terlihat santai. Termasuk Nanai yang masih bisa menyungingkan senyumnya di tengah persiapan keberangkatan mereka.

"Sudah berapa jauh persiapan kalian?" tanya sang Wakil Kepala Sekolah. Pria yang masih terlihat gagah di tengah umurnya yang menginjak kepala lima itu menatap tiap-tiap murid yang ia pilih secara langsung untuk mengikuti ajang kompetisi nasional. Netranya berpendar, meneliti tiap inci raut wajah mereka yang tampak pias.

"Orang tua kalian mengizinkan, 'kan?" tanyanya memastikan.

Untuk pertanyaan kedua, semua murid di ruangan itu lantas mengangguk pasti. Bahkan, sebagian besar orang tua mereka sangat mendukung kiprah anaknya dalam meraih prestasi. "Iya, Pak," jawab mereka serempak.

"Tapi, Pak, untuk pertanyaan pertama yang bapak ajukan tadi, mengenai persiapan kami. Sepertinya belum sampai menyentuh angka tujuh puluh persen. Karena ada beberapa materi yang belum kami pahami dan belum ditindaklanjuti untuk dibahas. Itu bagaimana, ya, Pak?" Salah seorang gadis remaja di ruangan itu bertanya.

Pertanyaan yang sangat mewakili.

*****

Hayooo, udah mau hari H kok persiapannya masih minim. Ada yang pernah seperti itu? Kira-kira bagaimana, ya, solusi untuk mereka? Dan akankah solusi itu tepat untuk mengatasi persoalan tersebut?

Tetap stay tune, ya! Semangat sekolah offlinenya!

Reswara (END)Where stories live. Discover now