20 - Perihal Menang dan Kalah

53 5 0
                                    

Suasana terasa berbeda pagi ini. Mentari yang biasa menampakkan diri ketika gorden kamarnya dibuka oleh sang ibunda, sekarang tidak lagi. Bukan karena mentarinya yang menghilang, tetapi sosok lembut nan humoris itu tidak sedang berada satu atap dengannya. Jadilah, meskipun sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh gorden kamar masih tertutup rapat begitu juga dengan mata gadis yang menempatinya.

Gadis itu menggeliat, mencari posisi terbaiknya untuk kembali terlelap. Namun, dering ponsel dari atas nakas membuatnya menghela napas kasar. Tangannya ia gerakkan untuk meraba sekitar, mencari benda yang menimbulkan suara nyaring itu. Tanpa melihat nama yang tertera di layar, jarinya dengan asal menggeser tombol hijau. Hingga, suara di seberang sana membuatnya terlonjak dan beranjak dari kasurnya seketika.

"Kamu di mana, Nai? Seleksinya mulai jam delapan dan kamu belum menunjukkan penampakan sama sekali?" tanya seseorang di seberang sana. Suara lembutnya tidak mampu mengurangi ketegasan dalam setiap katanya.

Melihat jam yang bertengger di salah satu ujung tempatnya, Nanai meringis. Tiga puluh menit lagi acara akan di mulai dan dirinya masih mengenakan piama bergambar kartun favoritnya dengan muka khas bangun tidur.

Meskipun suara Bu Ratna di seberang sana sudah mampu mengembalikan kesadarannya secara penuh, tetapi tidak dengan penampilannya. Ia perlu waktu untuk mandi dan merias diri sebelum turun ke ballroom, tempat di mana seleksi tahap satu akan berlangsung.

"Datang dalam waktu lima belas menit atau kamu akan didiskualifikasi!" Helaan napas terdengar sesaat setelah kalimat penuh ketegasan itu terlontar.

"Baik, Bu," balasnya seraya berjalan menuju kamar mandi yang tersedia di pojok kamarnya. Tidak ingin membuang waktu, gadis yang terkenal dengan kemampuannya berhitung itu melempar begitu saja ponsel di tangannya.

Kepanikan begitu kentara di mata Nanai. Ini kali pertama ia akan terancam didiskualifikasi dalam perlombaan. Gadis itu menduga ini disengaja, karena seharusnya ia sudah berada di tempat semenjak pukul 07.00 untuk mempersiapkan diri. Bukan malah dalam keadaan masih terlelap meski jam sudah menunjukkan pukul 07.30.

Nanai menggerutu dalam tiap gerakkannya bersiap. Sekamar dengan rival terbesarnya—Kaira. Rasa-rasanya dirinya ingin protes kepada panitia sejak kemarin, tetapi tahu hal tersebut tiada guna, maka gadis itu terpaksa mengurungkan niat. Lagipula ia sudah bertekad untuk tidak terpengaruh dengan hal sepele macam itu. Namun, dunia sungguh berhianat kepadanya. Pagi ini ia terancam terlambat datang dan hal tersebut akan membuktikan bahwa keberadaan Kaira yang satu kamar darinya begitu berpengaruh.

Semalam ia baru kembali ke kamar jam sepuluh malam, padahal seharusnya para peserta sudah berada di kamarnya setelah makan malam, yaitu pukul 08.00. Alasan gadis itu pergi hanya karena tidak ingin rasa perseteruan hadir disaat dirinya seharusnya beristirahat untuk me-refresh pikiran. Namun, dugaannya meleset. Karena tertidur terlalu malam malahan berdampak pada jadwal bangunnya yang melebihi target. Gadis itu juga lupa untuk menghidupkan alarm di ponselnya, hingga pagi ini ia merasakan akibatnya.

Selesai bersiap, Nanai tidak memoles wajahnya sama sekali. Gadis itu mempercepat gerakannya, mengambil segala sesuatu yang diperlukan dengan cekatan, lalu keluar kamar dengan tergesa. Kaki jenjangnya bergerak dengan cepat menuju tempat seleksi OSN. Tidak dipungkiri, rasa panik menyergapnya bercampur dengan kepercayaan diri yang mulai merendah.

Melihat kejadian pagi ini, keyakinan Nanai mulai memudar. Apalagi ketika melihat seluruh peserta sudah menempatkan diri kala dirinya baru saja sampai. Dadanya tiba-tiba saja berdegup kencang, lidahnya terasa kelu meskipun hanya untuk menyapa rekan-rekannya atau sekedar memanggil guru pembimbing dari sekolahnya untuk menginformasikan dirinya telah datang.

Gadis itu segera mematri langkahnya menuju satu-satunya bangku yang kosong. Di sana sudah tertera identitasnya di pojok meja mini berbentuk persegi. Sementara di pojok yang bersisihan sudah tersedia beberapa lembar kertas dan alat tulis. Ia tinggal menunggu pembagian soal yang lima menit lagi akan dimulai.

"Maaf, Kak, handphone-nya," pinta salah seorang wanita sepantaran dengan ibunya.

"Oh, iya." Dengan secepat kilat, Nanai segera menyerahkan benda persegi di tangannya itu kepada wanita yang diduganya sebagai panitia. Gadis itu masih tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya ketika tadi menyadari kehadiran orang tersebut.

Sementara itu, dua orang yang sejurus di kanan gadis itu terlihat gusar. Menyasingkan kemampuan mereka dengan kehadiran gadis itu di sini.

"Untung tidak terlambat, ya?" Suara itu adalah milik Kaira. Menyindir sang rival dengan begitu kentara.

Berusaha tidak terpancing, Nanai mengalihkan atensinya pada mesin waktu raksasa di depan yang berdenting. Menandakan waktu pengerjaan sudah bisa dimulai. Tanpa mengindahkan sekitar, gadis itu mengambil lembar pertama soalnya lantas mulai memfokuskan diri pada soal HOTS di hadapannya.

****

Malam harinya, bimbingan belajar dari tim pembimbing masing-masing sekolah mulai dilaksanakan. Untuk SMA Cemara sendiri memilih ruang transit yang disediakan panitia sebagai tempat bimbingan sebelum hari pelaksanaan olimpiade—lusa.

Bimbingan berlangsung selama dua jam dan selesai di jam delapan tiga puluh malam. Seluruh peserta dipersilakan untuk kembali ke kamarnya masing-masing tanpa terkecuali. Termasuk dengan Dean yang sekamar dengan Abimana—anak sekolah sebelah—temannya semasa duduk dibangku putih-biru.

"Apa rencana lo, bro?" tanya Abimana yang telah merebahkan dirinya di kasur. Berbeda dengan Dean yang masih berada di ambang pintu, bimbingan Abimana sudah selesai sejak setengah jam lalu.

"Well, tidak ada apa-apa."

Kalimat itu terlampau santai di indra pendengaran Abimana. Apalagi mengingat sosok Dean yang semasa SMP rela melakukan apa saja untuk mengalahkan saudaranya, Kaira.

"Oh, ayolah! Gue tau persaingan lo dengan saudara kembar lo itu masih berlangsung sampai sekarang, 'kan? Kalian sama-sama pintar, tapi gue tau lo lebih cerdas dan licik dibanding dengan Kaira."

"Akhir-akhir ini dia lebih sering menang dibanding gue."

"Dan gue yakin lo nggak selapang itu menerima kekalahan lo. Benar?"

Dean menoleh sekilas, lantas berjalan menuju sebuah sofa untuk dua orang yang berada di pojok ruangan. Pandangannya mengarah pada luar jendela kaca di sebelah tempatnya duduk. "Gue benci kekalahan."

Pikirannya menerawang kepada saat-saat ketika mamanya sering membandingkannya dengan saudara kembarnya itu, meremehkan bahkan merendahkannya tanpa peduli dengan perasaannya. Saat-saat kala teman-temannya hanya memanfaatkannya dan menghinanya ketika ia tidak lagi menjadi yang terunggul.

Laki-laki bernama Abimana itu tertawa kencang. "Apa seluruh hidup lo itu hanya tentang menang dan kalah?"

"Gue nggak akan seperti itu kalau bukan dia yang mulai!" sungut Dean. Kepingan-kepingan ingatan perihal bermulanya persaingan mereka mulai berputar-putar di kepala. Namun, tentu saja hal tersebut berusaha dienyahkannya agar kepercayaan dirinya tidak goyah.

Sekuat apapun ia menampik, laki-laki itu tidak akan bisa mengubah kenyataan. Bahwa dirinya bersaing dengan karibnya sendiri. Entah, Dean tiba-tiba ingin semuanya berakhir hingga sebuah kalimat kembali memancingnya.

"Cobalah mengalah demi Kaira, demi persaudaraan kalian."

****

Makasih udah mau baca cerita amburadul ini.  Namun, apa pun itu, aku akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk cerita ini meskipun hasilnya nggak baik-baik banget. Semoga suka, ya!

Reswara (END)Where stories live. Discover now