13 - Tak Kunjung Usai

37 6 0
                                    

Kaira sudah bersiap di depan ruang konseling, menunggu seorang Nanai Nunaira keluar dari sana. Sedangkan yang ditunggu, menatap malas dari ambang pintu. Cukup tahu tidakan apa yang akan perempuan dengan status rivalnya itu berikan.

"Bagaimana tadi, hm?" tanya Kaira dengan tangan menyilang setelah menyadari keberadaan Nanai. Gadis itu lagi-lagi menunjukkan senyum miringnya membuat Nanai enggan untuk menanggapi. "Gue akan selalu lebih unggul dari lo!"

"Unggul dalam segi menciptakan alat untuk menjatuhkan seseorang," sindir Nanai dengan tatapan nyalangnya yang ditujukan untuk Kaira. Lalu, dirinya mulai melangkah, hendak pergi dari tempat itu. Namun, gerakannya tertahan oleh cekalan tangan Kaira. "Kenapa?" Nanai berbalik dengan cepat, tersenyum sinis pada gadis di hadapannya

"Nggak apa-apa, dong. Lo juga mau cari kelemahannya Dean untuk jatuhin dia, 'kan?" Setelah tadi menggeram kesal sebab sindiran Nanai, Kaira bertanya mengenai sesuatu yang tidak terduga.

Sayangnya, Nanai sempat lupa mengenai sebuah hal hingga ia sedikit terkejut mengenai pertanyaan Kaira yang lebih terdengar sebagai tuduhan. Akan tetapi, sesaat kemudian ia kembali ingat dan mencoba bersikap seolah biasa saja.

"Sorry, tapi gue nggak akan pakai cara murahan seperti lo!" Disibakkannya rambut pirang miliknya itu ke belakang daun telinga. Lalu, dagunya mulai terangkat, memperlihatkan keangkuhannya pada seorang Kaira.

Nanai tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi dirinya tidak mau kalah meskipun pada kenyataannya sudah beberapa kali terkalahkan oleh gadis itu. Mulai dari Nilai ulangan pun hukuman yang tadi ia dapatkan—semata-mata bukan keputusan sekolah, melainkan ada campur tangan dari pihak Kaira yang berstatus sebagai korban. Iya, korban palsu.

"Lalu cara lo nggak murahan kemarin? Dengan ngunci orang berpenyakit asma dalam bilik toilet yang amat sumpek, lo kira gue nikmati itu? Nggak! Gue bahkan kesakitan dan lo lihat waktu itu, 'kan?"

"Oh, ya? Lalu, bagaimana dengan adanya video itu? Cara sampah!" tanya Nanai dengan mencela. Walau bagaimanapun, bukan hanya dirinya yang salah, tetapi gadis itu juga. Dengan melakukan cara yang menurutnya lebih dari 'murahan'.

"Emang, gue akui cara gue nggak dapat dibenarkan dengan menyebarluaskan video itu. Tapi, gue nggak bahayain nyawa orang seperti lo."

"Gue? Lo sendiri kali yang bahayakan nyawa lo. Lo udah tahu rencana gue sejak awal, kenapa nggak menghindar? Cari perhatian!"

Air muka Kaira menunjukkan perubahan, tidak seperti tadi yang tampak begitu senang. "Dari mana coba gue tahu rencana lo, gue di kantin waktu itu," sanggahnya.

Ya. Nanai sudah mengetahui semuanya melalui penyelidikan yang ia lakukan semalam bersama ... kedua sahabatnya. Oh, mungkin hanya satu, karena yang lainnya terasa tidak benar-benar mendukungnya dengan penuh.

"Oh, iya. Di kantin, ya?" Nanai mengangukkan kepala, lalu mengirimkan pesan kepada seseorang.

"Wah, sekarang lo jadi tukang tuduh? Jelas banget padahal lho, kalau lo yang salah di sini!"

Gadis berambut pirang itu menyesal telah mengkasihani manusia di depannya sore kemarin. Bahkan dirinya sempat merasa bersalah terhadap Kaira, tetapi sekarang tidak lagi. Setelah mengetahui semua ini, Nanai malahan semakin membenci gadis di depannya. Mungkin munafik ialah kata yang cocok untuk mengambarkan sifat dari gadis itu.

"Gue yang salah?" Nanai tersenyum tipis, lalu menarik lengan Kaira setelah mendapat notifikasi dari aplikasi Whatsapp. "Ikut gue!"

"Apaan, sih!"

Meskipun sudah beberapa kali mencoba melawan, tetapi Kaira tetap tidak bisa. Kilatan amarah dari gadis itu seolah menambah kekuatannya, hingga membuat Kaira tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti langkah Nanai.

Sampai langkah keduanya sama-sama terhenti pada tempat di mana Kaira dikunci sore itu. Kaira dipaksa masuk ke dalam oleh Nanai dengan pintu yang masih terbuka. Tidak lupa menghidupkan lampu yang remang sebagai penerangan.

Lalu, tangan Nanai meraih sebuah benda dengan bentuk kotak kecil yang berada di ujung toilet. Melemparnya ke dalam kloset, memyiramnya hingga tidak terjangkau oleh mata lagi.

"Gue rasa, tidak mungkin di toilet ada kamera, true?"

Wajah Kaira memucat, ada kekhawatiran yang mencoba disembunyikan. Ditambah keringat dingin yang mengucur dari dahinya, semakin membuat Nanai yakin atas bukti yang dirinya dapat.

"Dan saking pintarnya seorang Kaira, bukti itu sampai lupa dihilangkan!" Tersenyum sinis, gadis itu lalu melanjutkan perkataannya, "Lo hanya peduli dengan rekaman yang masuk ke handphone lo sampai lupa mengenai benda yang menjadi asalnya. Lo hanya mementingkan rekaman itu tersimpan, tapi bodohnya nggak memastikan buktinya hilang!"

"Gue nggak tahu apa-apa tentang ini."

"Oh, ya?" Alasan yang terlontar tersebut tidak lantas membuat Nanai percaya begitu saja. Gadis itu mandang sekitar dengan teliti, mencari bukti yang mungkin saja masih tersisa dan belum ditemukan olehnya.

Namun, kegiatannya terhenti ketika menyadari adanya pergerakan dari Kaira. Dengan sigap, Nanai mencekal lengan perempuan itu. Menahannya untuk tetap berada di sini sampai tujuannya selesai.

"Eits! Mau ke mana? Lo yang mulai, kenapa mau kabur?"

Sayangnya, tepisan tangan Kaira yang sangat kasar tidak dapat ditahan Nanai. Gadis itu jatuh terduduk pada ubin yang kotor. Membuatnya menatap nyalang pada Kaira yang mulai menjauh. Sebelum itu, sempat terdengar di telinganya ucapan Kaira yang seolah meremehkannya.

"Kasian yang tidak jadi ikut olimpiade!" serunya.

Nanai menggeram kesal, membanting pintu yang tidak bersalah. Akan tetapi, gadis itu cukup senang melihat raut wajah Kaira yang seolah ketakutan tadi. Meskipun tidak sepenuhnya, tetapi ia cukup berhasil untuk membuat suasana buruk dan menambah rasa was-was serta gelisah Kaira.

Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri pula bahwa suasana hatinya sekarang lebih buruk. Apalagi ketika mengingat keputusan sekolah yang mengeluarkannya dari tim olimpiade. Tidak ada yang lebih diinginkan dari itu pada saat ini. Namun, apa boleh buat?

Dirinya sudah gagal mempertahankan sesuatu yang telah menjadi miliknya. Eksistensinya sekarang bahkan sudah diragukan oleh beberapa pihak. Di mata orang saat ini, Nanai bukan lagi seseorang yang pintar, terhormat,  disegani guru dan murid, bahkan sebaliknya. Keadaan menjadi berbalik, semua melawannya. Menganggap dirinya gila dan tidak punya hati.

Sekarang apa pun yang dilakukannya selalu terlihat salah di mata teman-temannya—murid SMA Cemara—yang tidak tahu akan kenyataan sebenarnya.

"Ini, Nai, yang lo minta tadi."

Perkataan seseorang itu membuat Nanai mendelikkan matanya. Menyadari seseorang itu yang datang tidak tepat pada waktunya. Namun, tangannya tetap menerima pemberian dari orang itu. Sebuah flashdisk merah yang isinya sangat penting untuk Nanai.

"Telat!" serunya, mendapati kehadiran orang itu yang dinilai terlambat

"Sorry," pinta orang itu dengan raut bersalahnya.

Namun, setelah terdiam cukup lama—menimbang sesuatu hal yang mungkin akan terjadi—gadis itu menganggukkan kepala pelan. Lantas kemudian berucap pada seseorang di depannya. "Tapi, nggak apa-apa."

"Apa yang mau lo lakukan sekarang?" tanya orang itu, tetapi tidak mendapatkan balasan apa-apa dari Nanai. Gadis itu sibuk memandangi benda yang berada di tangannya seraya memikirkan tentang suatu hal.

Kemudian, sebelum sempat kembali saling bertukar suara, Nanai terlebih dulu meninggalkan tempat itu. Dengan langkah yang masih tertatih akibat kejadian kemarin.

Ah, mengingat kejadian itu—sepertinya—ada yang gadis itu lupakan.

****

Hallo! Gimana kabarnya, masih mau lanjut?

Reswara (END)Where stories live. Discover now