15 - Hubungan

39 6 0
                                    

Dingin, Dean merasakan sesuatu yang menyentuh pundaknya. Menoleh sekilas, sebuah tangan menyodorkan obat yang masih terbungkus rapi, lengkap dengan botol air mineral yang masih bersegel.

Laki-laki itu mengangkat kepalanya perlahan, lalu kembali beralih pada rerumputan hijau di depannya. "Nggak perlu pura-pura perhatian jika nyatanya tidak peduli," ungkap Dean enggan menerima pemberian Kaira.

Hatinya mencelos untuk sesaat, kalimat itu terasa tajam untuknya. Sayangnya, ketajamannya tidak dapat meruntuhkan sebuah ego yang dimiliki. Walau bagaimanapun, ego Kaira lebih besar dari rasa lain yang ada.

"Minum! Nanti sakit."

Kaira beralih duduk di sebelah Dean. Membuka bungkus obat itu, lalu kembali menyodorkannya kepada Dean. Sayangnya, lagi-lagi Dean abai dengan perhatian kembarannya itu.

"Lo nggak mau, 'kan, dengar omelan mamah yang remehin lo?"

Pertanyaan Kaira yang baru saja terlontar nyatanya berhasil membuat Dean menatap ke arahnya. Meskipun hanya sekilas, tetapi Kaira yakin ucapannya barusan sedikit banyaknya mempengaruhi laki-laki itu.

"Sepertinya, itu semua akan berhenti jika sesekali lo mengalah," tandas Dean yang setelahnya mulai beranjak. Akan tetapi, Kaira berhasil menghentikan pergerakan Dean dengan suaranya.

"Gue rindu kita yang dulu. Saat kecil tanpa mengerti apa itu persaingan," jujur Kaira. "Gue rindu kita mengerjakan soal bersama, bukan malah mengerjakan masing-masing lalu mencari yang terbaik setelahnya."

"Meskipun lo tetap ingin berada di posisi terbaik itu?" Dean bertanya tanpa menoleh sedikit pun. Tidak ingin bertemu tatap dengan perempuan di sampingnya.

Sementara, Kaira hanya mampu memejamkan mata. Mengingat kembali memori-memori dulu sebelum semua berubah. Tuntutan dari sang mamalah penyebabnya. Sehingga, berujung malapetaka sebuah persaingan yang semakin hari, semakin meningkat.

"Iya, karena setiap menjadi yang terbaik akan ada rasa bangga tersendiri," lirih gadis itu.

"Dan lo menginginkan kita yang dulu? Ego lo terlalu besar!" Intonasi Dean mulai meninggi, membuat Kaira yang semula mengangkat dagu, kini tertunduk. Menahan bulir air mata yang sudah berada di pelupuk. Siap keluar dari tempatnya, jika sekali saja mata berbulu lentik itu berkedip.

"Tapi, Dean. Semua akan berjalan, dulu lo yang selalu dibanggain mamah, sekarang giliran gue."

Dean menoleh, menatap sang saudara yang masih saja menunduk. "Iya, semua akan berjalan. Lalu, kenapa lo menginginkan kita yang dulu? Itu sepertinya nggak akan terjadi, karena lo yang memulai," katanya sambil kembali mendudukkan diri sebab merasakan kepalanya yang semakin berdenyut.

Mencoba merasakan apa yang Dean rasakan sekarang. Kaira mulai mengangkat kepalanya. Tepat manik matanya bertemu dengan Dean. Membuatnya dan juga pemilik mata lain itu mematung untuk sesaat.

"Kak, please!"

"Lo bahkan selalu bikin gue seakan terpojok di mata mamah." Merasakan semilir angin, laki-laki itu terpejam untuk sesaat. Kegelapan yang menguasai matanya menjadi kenikmatan tersendiri baginya. Menoleh, Dean melanjutkan perkataannya. "Secara nggak langsung, harga diri gue udah jatuh, Kai!"

Kaira mendekati Dean yang tengah asik menatap langit, seakan tidak peduli dengan perdebatan yang terjadi. Mendudukkan diri di samping Dean, lalu memberanikan diri menyentuh pundak laki-laki itu.

"I know, tapi gue juga nggak bisa ngapa-ngapain kalau sudah berhadapan dengan mamah."

Seolah di warung kopi, Dean mengangkat sebelah kakinya. Mengabaikan keberadaan dan juga suara perempuan di sebelahnya. "Lo bisa, tapi lo nggak mau!"

Reswara (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt