2 - Ambisi

118 15 4
                                    

Sebuah mobil sport bewarna silver terlihat memasuki pekarangan rumah dengan nuansa minimalis itu. Menandakan sang pemilik yang telah kembali pulang ke dalam rumah hangatnya, setelah seharian beraktivitas di luar.

Seperti biasa, setelah pulang sekolah Dean akan langsung pulang ke rumah dan ... mengunci diri di kamar. Tujuannya hanya satu, menghindari seseorang yang telah menjadi rivalnya sedari kecil. Atau mungkin sedari saat masih di rahim ibu yang sama. Dean tidak tau, tetapi yang jelas ia sedang malas untuk bertemu orang tersebut.

Hari ini, pasti mereka akan kembali membandingkannya dengan rivalnya itu. Merendahkannya sebagai seorang laki-laki yang tidak dapat mengungguli eksistensi perempuan, termasuk kembarannya sendiri. Entah, Dean sudah malas mendengar rentetan kalimat yang pasti nanti akan dikeluarkan oleh orang tuanya.

Sebenarnya, Dean sudah terlalu terbiasa dengan hal itu. Menulikan telinga adalah cara terbaik yang sering ia lakukan. Meskipun seperti itu, namanya sebuah kata yang terlontar, sedikit saja pasti ada yang terdengar dan memasuki relung hati. Berujung salah seorang akan membenci.

"Dean."

Terlambat. Dean terlambat menutup pintu kamar yang berakibat pegangan pintu tertahan oleh tangan sang mama. Dengan membuang napas kasar, Dean terpaksa membiarkan mamanya itu turut memasuki kamar. Sudah dipastikan, racauan mamanya tidak akan berhenti dalam satu atau dua kalimat saja. Sekarang, ia harus kembali menutup indra pendengarannya rapat-rapat demi menutup akses hatinya kembali jengkel dengan perkataan sang mama.

"Coba lihat nilai kamu," pinta sang mama.

Dengan gerakan malasnnya, Dean menyerahkan sebuah kertas yang baru saja ia ambil dari dalam tas. Kertas berisi nilai ulangan matematikanya tadi.
 
"Seperti biasa, tidak sempurna."

Dean diam, seolah sudah terbiasa mendengar perkataan yang baru saja terlontar. Walau egonya terluka.

“Laki-laki kok kalah sama perempuan. Adikmu saja dapat sembilan puluh lima, kamu juga? Nggak bisa lebih satu atau dua poin. Seenggaknya kalau memang tidak bisa dapat nilai sempurna, bisalah melebihi adik kamu sedikit aja supaya bisa banggain Mamah. Kamu itu laki-laki, harus bisa menjadi yang teratas.”

Bersikap tak acuh kepada mamanya itu, Dean berlalu pergi dari kamarnya begitu saja. Berpura-pura seakan tidak mendengar  ucapan dari wanita yang melahirkannya enam belas tahun lalu. Tidak peduli seberapa panjang atau seberapa banyak kalimat lagi yang akan terlontar.

Dean memasuki mobil dan melajukannya pada jalanan padat ibu kota dengan kecepatan rata-rata. Niatnya kembali mengunci diri di kamar rusak, sebab sang mama yang tidak pernah mengerti akan dirinya. Walau sebagai seorang laki-laki, setiap orang berhak dimengerti.

"Sial!" makinya terhadap dirinya sendiri. Memukul setir yang tidak bersalah untuk melampiaskan emosi.

Setelah tadi di sekolah ditertawakan teman-temannya karena tidak dapat mengungguli nilai dari kedua gadis yang setara pintar dengannya, membuat Dean  sudah merasa terlalu rendah. Kemudian, di saat pulang dan bertemu sang mama, membuat Dean ingin segera melampiaskan emosinya pada apa pun benda disekelilingnya.

Tidak, Dirinya tidak boleh kalah. Dirinya harus menjadi yang pertama dan menjadi kebanggaan semua orang. Dipuji sana-sini serta menjadi yang paling unggul diantara yang unggul, mungkin yang ingin Dean capai. Sebuah cara untuk menciptakan senyuman di wajah laki-laki itu.

Setelah sampai pada tempat yang dituju, Dean menghentikan mobilnya. Sebelum turun, ia terlebih dulu bertukar pesan dengan seseorang. Memastikan bahwa orang tersebut berada di tempat ini.

Dean membuka pintu mobilnya, lalu turun dengan gayanya yang khas. Mengundang perhatian dari beberapa gadis di sana. Aura laki-laki itu memang tidak dapat di ragukan lagi.

Sebab kafe ini adalah kafe yang cukup modern, pengunjung yang datang lebih dominan para kaum mudah. Ditambah banyak spot foto yang instagramable, semakin menambah daya tarik kaum milenial yang kebanyakan memang tengah mengejar eksistensi di media sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa tempat ini pula yang menjadi pilihan sebagai tempat nongkrong bagi teman-teman Dean.

“Apa kabar, bro?” Pertanyaan dari salah satu teman Dean itu hanya mendapat tatapan malas dari yang ditanyai.

Bagi Dean, pertanyaan basa-basi seperti itu sebenarnya tidak lagi perlu dipertanyakan ketika sudah tau keadaan yang sebenarnya, bukankah akan terasa percuma? Dean pikir hal tersebut hanya membuang-buang waktu dan tenaga yang seharusnya dapat digunakan seefisien mungkin. Waktu dan tenaga merupakan suatu hal yang penting, tetapi terbatas adanya.

“Andai, dua gadis itu tidak terlalu pintar hingga mudah dikalahkan,” gumam Dean setelah memesan minumannya.

Sayangnya, gumaman Dean itu masih dapat didengar oleh temannya. Hingga, gelak tawa kembali terdengar dari teman yang ia labeli sebagai ‘teman laknat’ itu.

“Dulu, gue pikir hanya lo dan kembaran lo—Kaira—yang terpintar, sempit sekali kan pemikiran gue? Ya, gue pikir cuma kalian yang memiliki tingkat persaingan tinggi. Tapi, pikiran gue itu berubah setelah satu kelas sama si Nanai. Dia menjadi yang teratas saat pendaftaran. Sedangkan lo sama kaira hanya menjadi yang kedua dan ke tiga di bawahnya.”

“Lain kesempatan pasti gue di atas dia.”

“Dia terlalu sulit untuk dikalahkan. Bahkan kembaran lo aja nggak bisa mengungguli dia. Nilai kalian betiga tadi sama, artinya kalian seri.”

Mengingat kembali hal itu membuat Dean lagi-lagi menggeram kesal. Seolah dirinya telah kalah telak dari seorang gadis, padahal hanya sebuah ulangan harian matematika yang tidak begitu berpengaruh pada nilai raport nanti.

“Ini hanya awal. Baru secuil yang gue tunjukkan, setiap saat akan ada yang berubah dan gue nggak akan ngebiarin baik dia maupun Kaira bisa mengalahkan gue.”

“Lo nggak sadar bahwa gadis itu juga bisa berbuat lebih?”

Tidak terima begitu saja, Dean memukul meja cafe menggunakan tangannya yang terkepal hingga mengundang atensi dari penghuni kafe. Ada rasa kesal tersendiri ketika mendengar gadis itu lebih dipuja-puja sebab lebih tinggi darinya. Ambisi Dean untuk mengalahkan gadis itu dan kembarannya semakin mencuat. Lebih besar daripada ambisinya menjadi yang terbaik sewaktu kecil dulu.

Beruntung pelayan kafe datang untuk menyerahkan caffe caramello pesanan Dean. Sehingga, dapat mengalihkan barang sejenak dari perdebatan mereka perihal seseorang yang dijuluki si pintar di kelas mereka. Meredam sedikit emosi Dean akibat pembicaraan yang baru saja terjadi.

Mulai hari ini, saingan Dean bertambah. Selain rivalnya, ada Nanai yang juga—secara tidak langsung—mengibarkan bendera  perang  terhadap dirinya.

Keheningan mulai terjadi. Dean yang sibuk dengan strategi kedepannya untuk mengalahkan dua gadis pintar serta laki-laki di depannya sibuk dengan ponsel androidnya.

Ramainya pengunjung kafe di tempat itu sama sekali tidak dapat mengusik mereka. Sampai akhirnya dering ponsel membuat salah satu dari mereka beranjak pergi tanpa ada say good bye dari keduanya. Sementara laki-laki yang masih menetap di sana hanya mampu menghembuskan napas kasar. Tidak mengerti lagi tentang bagaimana lagi ambisi Dean.

****

Hai! Apa kabar? Malam ini kembali bertemu denganku, semoga tidak bosan, ya! Terus baca karyaku dan jangan lupa komen andai ada yang kurang pas agar aku bisa memperbaikinya. Selamat malam!

Reswara (END)Where stories live. Discover now