8 - Beradu

61 8 0
                                    

Gadis yang tangannya ditarik oleh Dean itu menggeram kesal. Meskipun sudah mencoba dengan kekuatan penuh, tetapi nyatanya kekuatan Dean lebih besar. Nanai sudah tidak dapat lagi melawan laki-laki itu. Dirinya hampir menyerah untuk lepas dari Dean.

Tidak tahu apa tujuan laki-laki itu menariknya, tetapi Nanai sama sekali tidak menyukai ini. Dengan tanpa seizinnya, Dean langsung menariknya begitu saja. Membawanya pergi dari ruangan yang seharusnya dapat membuat pengetahuannya bertambah. Apalagi Nanai bukanlah orang yang bisa meningalkan materi di tengah jalan. Ia tidak mau prestasinya turun karena itu.

“Kenapa, sih?” tanya Nanai tidak mengerti dengan tindakan Dean.

“Diam!”

Mendengar sentakan Dean itu membuat Nanai terkejut. Akan tetapi, bukannya menurut, gadis itu kembali mencoba melepaskan tangan Dean dari lengannya. Sayang, kekuatan yang ia miliki tidak dapat menandingi laki-laki di depannya.

“Bisa nanti aja, nggak, sih? Lo nggak takut ketinggalan materi tadi?” Hanya itu yang bisa Nanai katakan untuk mengancam Dean.

Namun, laki-laki itu tetap saja tidak berhenti sebelum sampai dengan tujuannya.

“Dean, gue mau belajar!” seru gadis itu kesal. Dirinya sudah lelah berbicara dan juga melawan terhadap laki-laki pintar itu. Andaikata tempat ini bukanlah sekolah, Nanai pasti sudah meneriaki laki-laki itu sebagai penjahat. Tetapi, mengingat tempat ini merupakan sekolah—tempat menuntut ilmu—dan  Deanlah yang menolongnya kemarin, membuat niat gadis itu urung.

Dean tetap tidak bersuara ataupun menurut pada gadis itu. Bersikap seolah dirinya tidak mendengar seruan dari Nanai. Menurutnya, daripada sibuk mengoceh dengan perempuan itu, lebih baik ia mempercepat langkahnya untuk sampai pada tujuannya. Dean tidak dapat menunggu lebih lama lagi.

“Buka!” titah Dean mendorong Nanai di depan pintu toilet siswi yang terkunci.

Nanai meneguk ludahnya susah payah. Toilet tempatnya berada saat ini merupakan tempat di mana ia mengerjai seseorang akibat kekalahan yang tak ia terima. Akan tetapi yang membuatnnya heran adalah tidak adanya suara siapa-siapa dari dalam sana.

Sepertinya laki-laki itu sudah mengetahui tentang perbuatan tidak terpujinya. Tetapi, bagaimana bisa?

Daripada Nanai memikirkan hal yang tidak-tidak terjadi pada orang itu, dirinya menurut pada Dean. Membuka pintu itu dengan kunci yang ia ambil dari saku roknya. Sebenarnya, ia sudah berniat kembali membuka pintu itu sore nanti sebagai bentuk kemanusiaannya pada orang itu. Tapi kini, ia harus membuka lebih cepat karena Dean.

Tanpa Nanai duga, keadaan orang itu sangat memprihatinkan. Tidak seperti perkiraannya yang menduga gadis itu akan berteriak atau menangis. Ternyata yang sebenarnya begitu berbeda.

Tepat saat pintu toilet terbuka, Nanai melihat gadis itu terpejam dengan air mata yang mengalir. Samar-samar ia mendengar rintihan yang sesekali keluar dari bibir gadis itu. Tangannya yang meremat kuat kerah seragam, seperti menahan sesak yang teramat sangat. Nanai tertegun, tidak pernah berharap hal ini  terjadi. Jujur saja, ini sangat berbanding terbalik dengan perkiraannya.

“Kaira.” Perkataan Dean itu menyadarkan Nanai dari keterkejutannya. Buru-buru, Nanai turut membantu laki-laki itu membopong Kaira.

“Ambil inhaler di tas gue,” titah Dean seraya membawa Kaira ke dalam mobilnya di parkiran. Laki-laki itu dengan segera memberikan tas yang berada di bahunya pada Nanai.

Sebab panik, gadis itu menuruti saja perintah dari Dean. Menyerahkan inhaler itu pada Dean agar segera disemprotkan pada Kaira.

Seketika rasa bersalahnya tumbuh karena telah membahayakan nyawa orang lain. Sebab sifatnya yang tidak mau dikalahkan, ia telah hampir membunuh orang yang merupakan saingannya. Padahal, seharusnya dirinya bisa menahan agar hal tersebut tidak terjadi.

Melihat Kaira yang mulai membaik, membuat Nanai sedikit merasa lega. Kendati hal itu tidak bisa menyingkirkan rasa bersalah Nanai yang malahan semakin membesar.

“Sorry, Kai.” Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Nanai, kata itu keluar dari mulutnya untuk orang selain keluarganya. Meskipun ia tau, kata itu tidak dapat mempebaiki semua yang telah terjadi.

Kaira tidak menjawab, ia meminta kakaknya untuk mengantarnya pulang. Meninggalkan gadis ambisius itu dengan rasa bersalahnya. Membiarkan Nanai untuk sekali saja menyesal atas tindakan tidak terpujinya.

Sayangnya, yang terjadi hari ini tidak dapat tidak dapat merubah jalan pikiran gadis itu. Bahwa,  ia harus selalu menjadi nomor satu bagaimanapun caraya, tidak ada yang boleh mengalahkannya apa pun yang terjadi. Nanai tahu dunia ini bergerak dan semua dapat berubah, tetapi dirinya menolak hal itu.

****

“Makasih, Dean,” ungkap Kaira cukup senang dengan yang terjadi hari ini. Walaupun dirinya hampir saja meregang nyawa, tetapi karena itu ia bisa kembali dekat dengan Dean. Mendapat perhatian dari laki-laki itu merupakan salah satu hal yang jarang sekali terjadi.

Dean hanya membalasnya dengan anggukan kepala sebelum lagi-lagi mengunci kamarnya dan hanya ke luar saat waktunya makan.

Perlakuan Dean yang kembali dingin, memancing kesedihan Kaira. “Kenapa selalu saja seperti ini?”

Meskipun Dean dan Kaira merupakan rival. Namun, mereka tetaplah kakak-adik. Saudara yang dalam tubuhnya mengalir darah yang sama. Bahkan, mereka pun pernah berbagi sari-sari makanan ketika berada dalam rahim yang sama. Harusnya salah satu atau keduanya bisa mengalah dan membedakan ketika sedang bersaing dan saat di rumah.

“Kenapa, Sayang?” tanya sang mama yang menangkap Kaira berdiri di samping tangga. Wanita itu mendekati putrinya untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang terjadi.

Sesaat kemudian, wajah sumringah yang gadis itu tunjukkan. Dengan excited, Kaira menunjukkan nilai sempurna pada sang mama. Tentu saja raut sumringah itu menular pada wanita paruh baya yang merupakan yang berstatus sebagai mamanya itu.

“Wah ... kamu hebat banget, Sayang. Tetap pertahankan, ya. Jangan seperti Kakak kamu yang naik turun. Sekarang aja udah jarang sekali dapat nilai sempurna seperti kamu ini.” Pujian yang amat membuat Kaira semakin ingin megungguli sang kakak dan tidak ingin posisinya sekarang direnggut. Meskipun Kaira sendiri tahu, hal tersebut menyakiti kakaknya itu.

“Iya, Mah. Kaira, 'kan, ingin selalu menjadi yang terbaik untuk Mama, Papa, dan semua.”

“Iya, Sayang, Kaira memang hebat.” Sang mama sedikit mengeraskan suara agar didengar Dean. Dengan maksud, supaya dapat memotivasi dan memacu Dean untuk kembali berprestasi. Ia sudah ketika mendapati nilai putranya itu menurun semenjak naik jenjang.

Namun, tanpa banyak orang ketahui, laki-laki dibalik pintu itu menggeram kesal. Selalu saja seperti itu. Mamanyalah yang menimbulkan persaingan antara dirinya dan kaira semakin besar dan terasa rumit. Berlomba-lomba untuk menjadi yang teratas di mata sang mama agar lagi-lagi tidak diremehkan.

Dean merasa semakin rendah sebagai seorang laki-laki ketika perempuanlah yang berada di atasnya. Selain mamanya yang menuntutnya untuk mengejar nilai, ada teman-temannya yang hanya mau berkawan denganya karena kepintaran. Harusnya circle pertemanan seperti itu perlu dihindari, tetapi Dean tidak bisa.

“Gue capek bilang ini, tapi gue bakalan buktikan bahwa gue bisa jadi yang terunggul. Di depan mama, Nanai, Kaira, dan semuanya.”

****

Karena ambisi, seorang bisa melakukan apa pun. Itulah yang ingin aku tunjukkan di part ini. Bahkan untuk standar orang baik seperti Nanai. Jadi, jangan pernah sekali pun meremehkan sebuah persaingan, meski hanya persaingan kecil. Sesederhana rebutan makanan misal. Selamat beristirahat!

Reswara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang