10 - Praduga

42 6 0
                                    

Jam istirahat sudah tiba sejak beberapa menit yang lalu. Akan tetapi, ketiga gadis yang tempat duduknya berdekatan itu belum beranjak keluar dari kelas untuk sekedar jalan-jalan di sekitar sekolah maupun mengisi perut di kantin. Mereka hanya saling pandang tanpa mengeluarkan suara.

Seketika keheningan terjadi dalam kelas yang sepi. Hanya ada mereka bertiga sebab yang lainnya sudah meninggalkan kelas, sibuk dengan urusan masing-masing dan ketiganya tidak peduli akan hal itu.

"Nai?" panggil Leave yang membuat gadis itu menoleh. "Gimana dengan—"

"Gue nggak tahu," balas Nanai cepat, tidak ingin mendengar kelanjutan dari pertanyaan yang akan Leave ajukan. Pikirannya sudah dipenuhi dengan praduga-praduga yang cukup menguras tenaga.

"Lo nggak seharusnya melakukan itu. Lihat sendiri, 'kan, akibatnya?"

Sebetulnya, Maudy sudah sejak awal tidak menyetujui tentang rencana Nanai ini. Namun, gadis bermata hazel itu tidak dapat berpendapat lebih jauh kala rencana Nanai tersebut terbentuk. Meskipun telah mengingatkan dengan beberapa kata, tetapi nyatanya percuma. Nanai yang ambisius tidak mungkin mengalah begitu saja, Maudy tahu benar akan hal tersebut.

"Gue nggak pernah tahu kalau dia punya riwayat asma," kata Nanai memelan pada kata terakhir. Sepertinya sahabatnya itu juga akan menyalahkannya seperti yang lainnya. "Lo nyalahin gue?"

"Bukan gitu, Nai! Cuma kemarin, 'kan, gue udah mengingatkan jika nanti akan terjadi apa-apa, lo siap?"

Kembali, Nanai terdiam untuk beberapa waktu. Memikirkan kembali kejadian kemarin sore yang tengah viral pagi ini. Entah, siapa yang memviralkan, gadis itu belum mencari tahunya. "Lo tahu, 'kan, gue nggak pernah menduga akan separah ini."

"Iya, tapi nyatanya tetap terjadi." Ingin sekali Maudy menyadarkan Nanai sedikit saja. Bahwa, semua tidak selalu berjalan seperti keinginan gadis itu. Di dunia ini bukan hanya ada dirinya, melainkan ada manusia lain yang juga hidup di sini. Hal tersebut, tidak dapat ditampik dengan argumen apa pun, karena memang begitu adanya.

"Andai dia nggak mancing, Nanai pasti nggak bakal berbuat hal semacam itu." Kali ini Leave turut menimpali. Ia tidak ingin perdebatan antara mereka berdua berlanjut. Sayangnya, keinginannya itu tidak terkabul. Kalimatnya barusan, memancing atensi Maudy. Membuatnya mendelik pada sahabatnya itu.

"Memang ada salahnya mendapat nilai tertinggi di kelas?" tanya Maudy karena merasa Leave terlalu membela Nanai. Leave seharusnya turut menyadarkan Nanai tentang kesalahan yang pernah diperbuat agar gadis itu tidak lagi mengulangi. Akan tetapi, kalimat Leave tersebut seolah mendukung untuk perbuatan Nanai kemarin.

Entah karena cukup terkejut dengan pertanyaan yang Maudy lontarkan atau memang karena tidak tahu jawaban yang tepat dari pertanyaan itu, baik Nanai maupun Leave sama-sama tidak mengeluarkan suaranya. Jujur saja, Nanai sebenarnya tidak berminat membahas ini. Tetapi, jika dibiarkan akan terus berlarut dan tidak akan pernah ada kata usai pada akhirnya.

"Oke, gue tahu dia nggak salah kemarin. Mungkin gue yang kurang berusaha," sadar Nanai.

Mendengar itu, Maudy melengkungkan senyumya, meski hanya senyum tipis yang tidak begitu tampak. Namun, hal tersebut sudah dapat mengambarkan kelegaan yang sedikit-banyaknya mulai terasa.

"Tapi ...."

Kalimat Nanai yang menggantung itu membuat keduanya berkerut. Bingung sekaligus tegang menanti kelanjutan dari kata yang belum sempat berakhir itu.

"Tapi?" tanya Leave penasaran. Karena, biasanya kalimat yang Nanai gantungkan merupakan sebuah berita yang mengejutkan, entah itu buruk atau baik. Namun, gadis setinggi tujuh puluh lima centi meter itu ingin mengetahuinya segera.

"Coba buka handphone kalian!" seru Nanai, tetapi kedua sahabatnya itu masih diam di tempat. Memandangnya tanpa berniat melakukan seruan gadis itu.

"Yang soal video instanstory itu? Gue udah lihat," seloroh Leave. Mengetahui maksud dari sahabatnya.

"Nggak tentang videonya, tapi akun yang post video itu!" Nanai memperjelas maksundnya kepada dua orang yang berstatus sebagai sahabat itu.

"Maksudnya?"

"Dvn23_11, kalian berdua ada yang tahu, itu user akun milik siapa?" tukas Nanai mengingat kembali akun itu. Akun yang dibukanya saat berada dalam bilik toilet pagi tadi.

Gadis itu menghela napas pelan ketika mendapati keduanya sama-sama menggeleng. Memikirkan perihal pelaku yang memviralkan video itu. "Tapi, yang ngerepost udah banyak banget," lirihnya.

"Devan! Dvn, Devan tanpa huruf vokal! Devan, Dean."

Perkataan yang tiba-tiba terlontar dari mulut gadis di sampingnya itu membuat Nanai membelalakkan mata seketika. Bagaimana bisa sampai kepada nama laki-laki itu? Nanai sama sekali tidak dapat berpikir jernih sekarang.

"Dean, mungkinkah?"

"Mungkin aja, sih, mengingat Dean adalah kembarannya Kaira. Tapi, kalian nggak bisa asal nuduh, sepertinya Dean nggak akan melakukan hal murahan kayak gitu. Dia, 'kan, salah satu cowok terpintar dan terdisiplin di sekolah ini. Kalau semisal bukan Dean pelakunya, nama lo akan semakin jelek di seantero sekolah, Nai!" jelas Maudy, kembali menjadi pengingat untuk mereka.

"Dvn23_11. Dvn, Devan. D-e-v-a-n, Dean D-e-a-n? Dvn," gumam Nanai sampai mengeja nama laki-laki itu. Mencocokkannya dengan akun yang memposting video tersebut di instanstory instagram.

Entah, tetapi Nanai tidak ingin salah menduga. Bukan hanya tidak mau dipermalukan nanti atau eksistensinya yang dipertaruhkan, tetapi juga rasa bersalahnya—yang sedikit masih ada—serta pertolongan yang pernah laki-laki itu berikan. Walau bagaimanapun hal terakhir tersebut tidak pernah dapat Nanai lupakan, mengingat nyawa dan kehormatanlah yang menjadi taruhannya pada saat itu.

"Menurut lo emang beneran Dean, Nai?" Pertanyaan dari Leave, membuyarkan Nanai dari lamunan yang beberapa saat lalu menguasainya.

"Gue udah bilang, gue nggak tahu!" Seruan itu terdengar cukup keras, sampai membuat keduanya menahan napas untuk beberapa detik. Agaknya mood gadis dengan rambut terurai itu sedang tidak begitu baik.

"Apa lo nggak ingin berbuat sesuatu untuk membuktikan itu? Siapa yang berbuat, karena nama baik lo yang akan menjadi taruhannya. Lo masih inget tadi pagi, 'kan,  saat masuk kelas bagaimana perkataan murid kelas tentang lo? Dan gue juga yakin, bukan hanya itu. Di luar?"

Nanai mengangkat kepalanya, menoleh pada gadis yang berada tidak jauh darinya. "Itu pasti. Akan tetapi, sekarang gue sedang tidak ingin bertindak apa-apa. Gue cuma mau mereka semua diam dengan perkataan mereka. Telinga gue udah cukup panas akan hal itu," jujur gadis itu pada kedua sahabatnya. Berharap mereka masih mengerti akan dirinya.

"Kapan?"

"Tunggu waktunya!"

Ketiganya kembali tidak mengeluarkan suara setelah seruan terakhir Nanai. Menciptakan ketenangan yang hanya bertahan sementara untuk Nanai.

"Lalu, rencana lo buat mengetahui kelemahan Dean?" tanya Leave dengan mata memicingnya. Mengundang tatapan intens Nanai yang kemudian gadis itu lebih memilih menatap lurus ke depan.

"Ah, ya. Itu belum sempat gue lakukan sepenuhnya."

"Saran gue, mending udahan. Kalian bersaing secara sehat seperti murid-murid lainnya. Apa susah?" Kembali, Maudy mengeluarkan pertanyaannya.

"Nggak susah, hanya kurang menantang." Setelah kalimat itu, Nanai kemudian bangkit dari duduknya. Berencana pergi ke tempat yang sepi mumpung masih jam istirahat tanpa berniat mengajak Leave maupun Maudy.

****

Siapa, ya, Dvn23_11, apakah benar itu Dean? Ikuti kelanjutannya, ya!

Reswara (END)Where stories live. Discover now