Lelah

57 5 0
                                    

🐳

Alfi melahap nasi goreng buatan dokter Rani. Setelah pulang dari rumah sakit, gadis itu tak langsung pulang kerumahnya, melainkan ke rumah dokter Rani. Siapa lagi yang meminta itu semua jika bukan Langit. Alfi tak tega jika harus menolak permintaan tulusnya.

Sementara itu, Langit nampak sudah tertidur pulas. Tidak biasanya ia tidur cepat, mungkin karena kejadian tadi tubuhnya sedikit lelah. Alfi masih merasa bersalah saat membawa Langit untuk bertemu dengan Ivan. Harusnya ia memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi, ia tau betul tempramen Ivan yang begitu labil.

"Sekali lagi, aku minta maaf udah bikin Langit luka." Alfi menundukkan kepalanya penuh sesal.

"Seandainya aku nggak bawa Langit ke sana ..." Alfi menghela napasnya sebentar. "Mungkin kejadiannya nggak bakal kaya gini."

Dokter Rani tersenyum simpul, tanganya terulur menggenggam tangan Alfi lalu mengelusnya secara lembut. "It's okay Fi, ini bukan salah kamu. Lagian Langit juga nggak papa kan, tuh lihat ...." Dokter Rani menunjuk Langit yang tertidur pulas. "Kayaknya dia nyenyak banget, Langit jarang loh tidur awal kaya gini."

Alfi tersenyum kecil, ia menatap Langit. Wajahnya benar-benar tenang dengan bibir sedikit terbuka. Ketampanan Langit seolah bertambah saat tidur seperti ini.

"Ganteng kan," Goda dokter Rani ketika Alfi tak memutuskan pandangannya dari pemuda itu.

"Aku pulang dulu ya, Dok." Izinnya mencari obrolan lain.

"Buru-buru banget Fi, nggak mau nginep lagi aja?" Tanya dokter Rani.

Alfi menggeleng. "Kayaknya nggak deh, soalnya belum dapat izin dari Papah."

Dokter Rani mengerti, ia mengantar Alfi hingga teras. "Kamu hati-hati ya di jalan, kalau udah sampai. Jangan lupa kabarin saya," pintanya.

Alfi mengangguk dengan senyum yang menghias di wajahnya. Dengan santai, Alfi memarkirkan mobilnya hendak keluar dari pekarangan rumah dokter Rani. Terlihat jelas di kaca spion kalau dokter cantik itu masih setia menatap kepergiannya.

Suasana jalanan terbilang cukup ramai, maklum jam-jam seperti ini memang jamnya orang pulang kerja. Alfi mendengus kesal, ia memang benci kemacetan.

Ia melirik ponsel yang tergeletak begitu saja di laci dashboard, pikirannya kembali melayang pada foto dan kejadian buruk tadi siang. Alfi tidak menyangka jika Ivan bisa senekat itu, memukul Langit tanpa kasihan. Padahal secara fisik pun Langit bukanlah tandingan Ivan.

Jujur saja, dalam hati kecilnya, Alfi masih menyayangi Ivan. Dibalik ke-over protective-an yang dia miliki, Alfi masih bisa mengerti dengan sifat itu. Sifat kalau Ivan yang tak mau kehilangan dirinya.

Tapi untuk perselingkuhan, rasanya itu benar-benar sakit. Alfi tak menyangka jika Ivan benar-benar melakukan itu semua. Air mata Alfi lolos begitu saja, tentu saja itu untuk Ivan. Ia menangisi laki-laki yang beberapa bulan ini menjalin kasih dengannya.

"Kenapa sih harus rumit kaya gini." Lirih Alfi seraya memukul setirnya.

🐳🐳🐳

Jam di rumah Marissa sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Niko mengelus perutnya yang sudah berbunyi sejak tadi, ia menarik napas panjang dengan bibir yang mengerucut.

"Kenapa?" Tanya Dharma heran.

Bibir Niko semakin manyun, ia selalu manja jika di tanya seperti tadi. "Lapar," Melasnya.

"Lebay." Cibir Dharma.

"Nurun dari Papah," Sahut Marissa dari arah dapur.

Niko terkekeh. "Betul tuh." Timpalnya.

Kisah Dari Langit Where stories live. Discover now