Putus

54 4 0
                                    

🐳

Alfi terdiam dengan hati yang cukup was-was. Tidak biasanya Dharma mengajaknya bicara seserius ini, apakah ini masalah kerjaan lagi? Karena sebelumnya juga, ayah dua anak itu pernah membahas masalah pekerjaan yang akan diambil oleh Alfi. Tapi rasanya ada yang beda, Alfi memiliki firasat lebih dari pada itu.

"Mau ngomong apa, Pah?" Tanya Alfi menetralkan suasana yang sedikit canggung.

Dharma mengulas senyum tipis. "Kenapa semalam nggak pulang, Kak?"

Alfi terkejut, pikirannya sama sekali tak menjangkau tentang kejadian semalam saat ia menginap di rumah dokter Rani.

"Ja-jadi gini Pah ...." Alfi berucap ragu. "Semalam dokter Rani nggak pulang, gara-gara ada keadaan darurat di rumah sakit. Terus aku nggak enak kan kalau tinggalin Langit sendirian, ya mau nggak mau aku harus temenin dia." Lanjutnya jujur.

"Kalian tidur berdua, dalam satu rumah?" Alis Dharma sedikit terangkat.

"Nggak gitu juga, Pah." Sela Alfi.

"Lalu?"

"Aku cuma nemenin Langit doang, dan untuk tidur ... kita tidur di kamar yang terpisah." Jawab Alfi jujur.

Dharma menatap Alfi dengan lamat. "Papah percaya sama kamu, Kak. Tapi ..."

"Tapi apa, Pah?"

"Papah nggak terlalu suka saat kamu terlalu dekat dengan Langit. Papah nggak mau sifat kamu ini malah nyakitin hati orang lain."

Alfi menundukkan kepalanya, ia paham siapa yang dimaksud orang lain oleh Papanya. Tentu saja Ivan, pria yang sudah dianggap anak sendiri oleh Dharma.

"Iya Pah, Alfi paham." Ucap Alfi.

Alfi ingin jujur perihal kelakuan Ivan yang tertangkap basah oleh Niko. Akan tetapi, kali ini bukan saat yang tepat membahas tentang perilaku menyimpang Ivan.

"Jangan sia-siakan Ivan, Kak. Dia pria yang baik." Kata Dharma seraya berlalu dari hadapan Alfi.

Gadis itu mengehela napas panjang. Ia kembali memainkan ponselnya, mengirim pesan kepada Ivan untuk bertemu. Setelah itu, kepala Alfi menoleh menatap Langit yang terlihat asik dengan sarapan yang dibuatkan oleh Marissa.

Senyum Alfi muncul seiring senyum Langit yang mulai mengembang. Entah kenapa ia sangat suka melihat Langit seperti itu, ketampanannya semakin bertambah.

"Lihatnya gitu banget sih, Kak!" Tegur Marissa membuyarkan lamunan Alfi tentang Langit.

"Apa sih, Mah." Kesal Alfi.

Marissa tertawa kecil. "Kaget ya?"

"Udah tau, nanya." Sewot Alfi.

"Awas nanti suka," Goda Marissa semakin gencar.

Alfi memutar bola matanya malas, ia bangkit dari sofa hendak mendekati Langit yang tengah duduk di meja makan.

"Mau kemana?" Tanya Marissa heran.

"Mau ke Langit." Ucap Alfi seraya menunjuk langit-langit rumahnya. Padahal langit yang ia maksud adalah Langit yang beberapa hari ini selalu bersamanya.

Marissa menggeleng kecil dengan senyum yang mengembang, lalu melanjutkan pekerjaan rumahnya tanpa mau mengganggu lagi sang putri.

🐳🐳🐳

Hari semakin siang, matahari sudah tepat berada di tengah-tengah. Langit sudah menghabiskan pancake coklat yang Alfi pesan, sementara gadis itu hanya memesa lemon tea yang sampai saat ini baru habis setengahnya.

Kisah Dari Langit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang