Khawatir

68 4 0
                                    

🐳

Dharma menghela napas panjang, tubuhnya benar-benar lelah dengan seluruh aktivitas yang ia kerjakan di kantor. Matanya menelusuri sekeliling rumah, dan tidak mendapatkan siapapun di sana.

"Mah? Kakak? Adek?" Teriak Dharma memanggil seluruh anggota keluarganya.

"Udah pulang, Pah!" Sahut Marissa dari arah dapur.

"Alfi sama Niko mana, Mah?" Dharma bertanya seraya mengemil makanan ringan yang tersedia di meja.

Marissa meletakkan teh hangat yang ia buat untuk Dharma. "Si adek udah tidur, kalau kakak ... tadi bilangnya mau ketemu Langit." Jawabnya.

"Lagi," Ucap Dharma heran.

"Emang kenapa Pah? Lagian Alfi juga nggak ada kerjaan kan, itung-itung nyari kesibukan." Kata Marissa.

Dharma menatap lamat Marissa. "Bukan gitu Mah, kalau emang Alfi butuh kesibukan. Kenapa nggak bantuin Papah di kantor aja, sekalian belajar juga kan. Lagian dua tahun istirahat setelah selesai kuliah, itu bukan waktu yang sebentar. Cukup untuk dia mulihin energinya lagi."

Marissa tersenyum, ia memberikan pijitan di pundak Dharma. "Iya-iya, nanti Mamah omongin ke Alfi ya, Pah."

Dharma mengangguk paham, sementara Marissa tengah memainkan ponselnya berniat mengirim pesan untuk putri sulungnya.

Marissa:
'Masih di mana, Kak?'

Marissa menatap layar ponselnya yang tak kunjung mendapat balasan dari putri tercintanya. Namun tak lama kemudian, dering notifikasi mengalihkan kembali Marissa pada ponselnya.

Alfi:
'Di rumah dokter Rani, Mah'

Marissa:
'Pulang, udah malam Kak.'

Alfi:
'Iya Mah, Alfi pulang kok. Tapi nunggu reda dulu ujannya. Lagian kalau pulang sekarang, Langit nggak ada temennya.'

Marissa:
'Kamu berduaan aja di sana, Kak?'

Alfi:
'Hehehehehehe 😁'

🐳🐳🐳

Alfi sudah beberapa kali menguap, matanya benar-benar berat untuk terus terjaga. Pesan dari Marissa tadi cukup membuat kesadaran gadis itu kembali lagi.

"Dokter Rani mana ya, kok lama banget sih pulangnya." Alfi berucap seraya menatap Langit yang sibuk dengan boneka jerpahnya.

Senyum bahagia terpancar jelas di wajah Langit, matanya berbinar saking bahagianya. Melihat Langit sebahagia itu, Alfi ikut tersenyum. Ia jadi tak tega jika harus meninggalkan Langit sendiri, ditambah dengan cuaca hujan seperti ini. Bisa-bisa pemuda itu keluar bermain hujan-hujanan lagi.

"Al-fi."

Suara Langit membuat senyum di wajah Alfi luntur. "Kenapa?"

Langit menepuk sisi ranjang di samping. "Duduk? Di situ?" Tanya Alfi yang langsung diangguki oleh Langit.

Alfi bangkit, ia mendekat duduk disamping Langit. "Tidur," Ucapnya.

"Anita, Ba-sar," Kata Langit mengucapkan nama orang tuanya. Akan tetapi hal itu membuat Alfi bingung, ia tak mengerti apa yang dimaksud oleh Langit.

"Tidur ya, udah malam." Pinta Alfi.

Langit menggeleng. "Alfi jangan per-gi."

"Nggak kok, nggak pergi." Alfi menatap Langit, pemuda itu tertawa kecil saat mendengar jawaban dari wanita di sampingnya.

Kisah Dari Langit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang