11. Minoritas dan Tertindas

Start from the beginning
                                    

Yusuf kira Hijir akan curhat perihal masalah pribadi, rupanya ia berekspektasi terlalu tinggi. Sekonyong-konyong lelaki itu membicarakan ekonomi, politik, dan antek-anteknya. Namun, Yusuf tak masalah, barangkali pelampiasan kefrustrasian seorang Hijir memang seperti itu.

"Egois gimana, Tadz?" Dengan sebelah alis terangkat, Yusuf mematikan rokok yang sejak tadi diisap, sudah sampai ujung pegangan tangannya.

"Seperti yang aku katakan tadi, Suf. Contohnya Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Lihat saja bagaimana maraknya larangan warung makan buka waktu Ramadan, dengan alasan menghargai yang puasa. Kaum mayoritas lupa menghargai mereka yang beragama selain Islam dan tidak berpuasa."

Mendengar penjelasan Hijir, Yusuf manggut-manggut. Memang benar begitu, apalagi di tanah kelahirannya yang punya julukan Serambi Mekah, sangat kental dengan Islam.

"Jadi kayak gitu namanya egois, Tadz?" Kaki yang semula bersila, diselonjorkan untuk mengurai kesemutan. "Maksudku gini, kan pelarangan seperti itu sama saja dengan meminta mereka bertoleran terhadap kita, bukan berarti kita semena-mena pada mereka. Apa salahnya?"

Hijir tersenyum simpul, menggeleng beberapa kali. "Sekarang aku tanya sama kamu, Suf. Puasa itu apa?"

"Ustadz Hijir ini ngenyek aku, ya?" Sambil terbahak, sama sekali tak tersinggung, lelaki itu melontarkan kata yang sering didengarnya semasa nyantri di Jawa dulu. "Masa' tanya pelajaran madrasah Ibtida'iyah ke aku."

Kekehan ikut lolos dari bibir Hijir.

"Puasa itu menahan diri dari haus lapar, nafsu, dan segala yang membatalkan dari imsak sampai bedug Magrib."

"Nah, itu dia, Suf. Kita yang berpuasa, kita yang diwajibkan menahan dari yang membatalkan, bukan mereka. Lalu, kenapa mereka yang harus menahan demi kita? Apa ketahanan dan ketaatan kita cuma sebatas perkara warung makan buka? Apa nilai kewajiban itu langsung gugur perkara makanan? Berarti ... Allah kalah sama makanan, Suf?"

Yusuf yang sedari tadi menyandarkan punggung pada pilar di belakangnya, langsung terjungkal begitu punggungnya tergelincir. Hampir saja tubuh berbalut kaos hitam itu terkapar mengenaskan ke lantai batako di bawah andai Hijir tak menahan lengannya.

"Owalah, Tadz. Sampeyan ini buat aku kaget." Yusuf mengelus dada. "Pertanyaan sampeyan itu, loh. Mana bisa Allah dikalahkan makanan?"

Sisa kejadian tadi, Hijir masih terkikik, sebelum membalas, "Ya makanya itu, Suf. Berarti tanpa menutup warung makan pun, harusnya kita bisa santai saja tiap bulan Ramadan, tidak usah sampai menggemborkan aturan warung makan harus tutup dengan alasan toleransi. Itu hanya menunjukkan keegoisan kaum mayoritas yang selalu ingin diprioitaskan. Betul, kan?"

Kapok, Yusuf pindah tempat duduk. Ia ganti bersandar pada dinding. "Ya, nggak salah sih, Tadz. Cuma ya itu, kalau pikirannya sampeyan diterapkan ke masyarakat ya belum bisa jalan. Agak tabu kali ya, istilahnya kalau di Indonesia? Si paling apa-apa toleransi, tapi sering salah target."

"Begitulah."

Hening beberapa saat. Baik Yusuf maupun Hijir sama-sama memandang langit malam Kairo, memenuhi dada mereka dengan pujian-pujian atas keindahan yang tanpa henti dihamparkan Allah. Selalu keduanya dibuat takjub dengan kokohnya langit tanpa penyangga itu. Jika Yusuf berakhir tersenyum simpul dalam pejaman mata, Hijir justru menelan ludah kasar saat satu momen muncul ke permukaan. Malam di mana Jauza menceburkan diri ke telaga belakang pesantren.

Masih begitu jelas apa yang dilakukan perempuan itu sebelumnya. Menari tanpa iringan musik sedikit pun. Jauza bilang, hidup itu lucu dan patut ditertawakan. Sial! Hijir jadi ingin menertawakan diri atas keterpakuannya pada sosok itu.

"Omong-omong masalah keegoisan dan toleransi, Tadz. Aku jadi ingat tentang Dinasti Fatimiyah."

Hijir langsung menoleh ke arah Yusuf, memandang lelaki itu dengan dahi berkerut. "Memang kenapa? Apa hubungannya, Suf?"

Bukannya langsung menjawab, Yusuf justru menyengir hingga memperlihatkan gingsulnya. Ia menggaruk tengkuk. "Ini sebenarnya kalau aku nggak salah ingat ya, Tadz. Sampeyan pernah cerita sedikit tentang pemerintahan Fatimiyah waktu awal-awal kita di sini.

"Singkat kata, Fatimiyah itu kan, pahamnya Syiah. Sedikit atau banyak pasti ada strategi penyebarluasan paham Syiah waktu itu, apalagi salah satu latar belakang berdirinya adalah untuk menandingi Abbasiyyah."

Yusuf sengaja menjeda untuk menyesap kopinya yang sisa sepertiga cangkir.

"Yang buat aku kagum adalah, sewajarnya sebuah dinasti, biasanya akan dikuasai oleh orang-orang sepaham, sedarah, istilah kerennya nepotisme, tapi Fatimiyah nggak begitu, kan? Pemerintahan waktu itu nggak menganut nepotisme, bahkan semua mazhab boleh menduduki kursi pemerintahan.

"Jadi, kayak yang sampeyan bahas tentang mayoritas dan egoisme. Mereka nggak menganut sistem itu."

Anggukan kepala diberikan Hijir sebagai respons. Benar juga. Ah ... lagi-lagi ada yang ia lupakan, menggeneralisir semuanya adalah perbuatan kurang bijak.  "Ya semoga saja kita bisa jadi seperti itu. Tidak peduli golongan mana, mazhab apa, menganut atau ber-Tuhan siapa, pokoknya harus memanusiakan manusia."

"Suka aku kalau Ustadz Hijir sudah begini."

"Bisa saja kamu, Suf."

Yuduf hanya bisa cengar-cengir tak jelas.

"Oh iya, Tadz. Aku ingat sesuatu lagi. Sudah lama aku ingin menanyakan hal ini, tapi baru dapat kesempatan." Yusuf menegakkan posisi tubuh, kembali bersila setelah menggeser cangkir kopi menjauh.

"Apa, Suf? Insyaallah aku jawab kalau bisa." Hijir menanggapi sekenanya.

"Kenapa Ustadz Hijir lebih sering menyebut 'Tuhan' daripada 'Allah'? Menyebut Allah kayaknya baru akhir-akhir ini kalau aku perhatikan." Ekspresi Yusuf berubah serius. Sungguh, sudah lama hal itu mengganggu pikirannya. Ia bahkan sempat bersuuzan bahwa Hijir tak benar-benar mencintai Allah sebagaimana seharusnya.

Hijir mendengus geli. "Ah ... itu. Mungkin karena terbiasa, pengaruh dari seseorang. Namun tenang saja, Suf. Aku bukannya tak menauhidkan Allah atau membuat Allah mati, kalau itu yang kamu khawatirkan. Bagiku, Allah itu ya ada, dan cuma satu. Pokoknya, qul huwallahhu ahad."

Helaan napas lega lolos dari bibir Yusuf, ia bisa tidur dengan tenang sekarang, tak berasumsi aneh-aneh pada Hijir. Tak lama, tampang jail ia tunjukkan. Sambil menaikturunkan alis Yusuf bertanya, "Tapi, seseorangnya itu siapa, Tadz? Kalau dari lingkungan pondok kayaknya nggak mungkin, ya."

Berbeda dengan Yusuf, Hijir justru tersenyum masam. "Seseorang, Suf." Ia lantas tertawa getir. "Seseorang yang sudah jadi istri orang lain."

-o0o-

The real sebulan nggak update🤣 Nggak apa-apa ya, baru nemuin mood nulis setelah renang di air asin😅

Wish you enjoy and see you next part. Oh iya, jangan lupa ingetin aku kalau ketemu yang janggal.

Amaranteya

2nd of November 2022

Gratia DeiWhere stories live. Discover now