Prolog

206 9 0
                                    

🐳

Rintik hujan mulai membasahi mobil sedan itu. Awan hitam semakin pekat menghiasi langit, menutupi matahari yang siang tadi cukup panas. Suasana jalanan sangat sepi, tak ada satupun kendaraan yang melintas di jalur itu. Mungkin karena memang hujan, ditambah rute jalan membelah hutan jati yang cukup panjang.

Hujan kali ini cukup deras, disertai angin yang cukup kencang. Jalanan yang becek dan berlumpur membuat roda mobil sesekali terperangkap ke dalam lumpur.

Seorang pria setengah baya dengan jambang lebat di wajahnya tampak mendengus kesal dengan cuaca saat ini. Perjalanan yang seharusnya dapat di tempuh dengan mudah, benar-benar terhambat karenanya.

"Aku rasa, kita berhenti dulu di sini. Bahaya kalau jalan terus di tengah hujan kaya gini, Mas." Ujar wanita bernama Anita, yang duduk tepat di samping laki-laki itu.

"Nggak, kalau kita berhenti sekarang. Acaranya keburu selesai, Nit." Jawabnya, sebut saja dia Basar.

"Tapi ini bahaya, Mas." Lagi-lagi Anita memperingati.

Basar menatap wanita itu dengan senyuman hangat. "Tenang, aku bakalan hati-hati kok." Ucapnya meyakinkan.

Anita hanya pasrah mendengar jawaban dari sang suami. Ia tau Basar bukanlah orang yang gampang di atur seperti ini, wataknya cukup keras untuk mendapat masukan dari orang lain. Termasuk dari istrinya sendiri.

Dengan wajah yang masih terlihat cantik di usianya, Anita melirik jok belakang yang diisi seorang pemuda tampan. Lebih tepatnya anaknya sendiri.

"Hu-jan ... Hu-jan ...." Pemuda itu bergumam kecil.

Tangan kanannya sibuk menyentuh jendela mobil yang terkena air hujan dari luar. Sementara tangan kirinya menggenggam liontin cantik pemberian sang mama.

"Suka hu-jan ... suka ...." Ucapnya lagi yang kali ini dengan bersorak riang.

"Langit suka ya lihat hujan?" Anita berucap lembut, namun tak mengalihkan atensi pemuda bernama Langit itu pada rintik hujan yang semakin deras.

Helaan napas Anita terdengar berat, bukannya merespon ucapannya. Langit malah terlihat sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia yang tak bisa dimasuki oleh orang lain, termasuk kedua orang tuanya.

Anita tersenyum penuh arti. "Mau main hujan? Sama Bunda sama Ayah. Nanti kalau udah sampai rumah, kita main bareng-bareng ya. Langit mau, kan?" Tanyanya yang ingin mendapat perhatian dari Langit.

Mata Langit berbinar kala mendengar kata main dari mulut Anita. "Main ... main ... Langit main."

Basar tersenyum hangat, tangannya mengelus pucuk kepala Anita. Ia senang Langit bisa merespon ucapan istrinya, meskipun hanya dalam beberapa kata. Air mata Anita jatuh membasahi blouse batik miliknya. Respon seperti tadi yang selalu ia tunggu-tunggu dari Langit.

"Nanti ya, nanti kita main hujan sama-sama. Bunda, Ayah juga Langit." Ucap Anita.

Anita mengelus tangan Langit dengan lembut. Namun itu justru membuat Langit tampak tak nyaman, terbukti dari tangannya yang refleks ia tarik. Ibu satu anak itu hanya memaklumi tingkah sang putra, ia tahu jika berkontak fisik seperti tadi membuat Langit menjadi gusar.

Langit terlahir normal, sama seperti anak pada umumnya. Namun saat usianya menginjak enam bulan, gejala spektrum autis mulai terlihat. Berbeda dengan bayi yang lain, Langit tidak atau jarang sekali melakukan kontak mata saat namanya di panggil, tak ada racauan seperti bayi biasanya.

Ia ingin sekali melihat anaknya tumbuh dan berkembang seperti anak yang lain, menjadi seorang pemuda yang pandai bersosialisasi. Bukan tidak bersyukur, hanya saja melihat Langit seperti ini membuat Anita menjadi sedih. Tak sedikit orang yang meremehkan putranya, dan itu menjadi ujian kesabaran untuk Anita dan Basar.

Sudah satu jam berlalu, namun hujan masih tak mau berhenti. Seakan awan tengah mengeluarkan kandungan airnya dengan cukup banyak. Mobil pajero sport yang di tumpangi Basar dan sekeluarga sudah melewati hutan jati tadi.

Kini rute yang harus mereka lewati berupa turun curam, ditambah hujan seperti ini menambah ke-ekstriman jalur itu. Lagi-lagi Anita memperingatinya untuk beristirahat lebih dulu, namun Basar masih kekeh dengan pendiriannya dengan alasan yang sama seperti tadi.

"Tapi ini bahaya, Mas." Ucap Anita yang dibalas senyuman hangat oleh Basar.

Mobil warna hitam itu mulai melawati turunan curam perlahan-lahan. Sesekali terdengar decitan kecil kala Basar menginjak pedal rem. Sementara Anita terlihat berkomat-kamit melapalkan doa yang ia hafal.

Perjalanan mereka mulus saat melewati turunan itu. Namun setelah turunannya habis, sebuah tikungan yang lebih curam dari tadi seolah menyambut mereka. Nahas, kali ini tak semulus tadi.

Mobil mereka oleng menabrak pembatas jalan yang terbuat dari bambu hingga keluar dari jalanan tadi. Tak hanya sampai di sana, mobil yang di tumpangi keluarga Basar terguling beberapa kali, membuat dentuman yang cukup keras yang tersamarkan oleh rintik hujan.

Darah segar mengucur dari pelipis dan leher Anita yang sudah tak sadarkan diri. Sementara Basar terlihat susah payah menggerakkan tangannya menepuk bahu sang istri.

"Nit! A-anita! Uhuk ... Uhukkk ...." Darah segar keluar dari mulut Basar saat ia terbatuk, akibat dari dadanya yang terbentur keras pada setir.

Mata Basar beralih pada Langit. Air matanya luruh saat melihat sang putra yang sudah tak sadarkan diri, sama halnya dengan Anita.

"Langit, bangun nak. Bangun, maafin Ayah. Bangun nak, Ayah tau kamu kuat."

Langit mendengar suara samar itu, suara dari sang ayah. Namun matanya seakan sulit untuk terbuka. Darah segar mengucur dari kepala bagian belakangnya, diiringi dengan nyeri yang cukup kuat.

"Ma-main ayo, ma-in. Langit hu-jan main ... Langit hu-jan main ...." Racaunya berkali-kali dengan suara lirih.

Entah apa yang tengah pemuda itu lihat, yang jelas lengkungan sabit di kedua bibirnya terlihat seiring kesadarannya yang mulai menurun. Pun dengan Basar, laki-laki itu sudah tak sadarkan diri.

🐳🐳🐳

Kisah Dari Langit Where stories live. Discover now