26. Ahmad Arkanza Davendra

43 8 8
                                    

Yuhuu, mengulik masa lalu lagi nih, biar kalian pada penasaran. Arkan beneran pulang atau engga. Maunya beneran atau engga?
Selamat membaca
.
.
.


Suasana padepokan nampak sepi. Beberapa orang sudah tertidur, beberapa lainnya berjaga. Takutnya ada hewan buas yang datang dan menerkam santri. Saat ini, seorang pemuda tengah duduk disalah satu dahan pohon. Ia nampak mengawasi area sekitar.

"Gue kira monyet,"

"Mana ada monyet seganteng gue,"

"Ada,"

"Mana?"

"Buka HP lo terus buka kamera,"

"Anj- astagfirullah Achazia ga boleh ngomong gitu,"

"Tadi monyet sekarang kuntilanak," ucap Achaz dengan bergidik ngeri.

"Pengen gue bunuh," seorang santri mendekati mereka dengan napas yang tak teratur.

"Gus Arkan, Gus Achaz, ada anak harimau masuk padepokan," Arkan hanya berdecak pelan. Ia turun dari pohon dan langsung menuju halaman depan.

"Ucil ternyata, sini lo," perintah Arkan. Dengan santainya anak harimau tersebut mendekati Arkan. Harimau tersebut sedikit berlenggok, seakan mengatakan, 'wlee arkan temen aku'

"Ikut gue, bikin rusuh mulu," ketus Arkan. Achaz dan beberapa santri lainnya menatap bingung, kok bisa?

"Masya Allah, Gus Arkan kayak Nabi Sulaiman ya," ucap salah satu santriwati yang berada di pondok, harimau tadi masuk kedalam area santriwati yang akhirnya menimbulkan kegaduhan.

"Iya ya, sayangnya yang jadi Ratu Balqis nya Ning Mala,"

"Mereka berdua cocok, layaknya seorang pangeran dan putri,"

"Gibah terus," ucapan Achaz membuat mereka kembali masuk pondok dan menutup pintu.

*:..。o○ ○o。..:*

Suasana hati tengah tak baik-baik saja. Orang yang ia cintai sudah dimakamkan beberapa menit yang lalu. Untuk kedepannya, ia akan hidup berdua bersama putrinya. Perlahan, ia mengusap perutnya yang semakin membuncit, tanda janin berkembang dengan baik.

"Kita lewati ini sama-sama ya sayang, umi janji, bakal jadi abi dan umi buat Zani. Kalau kamu udah lahir, akan umi ceritakan sehebat dan setangguh apa abimu itu,"

Tangan kirinya mengusap pelan kasur Arkan. Disinilah dia dan Arkan menghilangkan penat, disini pula ia dan Arkan bertengkar tentang masalah kecil. Tak ada lagi patner berantem dan adu mulut.

"Abi kamu orang hebat, dia bisa melewati semua tantangan kakek untuk mendapatkan umi, dia juga bisa nyembunyiin semuanya dari umi. Kamu jangan kayak abi ya, seenggaknya cerita sama umi kalau ada apa-apa," ucapnya lagi. Ia meraih sebuah surat yang diberikan Jeno pagi tadi.

Untuk Nirmala Adisti

Makasih ya, udah mau nerima aku, makasih juga udah mau jadi istri aku. Aku tau, aku bukanlah tipekal kamu, tapi dengan lapang dada kamu nerima aku.

Aku titip Zani ya, jangan pernah salahin takdir buat semuanya. Takdir udah tertulis sebelum kamu ada diperut umi.

Buat Zani, jangan nakal. Ada atau engganya abi, kamu tetap kebanggaan abi. Makasih ya sayang udah hadir dihidup abi. Ya walaupun belum sempet ketemu.

Maaf ga nepatin janji, hidup ga ada yang tau kan? Kakak nulis ini udah dari jauh-jauh hari.

Sayang kalian banyak-banyak

Dari Arkanza untuk Nirmala

Senyuman perlahan tercetak diwajahnya. Hidup memang tak ada yang tau, bisa hari ini, esok, maupun lusa. Takdir sudah diatur sebelum kita lahir, lalu pantaskah kita menyalahkan takdir yang sudah dibuatkan? Bukankah Tuhan lebih tau daripada kita? Kalau hal tersebut digariskan untuk kita, berarti Tuhan tau kalau kita bisa melewati nya, benar begitu?

*:..。o○ ○o。..:*

Kini Mala sudah kembali ke padepokan. Ia memilih menenangkan diri disini, setelah menghabiskan 3 hari dirumah mertuanya. Ia ingin mengenang sedikit momen bersama Arkan disini.

"Ada yang Mala inginkan?" tanya Fina.

"Ga ada umi, mau dikamar aja," Fina hanya mengangguk pelan. Sebenarnya, tak tega melihat putrinya seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi, orang yang selalu mengembalikan senyum Mala telah tiada.

"Kalau butuh umi, bilang aja ya,"

"Iya umi,"

*:..。o○ ○o。..:*

Suara adzan membuat Mala tersadar dari lamunannya. Jika ditanya, ikhlas atau tidak, jawabannya tidak. Ia belum sepenuhnya ikhlas akan kepergian suaminya.

"Ning Mala, sholat dulu yuk," ajak salah satu santriwati.

"Yuk, udah lama juga ga sholat bareng kalian," selesai sholat ashar, Mala kembali termenung. Dalam hatinya, ia berdoa kalau ini hanyalah mimpi. Ia benar-benar tak menyangka, Arkan pergi secepat itu.

"Yang sabar ya, ning," Mala hanya tersenyum menanggapi itu.

"Maaf ning, bukan bermaksud lancang. Menurut saya, ning jangan terlalu berlarut dalam kesedihan, itu ga baik ning,"

"Saya tau itu, udah sore, boleh liat kalian masak?"

"Boleh, kangen deh masak sama ning,"

Mereka mulai melangkah menuju area dapur. Disana sudah ada beberapa santriwati lainnya. Disana juga ada santriwan yang tengah menyalakan api. Mereka diajarkan untuk hidup sederhana.

Tawa Mala terdengar kala salah satu santri memberikan lelucon. Beberapa santriwati bersyukur karena bisa melihat tawa ning mereka.

"Kalian kenapa?"

"Ga papa ning,"



















Gimana sama part ini?

Janlup vote sama komennya

Sayang kalian banyak-banyak!

AA Davendra 2 [End]Where stories live. Discover now