21. Ahmad Arkanza Davendra

49 9 15
                                    

Kembali kepada suasana padepokan yang asri. Pepohonan masih tumbuh subur. Burung-burung kompak berkicauan di pagi dan sore hari. Hewan buas juga bebas berkeliaran, sesekali mampir kedalam tanpa mengganggu. Mereka hanya penasaran dan mencari makan saja.

Seperti saat ini, seorang pemuda tengah santai berbaring dengan badan harimau sebagai sandaran. Sesekali menyuapi sepotong daging. Beberapa santri hanya bergidik ngeri melihat itu, bisa saja harimau tersebut menerkamnya.

"Cowo aneh," gumam Mala.

"Wanjing, jangan gigit jari gue dong, masih kurang?" gerutu Arkan. Ya pemuda nekat nan sinting itu Arkan. Tangannya mengeluarkan sedikit darah.

"Eh, lo kan harimau ya bukan anjing," lanjutnya.

"Psikopat lo, demen banget sama darah," gumam Arkan saat harimau tersebut menjilati darah yang keluar dari hari telunjuknya.

"Anj- eh salah, harimau pintar, dah sono balik, ntar dicariin emak lo,"  Mala setia memperhatikan interaksi Arkan dengan anak harimau. Anak harimau tersebut nampak nurut dengan Arkan, buktinya ia langsung pergi setelah mendapat perintah.

"Mala, obatin dong," ucap Arkan sambil memperlihatkan luka dengan darah yang masih mengalir.

"Bukan mahram,"

"Oke biar mahram, saya Terima nikah dan ka-, hehehe engga, Mal," ucap Arkan saat Mala mengangkat sebuah sepatu.

"Ada apa ini?"

"Ga papa," Mala langsung melenggang kedalam rumah.

"Tangan lo kenapa?"

"Digigit kucing," balasnya acuh. Ia duduk di sebuah kursi bambu, diikuti Hafizh.

"Nih," Mala kembali dengan kotak P3K di tangannya.

"Obatin sendiri," ketus Mala.

"Makasih," Arkan mulai membuka perban dengan susah payah.

"Haduh buka perban aja ga bisa, Ar?"

"Bisa kok bang, hehehe ga bisa," kekehnya.

"Abi mau ngisi kajian di depan, bantu Arkan ya," Hafizh tau, kalau mereka memang diharamkan untuk berdua. Namun, apa salahnya mereka saling mengenal atau berta'aruf? Toh ia sudah yakin dengan Arkan, apalagi melihat garis keturunan Arkan.

"Nah bener tuh, bantu suami dapet pahala loh,"

"Suami ndas mu," kesal Mala. Dengan tidak ikhlas, ia membantu Arkan mengobati lukanya.

"Mal, kalau gue nikahin lo secara agama dulu gimana? Kalau lo mau, besok gue nikahin, soalnya gue baru masuk kuliah,"

"Kalau kamunya serius sih ga papa, pernikahan itu sakral Arkan, ada perjanjian antara diri kita dengan Allah. Didalam akad, kamu sudah mengambil hak abi atas aku dan kamu berjanji dihadapan Allah akan mengayomi dan membimbingku. Kalau kamu masih mau main-main, maaf aku ga bisa nerima kamu," ucap Mala tanpa menatap Arkan.

"Besok gue dateng sama orang tua gue, gimana?"

"Udah punya apa kamu?"

"Punya keyakinan, kalau dimasa depan, kita bakal jadi keluarga bahagia,"

"Tunggu beberapa tahun bisa? Minimal nunggu aku kelas 12, mau?"

"Sekarang kelas berapa?"

"Baru kelas 10,"

"Oke, dua tahun lagi, gue dateng,"

*:..。o○ ○o。..:*

Seorang pria tengah mondar-mandir didepan ruang ICU, putranya masih dalam masa kritis. Ia harap putranya cepat melewati masa kritis nya. Jujur, ia rindu saat-saat adu mulut dengan putranya itu.

"Aduh, Raya nelpon lagi,"

"Huft, hallo assalamu'alaikum,"

"Waalaikumsalam, kak, kapan pulang? Kasian Mala nya, nangis mulu,"

"Kamu?"

"Modelan kamu banyak dipasaran, jadi buat apa ditangisin,"

"Huft, Ray, kamu dateng ke rumah sakit Medika ya, tapi janji jangan nangis,"

"Loh, kenapa? Kakak sakit? Atau Arkan?"

"Arkan, tapi jangan bawa Mala. Arkan nya yang minta,"

"Iya kak, aku kesana sekarang, assalamu'alaikum,"

"Waalaikumsalam," Fajri kembali menatap kearah Arkan. Beberapa alat terpasang ditubuhnya.

"Kenapa harus sekarang, Ar?" gumamnya.

"Ayah ga usah khawatir. Arkan kan kuat," ucap seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun.

"Harus itu mah, kamu jagoan ayah, janji jangan ninggalin kita ya,"

"Iya ayah, Arkan bakal bertahan demi ayah, bunda, dan Anggi,"

"Lo harus bisa pegang janji itu, Ar," percakapan beberapa tahun lalu, tepatnya saat untuk pertama kalinya ia tau penyakit yang diderita putranya.

"Kak," Fajri menoleh. Ia mendapati Raya datang dengan Lina.

"Arkan kenapa?"

"Biasa, ngulah," lirih Fajri. Ia tak akan tega menceritakan semuanya. Bisa saja Raya menyalahkan dirinya, karena penyakit yang Arkan derita bawaan dari lahir.

"Jangan bohong, kak," Fajri tersenyum. Ia meminta keduanya duduk.

"Janji jangan nyalahin diri sendiri," dengan sedikit berat hati, Fajri menceritakan semuanya. Dari awal ia mengetahui penyakit itu hingga saat ini.

"Kenapa kakak baru cerita?"

"Arkan yang minta,"

"Ma-maksud ayah, Lina bukan anak kalian?"

"Kamu anak kita, Lin, sampai kapanpun itu, sini peluk ayah," Lima mendekati lelaki parubaya tersebut dan memeluknya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Menurut Fajri ini waktu yang tepat untuk memberitahu semuanya.










Buntu

Buruan votmen, kalau ga ya ga up

Emak gue lagi frustasi ~ Arkan

AA Davendra 2 [End]Where stories live. Discover now