05. Crowded

315 20 0
                                    


Sebuah perjalanan cinta yang tadinya telah usai.

Sebuah perjalanan cinta yang tadinya telah usai

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


05. Crowded

Radit memasuki ruangannya dengan wajah merah padam, ia ingin mengacak ngacak semua barang yang ada di ruangannya, namun itu tidak mungkin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Radit memasuki ruangannya dengan wajah merah padam, ia ingin mengacak ngacak semua barang yang ada di ruangannya, namun itu tidak mungkin. Entah kenapa saat melihat wajah perempuan itu membuat Radit emosi, perempuan itu telah menghancurkan hatinya dan sekarang perempuan itu malah kembali berkeliaran di sekitarnya! Sialan memang.

Radit langsung menghempaskan tubuhnya pada sofa, kemudian melepas dua kancing kemeja atasnya, pintu ruangan terbuka sehingga menimbulkan suara dan atensi Radit kini tertuju pada pintu yang berada di samping sofa yang tengah dia duduki. Di sana terdapat Angkasa sambil menenteng plastik putih polos berukuran sedang di tangannya

"Dit, lo kenapa si? Gak biasanya lo ngomong sekasar itu, dia juga cewek Dit, pasti sakit hati pas lo bilang gitu!" Bahkan Angkasa langsung menuntut Radit, ia sama sekali tidak menyapa temannya itu. Karena ia merasa geram dengan sikap Radit, apalagi Radit melontarkan kata-kata yang pastinya menyakiti hati Aira.

Radit mendelik ke arah Angkasa, ia tersenyum miring bahkan sekarang temannya itu telah masuk ke dalam perangkap perempuan sialan itu. "Lo kalo mau ngoceh mending sana keluar!" usir Radit lalu meraih laptop yang berada di atas meja dan mulai mempokuskan dirinya dengan benda tersebut.

Angkasa berdecak kesal, sebenarnya ada masalah apa temannya ini dengan Aira? Bahkan waktu Angkasa mengenalkan perempuan pilihannya untuk Radit, Radit tak berbicara sekasar tadi. Radit lebih banyak diam, bicarapun jika ditanya pada saat itu.

"Serah lo aja Dit," kesal Angkasa, kemudia dia ikut duduk di samping Angkasa. Oke sekarang Angkasa akan memancing Radit agar ia mau bercerita mengapa Radit berbicara sekasar tadi.

Sebelum itu, ia mengambil minuman dingin yang berada di plastik yang tadi ia bawa, Angkasa meneguknya dengan sangat cepat hingga tersisa setengah lagi. Bicara dengan Radit harus membutuhkan enetgi.

"Lo kenal sama Aira, Dit?" Nada bicara Angkasa memelan dan lebih kalem dari tadi, ini cara Angkasa agar Radit tak mengusirnya lagi.

"Menurutt lo?" Radit malah balik bertanya membuat Angkasa kembali dibuat kesal.

"Oke, gue tebak aja lo udah kenal tuh sama Aira," tebak Angkasa dengan senyum ceria di wajahnya, Radit melirik Angkasa sekilas kemudian kembali pada layar laptop yang sekarang tengah ada di pangkuannya.

"Kalo udah tau ngapain nanya?" Angkasa menghela napas, ngomong sama Radit memang harus butuh eksta kebaran yang tinggi, jika tidak maka ia akan darah tinggi.

"Oke, oke serah lo!" sembur Angkasa sembari bangkit dari sofa dan mengacak rambut frustasi, tapi si Radit tidak peduli dan tetap fokus pada obyek yang berada di depannya.

Tidak ingin darah tinggi, akhirnya Angkasa memutuskan keluar dari ruangan Radit, bahakan dalam mulutnya ia terus mengumpat dan mengabsen beberapa binatang yang ia ingat.

Setelah kepergian Angkasa, Radit meletakan laptopnya di meja, ia menghela napas bukannya ia tidak mau bercerita pada Angkasa tapi dipikir pikir, untuk apa ia bercerita pengalaman buruknya dulu? Yang ada mungkin nanti Angkasa akan menertawakannya, akh sudahlah lebih baik Radit tidak bercerita pada Angkasa.

***

Aira duduk di bangku kasir sembari menatap ke luar jendela yang menampilkan pohon besar dan rimbun, mungkin cukup untuk berteduh dua orang di sana.

Pikiran Aira terasa penuh, bahkan dadanya masih terasa sesak kala ia mengingat perkataan Radit beberapa jam lalu. Sebenci itukah Radit padanya? Aira menghembuskan napas kasar, bodoh sekali dirinya ini, tentu saja Radit akan sangat membencinya.

"Kenapa, Mbak? Kok ngelamun terus daritadi?" Hanin datang sembari meletakan vas bunga kaca di meja kasir, Aira menatap Hanin lalu tersenyum pada perempuan yang lebih muda dua tahun darinya itu.

"Gapapa kok," balas Aira meyakinkan, namun Hanin tidak percaya perempuan di depannya ini tidak pintar berbohong, tapi Hanin tidak mau mencampuri urusan bosnya ini.

"Kita makan siang bareng yuk, Mbak. Di kafe deket sini aja, aku denger dari temen ku katanya ada menu baru yang super enak. Pasti Mbak suka," kata Hanin sangat bersemangat, namun sayang Aira tidak ingin makan di sana karena pasti ia akan kembali bertemu dengan Radit. Aira memang telah mengetahui jika kafe yang beberapa jam lalu ia injaki itu adalah kafe Radit, ia tahu dari para pengunjung kafe saat ia akan ke luar dari kafe, Aira tidak sengaja mendengar perbincangan anak remaja, yang katanya Radit si pemilik kafe Dandelion itu sangatlah tampan.

"Maaf ya Hanin, Mbak gak bisa biar Mbak yang teraktir aja deh, nih uangnya." Aira menyerahkan dua lembar uang berwarna merah pada Hanin, sebagai ganti karena ia tidak bisa ikut.

"Eh, kalo gak bisa gakpapa Mbak. Biar aku sendiri aja, Mbak gak usah kasih aku uang, kan belum waktunya gajian," tolak Hanin halus, ia jadi merasa tidak enak pada Aira yang sangat baik ini.

"Gakpapa urusan gaji beda lagi, kamu tenang aja. Nih Mbak tambahin seratus lagi, takut gak cukup," kekeh  Aira sembari membuka laci kasir kemudian mengambil uang berwarna merah satu dan menyerahkannya pada Hanin.

"Makasih loh Mbak, Mbak baik banget," kata Hanin begitu terharu, Aira sudah mempekerjakan dirinya di sini pun ia sangat bersyukur, jaman sekarang memang ijazah SMA saja tidak cukup, tapi untungnya Aira berbaik hati menawarkan pekerjaan sebagai pegawai toko bunga baru ini.

Bahkan tidak disangka Aira menawarkan Hanin untuk berkuliah, namun Hanin menolak secara halus, ia memilih untuk kerja saja agar bisa memberika uang untuk keluargannya dan menyekolahkan adik adiknya.

"Sama-sama Nin, tapi bantu Mbak tutup toko dulu ya, Mbak mau istirahat dulu, rasanya kepala Mbak mau meledak." Hanin mengangguk saja.

"Kenapa memangnya Mbak, ada masalah ya? Kalo Mbak mau aku bisa jadi temen curhat kok, tenang aja aku orangnya gak sebocor itu kok," tawar Hanin dengan kekehan di kalimat akhir. Aira ikut terkekeh, ia menggeleng pelan kemudian mulai melakukan aktivitasnya yaitu membereskan bunga-bunga kering yang berserakan di lantai kemudian menutup jendela dan sebagainya.

"Yaudah Mbak, aku pamit dulu ya dahh ...." Hanin melambai lambaikan tangannya saat Aira telah selesai mengunci pintu toko, Aira pun ikut melambaikan tangannya. Kemudian Aira berjalan pelan menuju halte yang berada di bawah pohon besar untuk menunggu bus datang.

Aira memang sengaja menutup toko padahal masih siang, Aira hanya takut Angkasa akan ke tokonya. Entahlah rasanya Aira belum siap bertemu dengan Angkasa ia malu perihal tadi. Raut iba Aira perhatikan dari wajah Angkas, Aira tidak suka dengan orang yang menatapnya seperti itu, ia merasa jika dirinya terlihat lemah di mata orang lain.

***

DESTINY (End)Where stories live. Discover now