Track 8: News Peg

9.3K 1.5K 48
                                    

Wulan

What am I doing here?

Pertanyaan itu selalu menghantuiku dalam dua minggu terakhir. Selama kurun waktu itu pula aku enggak punya jawaban yang memuaskan. Satu-satunya alasanku masuk ke permainan ini karena cuma Elkie yang bisa membukakan pintu untukku dalam mencari keadilan untuk Papa.

Itulah alasanku berakhir di sini, di mobil Elkie, dalam perjalanan menuju Sukabumi.

Sejak tadi, aku bergerak gelisah. Tidak ada tempat untuk kabur, karena seatbelt membuat tubuhku terkunci di jok. Sesekali, aku melirik Elkie. Sejak menjemputku ke rumah, enggak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

Suasana di dalam mobil begitu hening. Hanya ada alunan lagu jazz dari pemutar musik yang tersambung ke stereo di mobil. Sisi judgmental di dalam diriku enggak menyangka Elkie mendengarkan lagu jazz.

"Oke, gue bosan." Aku mengambil handphone Elkie dan mematikan lagu yang diputarnya.

"Hei..." Elkie meneriakkan protes.

Aku mendesis dan menyuruhnya diam. Tidak lama, lagu pilihanku mengalun di dalam mobil.

Elkie melirikku sekilas. Aku sudah menyiapkan argumen kalau dia meledek lagu pilihanku, tapi dia enggak berkomentar. Aku sengaja memutar album NOAH untuk memanas-manasi Elkie. Selama ini, banyak yang membandingkan STORM dengan NOAH meski kedua band itu enggak pernah menunjukkan perseteruan. Malah sebaliknya, mereka saling memuji. Tapi, itu kan di depan umum. Aku penasaran tanggapan Elkie, pengin tahu apa yang akan keluar dari lidahnya yang berbisa itu.

Dia masih bungkam. Aku enggak tahu mana yang lebih menyebalkan, Elkie dengan mulut pedasnya atau Elkie yang diam kayak patung.

Dua-duanya nyebelin.

Semua tentang dia nyebelin. Itu kesimpulan yang kudapat.

Untuk menghilangkan bosan, aku ikut bersenandung di lagu "Tak Ada yang Abadi". Ini salah satu lagu favoritku. Liriknya begitu magis, aku selalu merinding setiap mendengarnya.

"Suara lo bagus juga."

Aku berhenti di tengah-tengah lagu ketika Elkie akhirnya bersuara.

"Enggak sebagus Papa, sih." Kalimat itu meluncur dari mulutku tanpa sempat dicegah.

"Bokap lo musisi juga?" tanyanya.

Aku sontak menghela napas panjang. Raanya ingin mengangguk, tapi ada yang mengganjal hatiku. Papa seorang musisi. Sama seperti Raja, Papa belajar musik secara otodidak. Papa satu dari segelintir yang punya privilege bisa memiliki radio dan terpapar musik sejak kecil. Papa jatuh cinta pada musik di pandangan pertama, dan cinta itu terus mengikutinya sampai mengembuskan napas terakhir.

Cinta itu menurun padaku dan Raja. Dulu, aku sering menyanyi bersama Papa. Waktu sekolah, aku aktif sebagai vokalis band. Aku memang enggak bisa bermusik, tapi kemampuan vokalku enggak buruk-buruk banget. Meski untuk terjun ke dunia musik secara profesional, kemampuan bernyanyiku enggak cukup.

"Jadi, apa yang harus gue tahu soal pernikahan adik lo?" tanyaku, sengaja mengalihkan pembicaraan karena mengingat Papa membuatku enggak nyaman.

Elkie kembali melirikku sebelum fokus ke jalanan di depannya. Kalau dia tahu aku sengaja menghindar, dia eggak menunjukkannya.

"Elsie, adik bungsu gue. Calon suaminya bernama Aldi. Akad nikahnya masih Sabtu, tapi semua keluarga gue udah di sana." Elkie menjawab.

Sebelum mewawancari Elkie untuk LightSound, aku melalukan riset sehingga tahu kalau Elkie lahir dan menghabiskan masa kecil di Sukabumi. Dia baru pindah ke Bandung saat masuk SMA. Aku juga tahu kalau keluarganya memiliki perkebunan teh di Sukabumi.

The Bachelor's ScandalWhere stories live. Discover now