Track 3: Breaking News

9.6K 1.8K 64
                                    

Elkie

Tanpa membuka mata, aku menjangkau handphone yang enggak berhenti berbunyi. Siapa, sih, yang menelepon pagi buta begini? Tanganku meraba-raba nakas, mencari keberadaan handphone yang bunyinya memekakkan telinga.

Elsie.

Dahiku berkerut saat melihat nama adikku. Baru kemarin aku bertemu dengannya untuk untuk membahas pernikahannya yang akan berlangsung bulan depan. Sebagai kakak tertua, sekaligus kakak laki-laki satu-satunya, aku bertanggung jawab atas kelancaran pernikahan Elsie.

Adik bungsuku itu memang manja. Sebenarnya enggak ada masalah berarti terkait pernikahannya, tapi bagi Elsie, hal kecil bisa jadi masalah. Seharusnya dia berada di Sukabumi hari ini, memastikan villa sudah dalam keadaan siap untuk prosesi akad nikah.

"Kenapa, Dek?" tanyaku.

Di seberang sana, Elsie langsung berteriak. Aku harus menjauhkan handphone dari telinga karena enggak mau dibuat budeg oleh teriakannya. Aku enggak menangkap dengan jelas omongan Elsie.

"Dek, ngomong pelan-pelan," seruku.

"Aa beneran mau nikah?" tanyanya dengan suara melengking.

Aku bangkit duduk. Tanganku meraih air putih yang selalu tersedia di atas nakas dan meneguknya. Mataku melirik jam. Baru pukul delapan, terlalu pagi untuk bangun di akhir pekan.

"Kan, kamu yang mau nikah." Aku membalas.

"Tapi ini di berita katanya Aa yang mau nikah. Kok enggak bilang-bilang, sih?"

Semalam, aku bergadang untuk menyelesaikan rekaman lagu terbaru dari proyek recycle yang kulakukan. Aku baru pulang menjelang Subuh, tapi sudah dibangunkan oleh berita mengada-ada.

"Enggak mungkinlah Aa main nikah gitu aja," balasku. Aku mengambil handphone satu lagi dan mengecek berita.

Mataku terbelalak saat membaca berita tentangku. Persis sama seperti tuduhan Elsie. Berita itu pertama kali muncul di Click.

"Elkie Ferdian Putuskan Menikah, Cewek-cewek Patah Hati Berjamaah."

Aku mengernyit membaca judul berita yang sangat norak. Tanpa berniat membaca, aku menggulir layar untuk melihat nama penulisnya.

Dianisa Wulan.

Dia lagi.

Aku enggak kenal dengannya. Aku enggak pernah bertemu dengannya. Namun, dia sering menulis berita tentangku. Dia bukan satu-satunya wartawan yang memberitakanku, tapi aku enggak bisa melupakannya karena berita yang ditulisnya selalu sensasional. Berita itu sama sekali enggak berkualitas. Asal comot Instagram, dan memasukkan komentar orang yang engak dikenal, lalu jadi berita. Makanya aku malas update hal yang bersifat pribadi di Instagram karena bisa dipelintir jadi berita, tanpa perlu konfirmasi. Lalu membuatku jadi bulan-bulanan akun gosip dan netizen sok tahu dengan semua asumsi dan opini yang berlomba-lomba menelanjangiku.

Aku enggak punya latar belakang jurnalistik. Bahkan SMA aja enggak lulus. Tapi aku yakin bisa menulis berita yang jauh lebih berbobot ketimbang yang dibuat Dianisa Wulan.

Berita itu menimbulkan perkara. Dre berkali-kali meneleponku. Notifikasi pesan juga penuh. Enggak perlu membuka satu per satu, aku bisa menebak isi pesan itu.

"Mamah nanya ke aku. Kemarin, kan aku ketemuan sama Aa. Kata Mamah, beneran enggak beritanya?" Ucapan Elsie membuatku terjaga sepenuhnya.

Sejak bertahun-tahun lalu, ibuku sudah menginginkanku untuk menikah. Namun, aku belum bisa. Aku punya alasan kenapa masih melajang.

Tentunya alasannya enggak secetek yang diberitakan. Publik menduga aku masih melajang karena belum move on dari Ira, pacar terakhirku.

"Beritanya salah. Aa juga enggak tahu penulisnya dapat info dari mana. Nanti Aa beresin masalah ini sama dia," sahutku.

Di seberang sana, Elsie mendesah. "Mamah padahal sudah senang banget."

Aku ikut mendesah saat mendengar penuturan Elsie. Satu-satunya keinginan Mama yang belum bisa kupenuhi adalah melihatku menikah. Mama sangat berharap, sehingga berita murahan seperti ini membuatnya berharap.

Satu lagi alasan untuk membuat perhitungan sama Dianisa Wulan.

"Nanti Aa telepon Mama," ujarku. Handphone yang lain berdering, menampakkan nama Dre. Dengan enggan, aku mengakhiri percakapan dengan Elsie. "Udahan, ya. Mbak Dre nelepon."

"Ya sudah. Nanti aku ngomong sama Mamah."

Begitu telepon dengan Elsie terputus, aku mengangkat telepon Dre. Dia langsung menyerbuku, tanpa perlu berbasa basi dan menyapa.

"Masalah apa lagi, sih, Kie? Baru kemarin lo nyari perkara sama Anya, sekarang apa lagi?" Dre menyebut nama Anya, influencer yang menjadi bintang film dan kebetulan bertemu denganku di acara TV, dan ada yang memotret kami. Padahal saat itu aku cuma berkenalan dengan Anya atas nama sopan santun. Namun gosip yang ada, aku pacaran dengan Anya.

"Lo hubungi wartawan Click. Si Dianisa Wulan. Dia dapat sumber berita dari mana?" tanyaku.

"Katanya dia dengar langsung." Dre menjawab ketus.

Aku butuh kopi. Akumulasi capek karena bekerja sampai pagi, tidur cuma sebentar, dan sekarang harus menghadapi berita sampah membuat kepalaku nyaris meledak.

"Dengar dari siapa?" tantangku.

"Menurut lo?"

Aku tertawa. "Satu-satunya yang mau nikah itu Elsie, adik gue. Lo tahu soal itu."

Saat ini Elsie sedang mempersiapkan pernikahannya. Semua fokusku ada pada acara itu. Enggak ada waktu untuk memikirkan pernikahanku sendiri. Setidaknya sampai Elsie menikah dan semua tanggung jawabku sudah terpenuhi.

Publik enggak mengerti. Menurut mereka, aku penjahat kelamin yang antikomitmen.

"Gue beneran mau bikin perhitungan sama si Dianisa Wulan."

"Calm down," seru Dre.

Bukan cuma aku, Aria juga sudah muak dengan berita yang ditulisnya. Kalau semua public figure satu suara, aku yakin Dianisa Wulan, Click, dan wartawan gosip lainnya akan kehilangan pekerjaan.

"Gue bakal hubungi pihak Click, minta mereka buat bikin artikel klarifikasi. Minggu depan konferensi pers album baru, bisa kan enggak bikin masalah lagi samapi preskon kelar?" tanya Dre.

"Gue enggak bikin masalah." Dianisa Wulan yang mencari masalah denganku.

"I know, tapi lo itu public figure. Lo diam aja bisa salah dan jadi berita." Dre terkekeh.

Salah satu candaanku dan Aria, kalau salah satu dari kami bernapas, bisa menimbulkan berita heboh dan menjadi santapan akun gosip dan netizen kurang kerjaan.

"Gue enggak bakal ke mana-mana sampai preskon." Aku berkata tegas. Bukan karena ngambek, tapi aku punya bayak pekerjaan yang mengharuskan berada di studio. Aku sudah berjanji untuk enggak bekerja sampai pernikahan Elsie selesai, jadi terpaksa lembur menyelesaikan lagu yang sudah direkam. "Preskon nanti, Aria aja yang ngomong. Gue malas ditanya-tanya."

Kalau bisa, Aria saja yang menghadpai wartawan. Da lebih luwes dan terkendali. Aria bisa menyembunyikan emosi. Sepanjang mengenalnya, baru sekali dia lepas kendali dan memukul wartawan yang mengerubungi Shania di pemakaman ayahnya. Pertahanan dirinya cukup kuat, aku tidak menyalahkan tindakannya karena dia membela Shania dan Shaloom. Meski akibatnya, wartawan mengancam akan memboikot STORM, juga akan membawa perkara itu ke pengadilan. Tawaran dari acara televisi berkurang, iklan menarik diri, dan promosi album yang sudah disusun jadi terancam.

Aku akan melakukan hal yang sama jika menyangkut Mama dan adik-adikku.

"Pokoknya, jangan macam-macam."

"Lo beresin tuh si Dianisa Wulan. Gue enggak mau dia bikin masalah lagi," ujarku, sebelum Dre menutup telepon.

Kalau nanti bertemu dengannya, aku akan membuat perhitungan dengan Dianisa Wulan.

The Bachelor's ScandalWhere stories live. Discover now