Track 17: Investigative

9.6K 1.9K 106
                                    

Wulan

Hari kedua konser, aku punya kesempatan jalan-jalan. Sudah lama aku ingin ke Solo. Aku menghabiskan masa kecil di sini, sebelum Papa membawa keluargaku pindah ke Jakarta untuk mengejar mimpinya.

Solo selalu ada dalam darahku. Kalau sedang lelah atau butuh tempat menenangkan diri, aku selalu menuju Solo. Ada satu tempat yang berhasil membuatku tenang.

Lokananta.

Papa pernah bekerja di sana, begitu juga dengan kakekku dari pihak Papa. Di sanalah Papa jatuh cinta kepada musik. Papa begitu mencintai Lokananta, setiap pulang sekolah aku menemui Papa di sana. Aku sering mengintip proses perawatan piringan hitam, mencari-cari kaset lama atau sekadar jalan-jalan di sekitar studio sambil menatap foto-foto musisi besar yang menghiasi dinding bagian luar Lokananta.

Berhubung ada waktu luang, aku putuskan untuk mengunjungi Lokananta. Tadinya aku mau mengajak Raja, tapi anak itu sudah keburu menghilang bareng Shaloom.

Aku baru sampai di lobi ketika Elkie keluar dari lift. Dia keburu menyadari kehadiranku, sehingga aku tidak punya kesempatan untuk menghindar atau bersembunyi.

Entah apa yang membuatku kesulitan menahan emosi, bisa-bisanya aku menangis di depan Elkie kemarin. Aku hanya bertanya soal gitar yang diberikannya kepada Raja, dan berakhir dengan menangis karena tidak bisa mengendalikan emosi yang mencekik.

Sejak kapan Elkie memberikan aura bersahabat yang membuatku bisa dengan mudah bercerita di hadapannya? Aku tidak tahu. Di satu sisi, aku ingin hubunganku dan Elkie kembali seperti dulu. Dia yang menyebalkan jauh lebih mudah dihadapi, ketimbang Elkie yang apa adanya dan punya jiwa besar seperti ini.

Aku tidak ingin merasa nyaman saat bersamanya.

Duniaku dan Elkie begitu berbeda. Dalam semua hal. Usia hanya salah satu, meskipun dia single tapi dia dua belas tahun lebih tua dibanding aku. Namun, yang paling mencolok adalah statusnya sebagai publik figur yang berada di bawah sorotan publik sedangkan aku hanyalah wartawan yang setiap hari struggling menghadapi pekerjaan yang menguras energi tapi tetap kupertahankan demi menyambung hidup.

Hidupku dan hidupnya ibarat langit dan bumi.

Perbedaan itu seharusnya membuatku tidak merasa nyaman saat bersamanya. Aku bisa menyebutkan faktor yang membuatku seharusnya tidak menganggap Elkie lebih dari sekadar rekan kerja yang kebetulan sedang bekerja denganku.

Berpura-pura menjadi pacarnya adalah kesalahan besar.

"Mau ke mana, Lan Lan?"

Selalu ada desir di hatiku saat mendengar dia memanggilku Lan Lan. Aku tidak menyadari kapan kali pertama dia memanggilku begitu. Awalnya dia memancing emosi dengan panggilan Liliput. Belakangan dia memanggilku Lan Lan dan rasanya begitu...

Intim.

Aku tidak menyukainya, karena panggilan itu membuatku semakin tidak mengerti dengan perasaanku. Namun aku juga tidak melakukan apa-apa untuk mencegah Elkie. Aku malah menikmati panggilan itu.

"Lokananta."

Elkie memasang kacamata hitamnya. "Gue juga mau ke Lokananta," serunya.

"Lo enggak ngintilin gue, kan?"

Elkie mendecakkan lidah. "Memangnya lo siapa, sampai-sampai gue ngintilin? Jangan-jangan lo sengaja ke sana karena tahu gue mau ke sana. Dasar stalker."

Aku hendak menyikutnya, tapi Elkie terlanjur menghindar sehingga tubuhku terhuyung. Tidak ada tempat untuk berpegang, nyaris saja aku tersungkur dengan hidung mencium lantai lobi hotel. Elkie menahan lenganku. Suara tawanya yang meledek membuatku mau kabur sejauh mungkin.

The Bachelor's ScandalWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu