Track 4: Press Conference

10K 1.8K 119
                                    

Wulan

Selama sedetik, aku terdiam di depan lift. Seharusnya aku langsung masuk, karena enggak ada waktu lagi. Aku enggak mau telat datang ke press conference album terbaru STORM.

Di dalam lift ada Elkie. Dia enggak mengenalku, tapi aku merasa bersalah sampai-sampai enggak berani memasuki lift yang sama dengannya.

"Mbak, mau naik?"

Aku tergagap. Kenapa aku malah beritngkah bodoh begini?

Karena enggak ada pilihan lain, aku masuk ke dalam lift. Sebagai wartawan, seharusnya aku memanfaatkan kesempatan. Enggak semua orang bisa berada satu lift dengan Elkie. Aku bisa meminta satu atau dua quotes darinya terkait album baru yang diluncurkan sore ini. Namun, aku malah bertingkah seperti orang bodoh dengan bersandar ke sudut lift, menjaga jarak sejauh mungkin darinya.

Elkie melirikku sekilas, mungkin dia heran kenapa aku enggak memencet tombol lift. Dia harusnya bisa menebak aku wartawan. Penampilanku yang sangat standar—kaus, jins, dan tote bag, serta rambut yang kuikat membentuk top knot—enggak cocok buat nongkorng di SKYE, tempat press conference berlangsung.

Sesekali, aku melirik ke arah Elkie. Ada perasaan bersalah merambati hatiku saat ingat berita yang kutulis minggu lalu.

Akal sehat kembali menang. Aku langsung menurunkan berita soal pernikahan Elkie, tidak sampai semenit setelah tayang. Belum ada yang melihatnya, sehingga aku yakin berita itu belum dibaca siapa pun.

Aku langsung pulang setelah menulisnya. Ternyata, selama aku berada di Gojek, tanpa sepengetahuanku, Bang Akbar menaikkan ulang berita itu. Aku baru tahu setelah sampai di rumah. Aku langsung protes kepada Bang Akbar—selain karena dia asal menaikkan berita tanpa mengonfirmasi ulang, aku juga eggak suka dia menggunakan namaku. Bang Akbar enggak merasa bersalah. Berita itu langsung viral. Portal berita lainnya mengutip tulisanku, karena cuma itu satu-satunya sumber.

Manajemen STORM menghubungi pihak Click untuk meminta klarifikasi atas berita tersebut. Aku disidang pak Thomas, diceramahi karena sebagai editor aku harusnya paham soal hal mendasar.

Di mana Bang Akbar saat Pak Thomas menyidangku?

Hilang enggak tahu di mana.

Dia baru muncul keesokan harinya, lepas tangan dari masalah yang menimpaku. Aku makin kesal karena Pak Thomas ragu memberikan lampu hijau untuk long form journalistic yang kuidam-idamkan.

Kalau Elkie tahu aku Dianisa Wulan, dia mungkin akan membunuhku saat ini juga.

Dia menguarkan aura berbahaya. Mungkin karena dia punya wajah dingin yang sering membuat orang salah paham. Dia punya tubuh tinggi besar, dengan tato yang memenuhi seluruh tubuhnya. Siang ini, dia memakai kaus dilapis kemeja dengan lengan dgulung sehingga tato di lengannya terlihat. Aku pernah menonton konsernya, dan melihat punggungnya yang dipenuhi tato. Suatu waktu, ketika Elkie memamerkan tato terbaru di area torso, media berlomba-lomba memberitakannya. Click enggak ketinggalan. Aku meneliti foto demi foto yang memperlihatkan tato Elkie. Ada satu yang membuatku penasaran. Di pundak belakang sisi kanan, ada sederetan angka. Sampai sekarang, Elkie tidak pernah menjelaskan arti angka tersebut.

Rekan wartawan menyebut Elkie temperamental karena sering menggerutu atau menjawab pertanyaan dengan nada galak. Aku bisa bersimpati kepadanya. Kalau jadi dia, aku juga akan meledak saat mendengar pertanyaan enggak berbobot. Waktu masih bekerja di LightSound, aku pernah mewawancara STORM. Selama dua jam, aku mengobrol banyak dengan mereka. Elkie punya pengetahuan luas soal musik. Selama membahas musik, dia enggak irit ngomong. Dia bisa sangat cerewet. Dia menikmati interview tersebut. Namun Elkie langsung memasang perisai kalau pertanyaan sudah merambah ke hal pribadi.

The Bachelor's ScandalWhere stories live. Discover now