Track 5: Yellow Journalism

9.5K 2K 115
                                    

Wulan

"Lan, lagi rame nih videonya Elkie sama cewek di Tiktok. Lo enggak bikin beritanya?"

Aku cuma bisa memandangi handphone dengan mulut menganga. Detik itu aku menyesal sudah membaca chat Bang Akbar.

Bekerja di media artinya harus siap dengan kehadiran berita yang enggak pernah kenal waktu. Bisa saja ada berita heboh pagi-pagi buta, yang mengharuskanku membuka laptop saat itu juga. Aku ingat sedang berada di TransJakarta menuju gym sebelum ngantor, ketika mendengar berita meninggalnya Ashraf Sinclair. Kabar itu masih simpang siur, membuatku batal ke gym dan stand by di depan laptop terbuka sembari menunggu kabar selanjutnya.

Bisa juga berita datang tengah malam, ketika editor yang kebagian shift malam sudah bersiap-siap pulang. Bukan sekali dua kali aku kembali menyalakan laptop demi berita yang harus diunggah detik itu juga. Real time adalah nyawa dari media online, sehingga pekerja media harus siap melawan waktu.

Oleh karena itu ada jatah shift agar ada yang stand by sepanjang waktu. Jam kerjaku enggak mengenal weekend harus libur. Ada kalanya aku harus bekerja weekend, tapi sebagai gantinya, bisa libur di weekdays.

Aku mendapat jatah libur hari ini, mengganti piket weekend minggu lalu. Namun Bang Akbar masih saja menggangguku.

"Gue off, Bang. Nisha aja."

Seharusnya aku enggak usah membalas, tapi aku malas menghadapi cecaran Bang Akbar besok.

"Nisha udah kewalahan. Lo bisalah nulis satu berita aja."

Aku menggeram. Saat ini, aku sedang berada di atas TransJakarta yang membawaku ke kantor MusiKita di daerah Kemang. Kalaupun sekarang leyeh-leyeh di rumah, aku enggak sudi mengganggu jatah libur.

"Gue enggak bisa."

Aku sudah bersiap menyimpan handphone ketika balasan Bang Akbar kembali masuk.

"Usahainlah. Gue tunggu."

Di awal bekerja, aku akan mengalah. Lagian, aku bisa mengakses CMS lewat handphone, jadi enggak usah buka laptop. Namun, sekarang enggak lagi.

Ini jatah liburku.

"Gue enggak bisa, Bang. Lo aja yang bikin, kan bisa?"

Dari pada dia buang-buang waktu menyuruhku, dia bisa memanfaatkannya dengan menulis sendiri berita itu.

Aku menyimpan handphone ke dalam tas ketika halte yang kutuju sudah terlihat. Setelah turun dari TransJakarta, aku berjalan kaki sekitar sepuluh menit sampai mataku menangkap gedung MusiKita.

Langkahku terasa berat ketika jarak menuju gedung itu semakin dekat. Ada perasaan asing yang menguasai hatiku. Di usia sepuluh tahun, Papa pernah mengajakku ke sini. Saat itu, MusiKita masih menempati bangunan lama yang kini berfungsi sebagai kantor manajemen artis. Di sampingnya, ada bangunan baru berlantai lima yang lebih modern. Tujuanku ke sana, tapi mataku terpaku ke bangunan lama dua lantai itu.

"Lagu Papa akan direkam," kata Papa, yang masih terngiang di telingaku sampai detik ini. Aku tidak bisa mengenyahkan raut semringah di wajah Papa sewaktu mengajakku memasuki gedung MusiKita. Aku masih ingat kejadian sore itu—aku berjalan sambil melompat, dengan menggenggam tangan Papa, dan perasaan menggebu-gebu karena enggak sabar mau mendengarkan lagu Papa.

Papaku musisi. Beliau punya suara bagus dan jago main gitar. Sudah lama Papa menunggu kesempatan agar bisa menembus industri musik. Papa yang gigih tidak pernah menyerah sekalipun mimpinya terasa mustahil. Mama berkali-kali memperingatkan Papa untuk tidak lagi berharap, saking banyaknya penolakan yang diterima. Bagi Mama, hidup dengan gaji Papa sebagai guru musik sudah cukup. Namun Papa punya mimpi besar, dan mimpi Papa adalah memperdengarkan lagunya ke seluruh Indonesia.

The Bachelor's ScandalWhere stories live. Discover now