"Aku bukan membelanya, tapi bukankah lebih baik kaugunakan waktumu untuk bersiap? Ini hanya akan menguras tenagamu sia-sia." Masih santai lelaki itu berujar, menatap Bii tanpa iba sedikit pun. Satu ujung bibirnya pun ikut terangkat, seakan berkata pada sang istri, "Apa aku salah?"

Rasa sakit bahkan tak lagi dipedulikan Bii. Ia sibuk berusaha menutup rambutnya yang terekspos bebas. Allah, sang majikan melihat auratnya. Namun tentu saja, nihil, tak ada yang bisa ia gunakan untuk menutupi rambut selain tangannya yang jelas akan gagal.

"Ayolah, Charlotte. Tenangkan dirimu. Kaubilang akan ada meeting hari ini. Jangan biarkan dia merusak suasana hatimu." Sekali lagi kalimat yang terlontar membuat Bii bisa bernapas lega, tak lagi tercekik. Sebuah penyelamatan tanpa kentara bagi Bii.

Charlotte yang tadinya sudah sempurna menghadap sang suami, kembali berbalik badan, menatap Bii dengan sorot permusuhan. Dua tangannya di samping tubuh kembali mengepal kuat. Perlahan, tangan kanannya terangkat dan tanpa ragu menghantam bagian kiri kepala Bii, mendaratkan pukulan yang sukses membuat perempuan itu memekik. Tak berhenti di sana, Charlotte kembali menjambak rambut Bii sekali lagi sebelum menghempaskannya keras hingga kepala perempuan itu menubruk tepian bak.

Cairan merah yang sudah bercampur air menetes dari kening Bii bersamaan dengan kakinya yang goyah, jatuh terduduk. Meski pandangan matanya kabur, Bii sama sekali belum kehilangan kesadaran. Gemetar tangannya menyentuh kening, mengarahkan tepat ke depan mata.

"Darah," lirih Bii. Dipejamkannya mata sejenak sebelum kembali menatap Charlotte yang berdiri tegap. Perempuan itu tak peduli padanya, menatap tak acuh dengan tangan terlipat di depan tubuh. "Maafkan saya."

Bii tak lagi mendengar apa pun setelah Charlotte pergi tanpa kata, disusul sang suami. Menangis pun rasanya lelah.

-o0o-

"Cak!" Faiz berlari sembari membetulkan goodie bag yang tersampir di bahu kiri, hampir saja tersandung kerikil kemerahan di bawah sana. "Tunggu sebentar!"

Merasa namanya disebut, Hijir berhenti seketika, berbalik badan dengan satu alis terangkat tinggi. "Mau pulang ke ma'had bersama, Iz?"

"Afwan, Cak!" Ngos-ngosan membuat Faiz menjeda ucapan, menumpu tangan pada lutut barang sejenak. Cukup jauh ia lari-lari menyusul Hijir, lelaki itu tak dengar dipanggil sejak tadi. "Bukan itu, aku malah ada janji sama Emir setelah ini, mau langsung ke sana. Sampeyan dipanggil-panggil dari tadi nggak dengar, aku jadi harus lari-lari dari gedung ujung."

Hijir tertawa canggung. "Maaf, Iz."

"Nggak apa-apa. Sebetulnya aku dapat pesen dari Emir untuk Cak Hijir. Kalau nunggu di ma'had, takutnya keburu lupa. Libur semester nanti dia ngajak tadabbur alam, keliling Mesir, yang sekiranya masih bisa dijangkau dengan mudah, sih. Ya, ziarah ke tempat-tempat bersejarah juga."

Hijir mengerutkan dahi. "Emir? Mahasiswa semester akhir asal Turki itu?"

Anggukan mantap diberikan Faiz sebagai balasan. "Iya, dia pengen banget keliling Mesir sebelum kembali ke Turki. Kenang-kenangan katanya, dan pengen ngajak Cak Hijir juga. Dia ada kenalan rental mobil yang murah."

Senyum merekah di bibir lelaki berdarah Jawa tersebut. Rupa-rupanya, dua kali pertemuan dengan Emir memberinya kesempatan seperti saat ini. Memang, sejak awal bertemu, Emir sudah menunjukkan sikap bersahabat yang luar biasa. Pun sejujurnya sering mengajak mereka makan bersama, termasuk Hijir. Namun, jadwal mereka sering bentrok.

"Insyaallah, nanti kukosongkan jadwal jika memang ada."

Mendengar jawaban santai Hijir, Faiz sontak berdecak. Tak lama, lelaki itu tertawa, setengah mengejek, "Bilang aja kalau Cak Hijir suka. Kan sampeyan suka wisata sejarah begitu."

Tawa Hijir ikut pecah, tentu ia tak bisa mengelak. Kapan lagi? Beberapa tahun lalu saja ia memilih langsung bertolak ke Istana Al-Hambra begitu sampai di Granada, sedang ustaz pengantar santri yang lain memilih istirahat di penginapan. Kesempatan semacam itu benar-benar tidak boleh disia-siakan.

"Oh iya, Cak. Nanti malam jangan lupa sama jadwal ngaji kitab rutinan sama anak-anak yang lain. Terakhir kali sampeyan nggak ikut, malah ndekem di kamar karena galau kata Syaiful," tambah Faiz.

Ah ... Hijir malu mengakui itu, tetapi memang benar. Gara-gara Jauza. Pada akhirnya, ia hanya bisa mengangguk seraya terkekeh ringan.

"Kalau gitu aku langsung pamit. Assalamu'alaikum."

Lirih Hijir membalas seraya memandangi punggung Faiz yang kian menghilang. Ia lantas bergumam, "Nikmat-Mu sungguh luar biasa, Allah."

Baru hendak kembali melangkah, ponsel dalam saku bergetar. Ia tahu ada panggilan masuk meski tanpa nada dering, Hijir belum mengaturnya ulang setelah kelas tadi, takut mengganggu. Benar saja, setelah mengambil benda pipih itu, Hijir mendapati nama Laith di layarnya.

"Assalamu'alaikum, Ith." Dua langkah Hijir menepi, menyandarkan punggung pada dinding bangunan di belakang. "Ada apa?"

"Cuma mau sharing kayak biasa aja sih, Mas."

Di titik itu, Hijir hanya bisa tersenyum lebar.

-o0o-

Haha, lama banget nggak update🤣

Intinya wish you enjoy meskipun part ini minimalis banget.

Amaranteya

25th of September 2022

Gratia DeiМесто, где живут истории. Откройте их для себя