18: Hanya tidak bertemu

26 19 84
                                    

  Ruther meringis sewaktu Perban di punggungnya di lepas untuk di ganti yang baru, jahitan Vertikal kemerahan di tengah-tengah garis punggungnya sudah Pasti akan menjadi kenangan yang tak akan pernah bisa di hapuskan. Peperangan ini niscaya akan abadi, kemerdekaan penyihir agaknya bisa di genggam sampai berpuluh-puluh tahun selanjutnya selama mereka semua konsisten.

"Kau tahu bekas lukanya tidak akan hilang." Raymond angkat bicara.

"Aku tahu,siapa juga yang mau lihat,kan?" Ruther mengangkat bahu.

Begitu perawat selesai memasang perban kembali, perawat itu menyampirkan jubah bawaan sang paman di kedua bahunya lalu beranjak pergi setelah memberi hormat.

"Bagaimana Paman tahu aku ada disini?" Ruther mendongak untuk mengamati wajah dengan beberapa kerutan pamannya.

"Aku lama menunggu, Ruther. Lama sekali, dan selalu berpikir apakah ini semua akan terlambat nantinya. Sampai selebaran itu tersebar ke segala penjuru dan berita pemberontakan tersebar ke seluruh penjuru negeri."

"Selebaran apa?"

"Tentang kau dan rekanmu yang membuat kerusuhan di Dergam, tampaknya kau jadi lebih mudah di temukan gara-gara itu."

Ruther membulat kan bibir."Tak kusangka mereka masih punya dendam kesumat."

"karena kita sudah bertemu dan paman telah menyelesaikan segala urusan di Osloc. Ya karena menunggu mu akan memakan waktu jadi Kita berangkat ke Werty saat fajar."

Ruther Membelalak,ia bangkit dari duduknya."Mendadak sekali!"

"Paman memberi mu waktu semalaman untuk berpisah dengan kedua rekan mu. Kalau saja kau tetap bekerja sendiri, kita bisa berangkat malam ini. Tapi paman berhutang Budi juga padanya."

"Paman!" keluh Ruther.

"Setelah menjadi Raja nanti. Paman tidak akan melarang mu untuk mengangkat Gadis itu jadi Ratumu, Ruther. Bersabarlah!"

Ruther terbatuk singkat."Y-yah, aku tidak kepikiran sampai ke situ sih."

Sang paman berlalu pergi setelah mencibir Ruther yang mendadak memiliki gelagat aneh tidak seperti Ruther yang pernah ia kenal.

****

Audy menepuk-nepuk tas kulit nya yang ternyata tercampak sejak peperangan tadi. Setelah dengan sekuat tenaga menggeser Reruntuhan ia berhasil mengeluarkan tas kulit ciptaan tangan ibunya. Satu-satunya dan Original.

Audy memeriksa isinya, semua masih seperti terakhir kali Audy ingat. Audy tercekat singkat sewaktu menemukan boneka jerami dengan paku berkarat di dalam tasnya, ia terkekeh kecil mengingat dirinya yang kadang terlalu percaya pada takhayul. Boneka itu dulu ia gunakan untuk mengutuk teman-teman Akademi nya tiap kali berulah. Ia ingat sewaktu ia menusuk boneka itu berkali-kali dengan brutal, menginjak kepalanya dan membanting nya ke tembok sambil menyumpah. Tentu saja ia berbisik ketika mengeluarkan kata-kata kejam seperti: "Semoga kau mati di telan Hiu." Atau "Semoga kau kehilangan mulut mu saat bangun tidur." Atau yang paling parah "Semoga kau tidak akan pernah bangun lagi ketika menutup mata!"

Audy menyandang tas itu, ia mengambil Lentera api yang ia letakkan di atas tumpukan batu dan berjalan menuju api unggun besar dimana bangkai-bangkai kapal di bakar untuk penerangan sekaligus membakar habis dendam mereka. Audy melempar boneka itu ke tengah kobaran api.

"Aku tidak membutuhkan nya lagi." Audy Mengamati nyala api yang membakar Boneka jerami itu sampai jadi abu dalam sekejap. Ia beralih memandangi orang-orang yang saling bergandengan tangan dan menari bersama di sekitaran api unggun. Sementara beberapa jasad sudah berangsur di makamkan.Menurut Jeremy, ada baiknya seluruh kegiatan di pindahkan ke pulau satunya dan biarkan lah pulau ini menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang gugur dan biarkan semuanya tertinggal sebagai kisah lama nantinya. Warga dalam sekejap setuju, sebagian dari mereka memang tidak berencana menetap di tanah bekas pertempuran dahsyat yang memakan paling banyak korban jiwa.

CAPTAIN CALBARAWhere stories live. Discover now