Bagian 14

716 117 8
                                    


Mareta punya pengalaman buruk dengan yang namanya jatuh cinta. Ia menjadi saksi bagaimana cinta ibunya yang begitu besar dipatahkan begitu saja oleh ayah. Tidak ada alasan spesifik mengapa ia melarang adik-adiknya untuk jatuh cinta, Mareta hanya takut jika mereka diberikan sepercik sifat ayah yang tidak bagusnya.

Salah satunya, perselingkuhan.

Ibu diselingkuhi oleh ayah setelah ibu berjuang naik turun dengannya. Ayah bilang harta ibu tidak cukup untuk kehidupannya, padahal harusnya ayah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Mareta tidak pernah sedikitpun mengenal cinta karena ia takut seperti ayah karena Mareta sudah merasakan kesamaan dirinya dengan sang ayah yang kini selalu ia terapkan, yaitu harus taat aturan.

Adiknya semua laki-laki dan bukan hal yang tidak mungkin jika semuanya memiliki sepercik sifat ayah yang nantinya akan melekat pada diri.

"Maaf."

Ucapan maaf itu keluar usai Mareta jelaskan pada Juna yang mulai menunjukkan rasa cinta pada lawan jenisnya. Juna sendiri hanya diam, mencoba meresapi alasan mengapa Mareta melarangnya untuk jatuh cinta.

Mereka memang mempunyai pengalaman yang buruk dengan kedua orang tuanya, itulah sebabnya mengapa mereka hanya tinggal bertujuh saja sekarang.

"Juna boleh jatuh cinta, boleh pacaran juga, tapi nanti setelah tujuh belas tahun ya?" ucap Mareta.

Pada akhirnya, Mareta mencoba meyakinkan diri bahwa adik-adiknya tidak akan sama seperti sang ayah.

"Tapi Kak ...."

"Perasaan itu enggak ada yang tahu, Juna. Maaf udah larang kamu ya, tujuan Kakak bilang begini supaya kamu mengerti bahwa takutnya Kakak ada alasan yang pasti," jelas Mareta.

Juna sudah sangat paham dengan segala ucapan Mareta, ia juga bisa mengerti dan dapat menerima bahwa ketakutan kakaknya memang beralasan.

"Tapi tujuh belas tahun aku sebentar lagi loh, Kak," goda Juna mencoba mencairkan suasana.

Sontak tawa Mareta keluar usai mendengar perkataan adiknya. Ia mengusap air matanya yang keluar karena lelah tertawa. Melihat itu, Juna tersenyum tulus. Syukurlah ia bisa kembali membuat suasana yang happy setelah tadi ia menangis karena mengeluarkan segala keresahannya.

Di ruang tamu itu memang hanya tinggal dirinya dan sang kakak tertua saja. Tadi, saat dirinya menangis, Arsen, Jaffin, dan Satria pergi ke kamarnya masing-masing.

"Gaya betul ya yang mau tujuh belas tahun," ucap Mareta.

"Iya dong, udah mau bikin KTP nih," jawab Juna sombong.

Mareta mengangguk lalu mengusap surai adiknya seraya bangkit dari duduknya. "Sana mandi dulu, habis itu kita makan malam," titahnya.

"Siap laksanakan!"

Juna segera berlari ke kamarnya setelah sempat memberikan kecupan singkat pada pipi kakaknya. Kekehannya keluar saat mendengar Mareta yang meneriakkan namanya.

"Ah nggak tahu kenapa kok lega banget ya," gumam Juna.

Alih-alih menuruti suruhan kakaknya untuk mandi, Juna justru merebahkan tubuhnya di ranjang seraya menatap langit-langit kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul tujuh malam lebih sedikit. Makan malam mereka biasanya diadakan jam delapan, jadi masih ada waktu kurang lebih satu jam untuk bebas melakukan apa saja.

Cukup lama hanya diam dengan posisi seperti itu, Juna akhirnya bangkit dan berjalan menuju meja belajarnya. Juna mengambil satu buku yang sengaja ia selipkan di antara buku-buku tentang luar angkasanya.

Happy Birth(die) • Yang Jungwon [End]Where stories live. Discover now