Bagian 6

950 204 6
                                    


Keesokan harinya, keluarga Dewantara itu tengah sarapan bersama. Kegiatan yang biasa dilakukan, hanya saja jika sadar ada satu hal yang berbeda. Sejak duduk di kursinya, Juna tidak bersuara. Ah, lebih tepatnya ia diabaikan oleh keempat kakaknya.

Lain halnya dengan Arsen dan Naren yang sedari tadi mengoceh hingga ditegur oleh Mareta karena terlalu banyak bicara.

"Oh ya Kak, kemaren tuh ketos kita ngundang ke pesta ulang tahunnya tahu," ucap Naren tiba-tiba.

"Ah iya bener, seangkatan." Arsen ikut menimpali perkataan adiknya. "Kak Jaffin, Kak Jeremi, Kak Satria diundang juga, 'an?" tanyanya.

"Kalau diundang seangkatan ya pasti mereka juga diundang dong Arsen," kata Mareta.

Arsen terkekeh. "Iya juga ya, dateng nggak, Kak? Kemarin aku males banget dateng jadi kadonya dititip ke temen."

"Iya sama aku juga." Naren ikut berbicara, sebenarnya ia lebih ke malu karena merasa dirinya baru saja bergabung di sekolah itu.

"Dateng karena nungguin orang yang kabur ke sana," cetus Jaffin.

Juna mengeratkan pegangannya pada sendok makan begitu mendengar ucapan Jaffin dengan nada yang menyindir. Seratus persen ia tahu bahwa ucapan itu memang ditujukan kepadanya.

"Siapa, Kak?" tanya Arsen.

"Kak Jeremi kan tidur sama aku, Kak Satria main game, Kak Arsen ada di kamar sama aku. Kak Juna?" terka Naren seperti mengabsen. "Hah masa Kak Juna?" tanyanya tidak percaya setelah sadar jika memang kemungkinan besar Juna yang dibicarakan.

"Udah cepet abisin itu makanannya. Habis ini jangan lupa yang jadwalnya hari ini beres-beres dilaksanain," ucap Mareta menghentikan pembahasannya.

Setelahnya mereka bertujuh kembali melanjutkan sarapannya dengang tenang. Begitu selesai, masing-masing kembali pada kegiatannya sendiri karena ini hari libur maka semua orang akan tetap ada di rumah.

Sayangnya libur kali ini Juna tidak merasa senang, sejujurnya ia cukup menyesal melakukan tindakan bodoh semalam jika hal itu dapat membuat dia dan saudaranya perang dingin. Juna menjadi bingung harus melakukan apa, ia sudah bosan membuka ponsel karena terus-terusan mendapat notif dari kedua sahabatnya.

"Baca buku aja kali ya," gumamnya.

Akhirnya Juna bergerak mengambil buku bacaan tentang luar angkasanya. Ia tengah membaca bagian yang menjelaskan mengenai ursa minor dan ursa major.

Suatu rasi bintang di langit utara, yang namanya berarti Beruang Kecil dalam bahasa Latin. Rasi ini adalah salah satu dari 88 rasi bintang modern, dan juga satu dari 48 yang didaftar oleh Ptolemy.

Tangan Juna dengan cekatan mengambil sticky note dan pena lalu menulis beberapa hal penting di sana.

"Ursa minor berarti beruang kecil, ursa major berarti beruang besar," celoteh Juna bersamaan dengan tangannya yang menulis. "Ih lucu banget beruang kecil, beruang besar," katanya.

Juna kembali membalik halaman bukunya, ia melihat berbagai macam gambar rasi bintang di sana. Cantik dan Juna sangat menyukainya. Juna terlalu asyik membaca dan mencatat hal yang menarik di meja belajarnya, hingga tidak menyadari jika adik satu-satunya itu masuk ke dalam kamarnya.

"Kak Juna," panggil Naren.

Juna terlonjak karena terkejut. "Hah apa?" tanyanya.

"Lagi ngapain? Ayo main bola di lapangan belakang rumah," ajak Naren.

"Sekarang?"

"Iya lah, mumpung masih jam setengah sepuluh."

Jujur, Juna sedang malas keluar kamar karena sudah pasti kakak-kakaknya ada di sana.

"NAREN SINI SAMA KAKAK AJA MAINNYA," teriak Mareta dari bawah.

Mendengar itu Naren tentunya langsung buru-buru berlari ke bawah dan bermain bola bersama kakak pertamanya. Juna menghela nafas, ia menjadi tidak semangat lagi membaca. Maka dari itu bukunya ia kasih pembatas lalu ditutup saja.

Sedangkan di bawah Mareta menatap Naren yang baru saja kembali. "Gimana? Juna lagi apa?" tanyanya.

"Baca buku."

Sebenarnya bermain bola hanya alasan yang Naren berikan karena kakak pertamanya itu menyuruhnya untuk mengecek Juna.

"Iya udah sana, kalau mau main bola sama Satria aja."

"Kak Jerem?" tanya Naren.

"Jadwal dia kan hari ini sama Jaffin."

Naren hanya berohria saja lalu berlari ke lapangan belakang seraya berteriak memanggil Satria. Sedangkan Mareta tengah menimang dirinya, haruskah dia menghampiri Juna? Kasihan juga adiknya itu sudah didiami empat saudaranya dari kemarin.

"Juna kenapa bisa kepikiran kabur coba?" gumamnya.

Padahal yang Mareta lakukan adalah hal biasa, Juna pun biasanya menurut. Tapi mengapa malam kemarin Juna berubah menjadi nekat dan berani kabur?

"KAK MARETA JUNA NANGIS!" teriak Arsen dari atas.

Mendengar itu Mareta buru-buru pergi ke kamar Juna dan menemukan adiknya yang tengah menangis di ranjangnya. Ada Arsen yang berdiri di dekat pintu karena terkejut.

"Kenapa?"

"Nggak tahu, aku mau minjem buku catetan tapi pas masuk Juna lagi nangis."

"Iya udah sana ambil bukunya, biar Kakak yang ngobrol sama Juna."

Arsen mengangguk lalu membawa buku catatan Juna dan pergi dari sana. Mareta mendekati Juna yang masih menangis dengan nafas yang terengah-engah.

"Kenapa?"

Juna menggeleng ribut mendengar pertanyaan kakaknya. Sejujurnya, Juna pun tidak tahu mengapa ia menangis? Tiba-tiba saja Juna merasa sakit luar biasa memikirkan perang dingin antara ia dengan keempat kakaknya. Hatinya mencelos hanya membayangkannya saja, lalu tiba-tiba saja air mata Juna jatuh tanpa diminta.

"Kenapa Juna?" tanya Mareta lembut. Ia duduk di dekat Juna lalu mengusap surai laki-laki itu.

Namun Juna masih menangis. Perasaannya diliputi rasa cemas dan takut secara bersamaan. Juna hanya mempunyai saudaranya, dia tidak punya siapa-siapa dan Juna tidak sanggup jika harus terus perang dingin dengan mereka.

"A-aku ...," ucap Juna dengan nafas tersendat.

Mareta membawa Juna ke dalam pelukannya, ia usap pelan punggung adiknya yang masih bergetar itu. Ia sudah cukup paham alasan mengapa Juna menangis, pasti karena masalah semalam. Mareta tahu betul karakter Juna yang akan terus memikirkan kesalahannya.

"Udah nggak apa-apa. Jangan diulangi lagi ya?" ucap Mareta yang diangguki Juna. "Kamu kan tahu Kakak itu gimana? Siapa pun yang izin keluar lebih dari jam enam sore tanpa salah satu dari kita nggak bakal Kakak kasih izin, bahkan Jaffin sekali pun."

"Maaf."

"Iya, udahan dong nangisnya. Itu nafasnya udah kesendat."

"Jangan diemin lagi," lirih Juna.

Mareta terkekeh lalu menepuk punggung Juna beberapa kali sebelum melepas pelukannya. Wajah adiknya memerah dengan bekas air mata di pipinya.

"Udah ah matanya ntar bengkak. Mending main sana sama Naren dan Satria di lapangan belakang."

Juna mengangguk seraya mengusap air mata yang masih mengalir di kedua matanya. Ia berjalan ke kamar mandi terlebih dahulu untuk mencuci muka, menyisakan Mareta yang menghela nafas lelah usai melihat Juna yang keluar dari kamarnya.

"Maaf kalau buat kamu ngerasa dikekang, Juna. Kamu tahu alasan kenapa Kakak nggak pernah kasih izin dan over protektif sama kalian," gumam Mareta.

Mareta punya alasan dan alasan itu yang membuat Mareta ketakutan.

---

Semogaa sukaa 💗💗

Makasii yang udah baca cerita inii, aku pastiin kalian nggak bakal kecewa ngikutin cerita ini dari awal yang mungkin ceritanya masih biasa aja, xixixi

Jangan lupa vote dan komennya yaa ❤❤

Happy Birth(die) • Yang Jungwon [End]Where stories live. Discover now