Part 6 - 2

117K 3.9K 180
                                    

"Buktinya aku lupa simpan di mana kemarin." Devon beralasan. Ia duduk di kursi di pojok toko.

"Jangan bohong, Devon! Kau ke manakan uang seratus juta itu?" tanya Felicia kali ini dengan nada menekan.

Wajah Devon makin memucat. Tapi itu hanya sebentar saja. Sedetik kemudian wajahnya kembali seperti biasa.

"Aku bayar iuran kuliah, Kak," jawabnya tak acuh. Ia mengeluarkan ponsel dari saku dan mulai memainkannya.

Felicia menggigit bibir menahan amarah mendengar jawaban adiknya. Ia tahu pasti Devon berbohong. Biaya kuliahnya tidak sampai seratus juta meski ia kuliah di universitas internasional yang sangat terkenal di Batam. Lagi pula baru kemarin Devon bilang bayar uang kuliah saat ia mempertanyakan uang penjualan yang raib entah ke mana.

Untuk kali pertama, Felicia menyesal karena sudah memercayai Devon turut mengelola toko dan memegang semua uang hasil penjualan. Seharusnya ia tahu, Devon termasuk pemuda nakal. Dia salah pergaulan. Teman-temannya semua tidak ada yang beres.

Tadinya Felicia pikir Devon bisa dewasa mengingat ayah mereka yang kini sedang sakit. Kondisi mereka saat ini sangat mengenaskan.

Kondisi ayahnya membuat mereka terpaksa menjual satu-satunya rumah yang mereka miliki, pengobatan ayahnya yang dilakukan di luar negeri membutuhkan biaya tidak sedikit. Bahkan satu-satunya mobil yang mereka miliki juga sudah dijual. Bukan hanya itu, hari demi hari utang-utang kian menumpuk. Faktur-faktur utang pembelian alat-alat tulis yang jatuh tempo mulai berdatangan. Mereka tidak bisa menunda pembayarannya lebih lama lagi.

Putus asa memikirkan utang-utang dan uang sewa ruko yang juga harus dibayar, membuat akhirnya Felicia menerima tawaran Marco menjadi istrinya bayarannya.

Felicia pikir, menjadi istri bayaran tentunya lebih baik dibandingkan ia nekat melacurkan diri karena terdesak situasi. Ia tentu saja tidak ingin ayahnya mengetahui kondisi keuangan mereka yang mengenaskan. Perawatan demi perawatan telah membuat kondisi ayahnya kian membaik, dan Felicia tidak mau membuat pikiran ayahnya jadi terbebani, yang pastinya akan berakibat buruk pada kesehatannya.

Tapi harapan Felicia tinggal harapan semata. Devon masih saja dengan tingkah nakalnya.

"Kembalikan uang seratus juta yang aku berikan padamu kemarin," kata Felicia dengan wajah geram. Sesungguhnya ia tahu, seperti apa pun meminta, uang itu tidak akan kembali.

"Uangnya sudah tidak ada, Kak. Sudah habis."

Felicia melotot. Tapi orang yang ia tatap hanya sibuk dengan ponselnya. Felicia menggertak gigi hingga samar-samar terdengar suara gemeletuk.

Felicia menghela napas frustrasi, duduk lesu di kursi kasir dengan perasaan berat.

Ke mana ia harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu seminggu? Ia tidak punya tabungan. Marco hanya memberinya kartu kredit. Untuk meminta uang kepada Marco sekali lagi, sangatlah tidak mungkin, sama tidak mungkinnya dengan mendatangi ibunya dan meminta kembali uang yang ia beri. Pengobatan ayahnya sangatlah penting.

Felicia menghela napas panjang. Ia berdiri dan naik ke lantai atas tempat orangtuanya berada. Setelah berpamitan pada kedua orangtuanya, ia kembali turun dan langsung meninggalkan toko mereka tanpa berkata sepatah kata pun pada Devon. Ia bahkan tidak sempat menoleh ke toko sebelah untuk melirik Kelvin. Kelvin hilang begitu saja dari benaknya saat ini. Yang ada di pikirannya hanya bagaimana cara mendapatkan uang seratus juta itu sekali lagi.

Kontrak ruko di kota seglamor Batam ini memang tidak murah, apalagi di bilangan Penuin yang terkenal ramai dan lancar perbisnisannya.

Dengan perasaan muram, Felicia melangkah menuju mobil mewah Marco yang terparkir sedikit jauh dari tokonya. Di dalam hati ia sangat berharap segera mendapatkan solusi atas masalah yang sedang menggerogotinya.

***

Bersambung...

Evathink

10 april 2019



Bukan Istri Bayaran [Tamat]Where stories live. Discover now