Dia benar-benar tidak ingin bertemu keluarganya dulu. Emosinya belum stabil sepenuhnya.

Maisha ingat kejadian kemarin ketika seluruh keluarganya ada didalam kamarnya. Dia meminta mereka untuk keluar dari kamarnya.

"Kamu ngusir kita, sha?" Tanya mamanya. Dia terkejut mendengar ucapan anaknya itu.

"Iyah. Aku gak mau ketemu kalian."

Sang papa hanya termenung. Dia memperhatikan air muka putrinya itu.

Mata Maisha benar-benar kosong. Redup, gelap seolah tidak ada cahaya kehidupan. Dia sadar perbuatannya selama inilah yang membuat Maisha menjadi seperti ini.

"Sha, mama Minta maaf, sayang." Sang mama berjalan mendekati Maisha lalu memeluk gadis itu.

Maisha sontak bereaksi dengan meronta-ronta. Mamanya terus memeluk guna menenangkan Maisha. Diikuti Regina yang mencoba memegang Tangan gadis itu.

DUGH!

Maisha menendang Regina hingga gadis itu terjatuh. Lalu Maisha mendorong mamanya sekuat tenaga hingga terlepasnya pelukan itu.

"Aku gak butuh Kalian!! Aku gak butuh pelukan mama lagi! Dulu mama kemana waktu aku butuh pelukan mama?!" Jeritnya.

"Apa gak ingat dulu mama pernah pukul aku hanya demi membela Kak Gina?! Apa mama pernah obatin luka aku kaya mama obatin luka Kak Gina?!"

"Dulu kalian kemana disaat aku butuh Kalian?! Hah?! Kalian membiarkan aku sendirian!! Mama cuma ada buat Kak Gina! Gak pernah ada buat aku!!! GAK PERNAH!!!!" Suara Maisha semakin kencang.

Dia menarik rambutnya dengan kencang sambil menangis histeris. Regina langsung memegang tangan Maisha untuk menghentikannya.

"Sha, jangan kaya gini. Nanti kepala kamu sakit." Ucapnya.

PLAK!

Maisha menatap nyalang pada Regina yang tengah merasakan panas di pipinya. Telinganya berdengung saking kerasnya tamparan yang diterimanya.

"Ngerti apa kakak soal sakit?! Kakak gak pernah ngerasain posisi aku! Kakak gak ingat aku dulu sampai dipukul mama gara-gara aku dituduh ambil uang kakak?! Tamparan aku belum seberapa sakitnya dibanding yang aku terima!"

"Sekarang kalian semua keluar!!! Aku benci Kalian!!! AKU BENCI!!!"

Gerakan Maisha yang terlalu cepat membuat luka di pergelangan tangannya kembali mengeluarkan darah. Zafran yang berada di dekat pintu langsung keluar memanggil dokter.

Sedangkan Maisha masih terus bergerak mengusir mereka semua. Dia melemparkan apapun yang berada didekatnya.

DUGH!

DUGH!!

Regina merasakan sakit di pelipisnya karena terkena lemparan apel yang tadi pagi Zafran beli untuk Maisha. Belum usai sakit dikepalanya, dadanya juga ikut terkena lemparan apel lainnya.

Pintu terbuka oleh satu orang dokter laki-laki dan dua orang perawat. Sang dokter meminta seluruhnya segera keluar dari kamar itu.

Maisha diberikan obat penenang. Setelah memberikan penanganan pada luka di tangan Maisha, dokter itu keluar.

"Gimana dok, kakak saya?" Zafran langsung bertanya.

"Untuk saat ini biarkan pasien tenang. Jika dia meminta ingin sendiri, lebih baik diikuti dulu kemauannya. Dan juga..." Dokter itu terdiam sambil memandang ke arah mereka semua.

"...mungkin setelah dari sini, kalian bisa datang ke tempat psikolog atau psikiater profesional demi memeriksa kejiwaan dan mental pasien." Ucapnya.

Dan sejak malam itu keluarganya akan menunggu diluar kamar Maisha. Mereka tidur di kursi tunggu depan ruang inap Maisha dan sesekali mereka akan memantau Maisha dari kaca.

***

Maisha berdiri dari tempat tidurnya. Dia ingin buang air kecil. Pelan-pelan dia berjalan ke kamar mandi. Begitu selesai dia melihat makanan yang sudah tersedia di nakas.

Dia mengambil jus yang tersedia disitu. Namun naas jus itu terlepas dari pegangannya hingga jatuh berserakan di lantai. Telapak kaki dan celananya juga tak luput dari jus itu.

Maisha berniat membersihkan kakinya kala dia lihat papanya sudah masuk.

Dia hendak protes tapi dia juga tidak bisa membersihkan kakinya sendirian.

"Icha, duduk dulu di ranjang ya." Ucap papanya.

Laki-laki itu mulai memunguti pecahan gelas agar tidak terkena kaki. Setelah selesai dia mengambil sebuah lap basah yang ada dikamar mandi.

Laki-laki itu berjongkok di depan kaki Maisha yang menjuntai. Dia perlahan mulai mengelap kaki Maisha yang kotor.

Haris memegang kaki Maisha disertai perasaan sesak didadanya. Kapan terakhir kali dia memperhatikan anaknya ini? Kapan terakhir kali dia membantu anaknya ini yang sedang kesusahan? Sepertinya hampir tidak pernah ia lakukan?.

Haris berhenti sejenak untuk menarik nafas yang terasa sesak. Air matanya jatuh mengenai kaki Maisha. Dia terus membersihkan kaki Maisha di iringi dengan air matanya.

Maisha jelas tahu papanya itu menangis. Dia pun melakukan hal yang sama.

"Gapapa kalo icha benci papa. Papa memang pantas dapetin itu." Ucapnya pelan.

"Walaupun icha benci papa, kalau nanti icha butuh bantuan, icha harus tau kalau papa bakalan bantu icha." Sambungnya.

Laki-laki itu berdiri. Maisha bisa melihat mata laki-laki itu merah. Guratan lelah tercetak diwajah laki-laki itu.

Haris memeluk Maisha. Dia menyesal atas apa yang ia lakukan dulu.

Dia jarang mau mendengarkan cerita Maisha waktu kecil. Dia jarang menghabiskan waktu dengan Maisha.

Harusnya dia bisa berlaku adil pada anak-anaknya. Harusnya dia bisa menghalau rasa sakit untuk anaknya juga. Harusnya dia memberikan kenangan manis juga pada Maisha.

Dan seharusnya dia bisa menjadi cinta pertama untuk anaknya.

Sedangkan Maisha semakin terisak saat mendapatkan pelukan dari papanya.

"Harusnya aku bisa Terima pelukan papa dari setiap momen, pa. Bukan aku terima hanya pada saat aku sakit." Ucapan Maisha membuat tangisan Haris semakin kencang.

Malam itu, Haris benar-benar sadar. Bahwa kehidupan putrinya yang kurang baik karena perbuatannya sendiri.

****

Hai Hai..

Jangan lupa komen sebanyak-banyaknya

Mau info

Mungkin beberapa part kedepan aku bakalan bikin yang seneng-seneng dulu ya....

Sebelum part sedih-sedih lagi hahhaha.

Oke segitu dulu.

Maaf gak bisa panjang-panjang karena tangan urang gak bisa bergerak banyak....

Jangan lupa follow ig @xx.dlizxx

Biar dapet update terbaru dari cerita ini.

Adiooos....





Shadow [Complete]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα