29. Sebuah telepon

88.1K 10.7K 1.1K
                                    

Jangan lupa follow akun ini dulu ya, yang gak follow gak bestie nih!

Yes, ketemu lagi nih!

Btw, apa kabar.

Jangan lupa spam komen ya, kalian mood banget kalau ngasih komentar🤧

Jangan lupa spam komen ya, kalian mood banget kalau ngasih komentar🤧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Darimana kamu Nauzan?"

Hanan berdiri di depan pintu rumah, dengan tangan yang ia lipat di atas dada. Pagi ini, Nauzan baru saja pulang. Sejak semalam, cowok itu tidak dapat di hubungi.

Pipi memar, ujung bibir bengkak. Pelipis sedikit robek, membuat Hanan menghela nafas berat. Lelah untuk marah rasanya, ia berjalan pelan menghampiri Nauzan yang enggan untuk menoleh.

"Sekali lagi Ayah bertanya, darimana kamu?!" Kali ini, nada bicara Hanan meninggi. Urat-urat di lehernya mulai terlihat, lelaki itu mulai tersulut emosi.

Nauzan masih diam, ia malas berdebat dengan Hanan. Semalam, Neraca menghajar dirinya habis-habisan. Cowok itu kecewa, Nauzan yang ia kenal sudah berubah. Mungkin Neraca memang terlihat tidak memperdulikan Nauzan, mau bagaimanapun mereka pernah menjadi saudara satu rumah, dan di anggap kembar.

"Anak brengsek!"

Bugh

Bogeman keras mendarat di pipi Nauzan, membuat cowok itu tersungkur ke arah belakang. Bukan pipi yang sakit, tapi hatinya. Perlahan, pandangan cowok itu menajam.

"Gue bukan anak lo bangsat!" Teriak Nauzan emosi.

Untuk yang pertama kalinya juga, Nauzan berani melawan Hanan. Ia bangkit, meraih jaketnya yang jatuh ke atas lantai. Melewati Hanan begitu saja, memasuki rumah besar yang kosong, dan hening.

"Ayah kecewa sama kamu, kenapa kamu berubah?!" Hanan kembali berujar, masih belum puas.

Terdengar suara kekehan pelan, Nauzan meremas jaketnya dengan keras. Urat-urat di tangannya terlihat. Jika saja Hanan, bukan Ayahnya. Sudah di pastikan ia akan menghajar lelaki itu habis-habisan.

"Gue gak perlu jelasin kan, ini semua gara-gara siapa?" Sahut Nauzan, sarkasme.

Mungkin dulu ia pendiam, taat akan agama. Menuruti semua yang Nura, maupun Hanan perintahkan. Nauzan, seperti robot berjalan. Jika ia tidak menurut, maka hanya Neraca yang mereka perhatikan. Neraca memang sangat ceria, mudah membuat orang lain nyaman.

Garis Takdir Untuk Hawa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang