the boy in the corner

3.4K 298 14
                                    

Gadis bersurai hitam itu menatap penunjuk waktu dan sosok lelaki yang berada pada sudut ruangan secara bergantian.

Ujung celemek yang dikenakan telah diremas berulang kali sebagai media pereda rasa gugupnya saat ini.

Jantungnya yang berdetak melebihi kecepatan normal pun semakin membuat gelisah tak karuan.

"Lisa, ini sudah jam dua. Cafe akan segera tutup. Seperti biasa, tolong kau usir pelanggan terakhir itu." Ucap lelaki berkacamata yang tengah menepuk pelan pundaknya.

"..O-oke." Jawab Lisa dengan wajah yang semakin pucat.

"Hei, tunggu." Gadis itu memutar tubuhnya ketika sang lelaki berkacamata menarik ujung celemeknya, "Kau tidak menangis di hari terakhirmu bekerja, bukan?" Ejeknya.

"Tidak akan ada hal seperti itu, ya." Setidaknya itulah kalimat yang terlontar dari mulut Lisa sebelum dirinya kembali berjalan mendekati sang pelanggan.

Maniknya fokus menatap sosok yang masih serius dengan pemandangan diluar jendela.

Pelanggan yang selalu ia temui selama shift malamnya.
Pelanggan yang selalu duduk di sudut ruangan cafe dan memesan menu yang sama selama tiga bulan Lisa bekerja disana.
Pelanggan yang selalu datang tepat pukul tujuh.
Pelanggan yang harus selalu diusir karena menghabiskan waktu dengan menatap layar ponsel dan melamunkan pemandangan di luar jendela hingga cafe tutup.
Pelanggan yang terlihat kesepian.
Namun ia juga merupakan pelanggan yang luar biasa tampan.

Hingga akhirnya, ia telah berubah menjadi pelanggan yang sudah lama Lisa perhatikan.

Entah sejak kapan, yang pasti shift malam Lisa selalu terasa menyenangkan sejak ia menyadari kehadiran lelaki bersurai hitam itu.

Dan kini, detik ini, saat ini, ia akan menjadi pelanggan terakhir Lisa yang menerima pernyataan cinta darinya.

Memang betul ini terdengar gila. Tapi Lisa sudah membulatkan tekadnya.

Bukan berarti Lisa adalah gadis yang gampang jatuh hati. Hanya saja, kesempatan seperti ini takkan datang dua kali.

Karena ini adalah hari terakhirnya bekerja, Lisa berpikir jika belum tentu ia akan bertemu kembali dengan sang pemikat hati. maka dari itulah Lisa berani melakukannya.

Lagipula jika ditolak, maka ia tak harus bertemu dengan pelanggan itu lagi.

Namun jika Lisa diterima, bukankah hal itu akan menjadi doorprize yang menyenangkan hati?

Oke. Aku akan melakukannya!

Lisa menghembuskan nafasnya dengan tegas. Tekadnya sudah sebulat bulan purnama yang berada di atas angkasa.

Pun langkahnya semakin dekat dengan lelaki yang masih belum menyadari keberadaannya.

"Permisi." Ucap Lisa sembari mengetuk meja dengan pelan.

Bak sebuah adegan di dalam opera sabun, Lisa merasa jantungnya akan meledak saat manik indah sang pelanggan itu menatapnya balik.

"Mohon maaf, kami akan segera tutup."

Lelaki bersurai hitam itu mengangguk paham. Ia bersandar pada kursi di belakangnya dan terlihat meregangkan ototnya yang terasa kaku selama beberapa detik.

"Kau sudah bekerja keras." Sebuah senyum tipis telah ditamparkan ke arah Lisa hingga berhasil mengancam kondisi jantungnya saat ini.

Tanpa menjawab, Lisa pun hanya mengantar sang pelanggan hingga mereka berada di ambang luar pintu cafe.

"Anu, permisi." Dengan gugup, Lisa telah menghalangi jalan sang pelanggan yang hendak berjalan ke arah mobilnya.

Tentu saja sang pelanggan terlihat kebingungan dengan tingkah Lisa. Ditambah lagi dengan pemandangan wajah gadis yang sudah semerah tomat dihadapannya.

WonderwallWhere stories live. Discover now