27.

15.9K 1.5K 956
                                    

~𝓐꧂𝓐~

Satu jam yang lalu Kaivan sudah tidak betah didiami oleh Gesya, alhasil untuk mendinginkan darahnya yang mendidih, dia memilih mandi.

Tidak baik jika terus di depan Gesya tapi tidak dianggap sama sekali. Amarahnya meletup-letup. Dalam hati walau ia mengaku salah, tapi dia juga punya ego yang sangat ingin mengalahkan rasa bersalahnya.

Ada satu pemikiran yang mendorongnya untuk berpikir apa yang dilakukan itu sudah benar.

Gesya yang membuat masalah. Gesya yang tidak bisa dinasehati. Gesya yang tidak mau mengerti.

Kalimat itu terus muncul dalam benaknya, berusaha mengusir rasa bersalahnya yang mengatakan, sebesar apapun kesalahan Gesya, tidak seharunya ia memukul. Apalagi tenaganya ... harus Kaivan akui, ia tidak mengeluarkan sedikit tenaga.

Ya walau bagaimanapun, walau Kaivan benci, apa yang dikatakan ayahnya itu adalah benar. Banyak wanita yang menginginkannya. Andai kata dia menikahi wanita yang mencintainya, hal seperti ini tidak akan terjadi.

Namun bagaimana lagi, yang dia mau hanya Gesya. Sayangannya Gesya tidak mudah dijinakkan.

Cinta Gesya terlalu besar untuk Bian.

Gesya tidak mau percaya padanya. Foto yang dia berikan pun dianggap hanya editan. Padahal jelas-jelas itu adalah foto asli. Bian sering menghabiskan waktu bersama Bila.

Kaivan rasa pun, jika dia membawa Gesya ke Bian yang sedang bermadu kasih dengan Bila, ia akan difitnah sudah melakukan segala cara untuk membuat Bian terlihat berengsek di mata Gesya.

Perempuan ini terlalu naif.

“Sampai kapan mau terus melamun?” Kaivan duduk di samping Gesya yang tengah termenung di menatap jam digital yang ada di atas nakas.

Posisi Gesya duduk menyamping dengan tubuh bersandar pada headboard, dan kaki yang tertekuk ke atas bertumpu pada nakas.

Tidak mendapat jawaban. Itu sudah biasa. Kaivan sudah diperlakukan seperti itu sejak tadi pagi—ah ralat, kemarin malam.

“Apa aku perlu ke rumah sakit sekarang dan melakukan hal yang sama pada Bian? Memukulnya sampai dia mati? Aku rasa ini tidak adil kan, harusnya dia dapat juga.”

Tidak, tidak! Kaivan tidak akan melakukan itu. Ia hanya mengancam. Mana mungkin dia melakukan itu pada Bian. Semakin sekarat semakin panas juga dirinya. Gesya hanya akan memikirkan Bian, Bian, dan juga Bian.

Tapi ... kalau laki-laki itu hanya sampai koma selama bertahun-tahun, ia rasa itu bukan masalah.

Haruskah ia melakukannya sekali lagi?

“Diam artinya setuju. Okay. Satu jam lagi kau akan dapat kabar dia mati.” Kaivan langsung berdiri.

Gesya langsung menahannya. Dia menarik tangan laki-laki itu sampai sang empu terduduk lagi. “Di rumah saja. Jangan ke mana-mana.”

Satu tangan Gesya meremas badcover di bawahnya.

Kaivan mengangguk. “Baiklah, kalau kau memaksa.” Kaivan pura-pura tidak tahu kalau Gesya tengah merasa takut sampai mencengkeram tangannya kuat. Kuku-kuku panjang perempuan itu menusuk kulitnya, tapi biarlah. Kaivan bisa berlagak seolah itu tidak menyakitinya sama sekali. Toh, punggungnya juga penuh dengan cakaran Gesya.

Mata Gesya bergerak menatap tubuh Kaivan. Tanpa sadar jantungnya semakin berdetak lebih cepat dari biasanya.

Melihat Kaivan yang bertelanjang dada seperti ini kembali membawanya ke masa itu.

He is CrazyWhere stories live. Discover now