07. Persamaan

30K 2.2K 209
                                    

07. Persamaan

               Berbeda dengan pagi sebelum-sebelumnya, pagi ini Kaivan tersenyum setelah membuka mata. Wajah damai Gesya dalam pelukannya benar-benar mendebarkan hati. Biasanya ia selalu marah dan kesal di pagi hari dikarenakan Gesya yang selalu menghubungi Bian begitu membuka mata. Mengucapkan kalimat selamat pagi yang terdengar sangat menjijikkan.

“Pagi, Baby,” sapa Kaivan begitu Gesya menggeliat pelan.

Perempuan itu melenguh. “Pagi, Sayang,” balasnya dengan suara serak.

Rasa nyaman dan hangat membuatnya tak rela meninggalkan, ia semakin memeluk Kaivan dengan erat. Namun, dalam pikirannya, Kaivan bukanlah Kaivan melainkan bantal guling yang nyamannya tiada tara.

“Ayo bangun, kita harus sarapan.” Walau tidak rela mengurai pelukan ini, tetapi tetap saja mereka harus sarapan. Gesya akan menderita sakit perut jika tidak mengisi perut di pagi hari.

“Sebentar lagi, Bian.”

Hening terjadi.

Kepala Gesya seolah berputar hebat. Ia baru saja mendapatkan kembali ingatannya. Matanya langsung terbuka lebar. “Maksudku, Kaivan, ya Kaivan!” katanya sungguh-sungguh. Ia kesulitan menelan ludah.

Bodoh! Gesya begitu merana. Mulutnya selalu mencari gara-gara. ‘Ah, Tuhan, tolong selamatkan aku dari amukan Kaivan.’ Hatinya menangis.

“Hari masih pagi, Gesya.” Tidak bisa menghilangkan rasa kesal, Kaivan melepaskan pelukannya dan bangkit. Kancing piyamanya dilepas satu-satu membuat alarm berbahaya berbunyi nyaring di kepala Gesya.

“Kaivan ....” Gesya merengek. Tidak bisa seperti ini. Malam selamat, pagi diterkam. Mana bisa begitu! Ia langsung memeluk tubuh Kaivan dari belakang. “Jangan marah. Aku hanya refleks. Sebenarnya dalam hatiku yang terdalam, aku mengatakan namamu. Sungguh! Bian itu kalah jauh darimu, hanya saja mulutku terlalu sering menyebut namanya. Aku mohon, maafkan aku, Sayang.”

Rasanya Gesya hampir muntah dan tak ingin memperlihatkan wajah. Ia mual dan malu sekali.

“Aku mau mandi. Lepas!” Hanya omong kosong, Kaivan tahu itu. Itu tidak menghiburnya sama sekali. Gesya terlalu payah! Disentakkannya tangan Gesya dengan sedikit kuat.

Sudah malu, tidak membuahkan hasil pula! Gesya kesal. Namun, tunggu! Mau mandi?

Gesya langsung tersenyum cerah. Itu artinya dia selamat. ‘Terima kasih, Tuhan!’ hatinya menjerit girang.

“Mau mandi bersama?” tawar Kaivan dengan santai.

Gesya menggeleng dengan cepat. Tawaran gila! “Tidak. Mandi saja sendiri. Aku masih ingin tidur sebentar lagi.”

“Baiklah, tapi ingat! Lain kali aku akan memaksamu.” Seringai terbit dari bibir Kaivan.

“Itu sebuah ancaman?” tanya Gesya dengan sedikit sinis.

“Hanya pemberitahuan.” Kaivan tertawa kecil. Ia membungkuk dan mengecup pipi Gesya. “Pagi, Gesya.”

“Pagi, Kaivan.” Terpaksa, sangat tepaksa. Gesya meremas baju Kaivan. Tahu jika Kaivan tidak akan pergi begitu saja Gesya sedikit bangkit, ia mengecup pipi Kaivan yang membuat Kaivan tersenyum menang.

“Jangan kabur.” Kaivan mengacak rambut Gesya pelan. Ia melangkah pergi dan saat tubuhnya sudah tak terlihat karena masuk ke dalam kamar mandi, Gesya menjerit tertahan.

“Aku pasti sudah gila!” Gesya hampir menangis. “Bian, maafkan aku!”

Malam yang panjang dan pagi yang gila. Gesya mengacak-acak rambutnya kasar. Saat melihat ke cermin wajahnya memerah. Ah, Tuhan! Betapa memalukan dirinya?! Lihatlah, ada air liur yang sudah kering di dekat bibirnya.

He is CrazyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang