14. Amarah

19.1K 1.6K 132
                                    

14. Amarah

                Gesya menusuk-nusuk boneka beruangnya menggunakan besi yang dipanaskan dengan api lilin. Ia kesal bukan main. Wajahnya masih sembab akibat kelakuan Kaivan semalam.

“Mama lebih baik jujur sekarang juga. Di mana kembaranku? Dia pasti yang menipu Kaivan kan? Iya, kan? Aku tidak pernah menikah dengan dia!” Gesya memekik kesal. Wortel di tangan adiknya yang tengah dikupas langsung direbut dan dimakan dengan kasar.

Brayen sontak angkat tangan.

Gesya langsung menatap dengan tajam. Sisa wortel di tangannya langsung dipukulkan ke kepala Brayen dengan kuat.

“HEY, GESYA JELEK!” Brayen memekik. Apa salahnya? Ia hanya mengangkat tangan dan kakaknya langsung memukul kepalanya dengan brutal. “Berhenti! Kau mau membuat otakku berserakan?!”

“BAGAIMANA MUNGKIN AKU MELAKUKAN ITU, KAU SAJA TIDAK PUNYA OTAK!” Gesya menggigit leher adiknya dengan kuat.

“Sialan! Kau tadi bertanya siapa kembaramu, aku sudah menjawab, kenapa kau malah marah huh? Kau tidak ingat jika banyak yang mengatakan jika kita kembar? Kau adalah aku versi perempuan, dan aku adalah kau versi laki-laki.”

Perasaan Gesya makin kesal. Ia memukul-mukul dada Brayen dengan kuat. “Sialan! Beraninya kau menipu Kaivan dengan identitasku! Tanggung jawab sekarang juga! Katakan padanya, aku Gesyana Casandra yang sangat cantik ini bukan istrinya! Bisa-bisanya kau menipu dia! Dasar Brayen sialan!”

Wow.

Brayen menutup mulutnya. Sepertinya kakaknya mendekati kata gila. Mana mungkin sih, ia menyerahkan diri pada Kaivan. Dan yang paling tidak mungkin adalah tuduhan kakaknya itu, memang dipikir ia laki-laki apa?!

Ia sama sekali tidak menipu Kaivan. “Sudah, berhenti menyiksaku, dasar gila! Walau aku belum merasakan lubang, tapi aku yakin itu yang terbaik dari pada batang.”

“Brayen!” Meira memberi peringatan kepada anaknya itu.

Brayen mencibir. Ia mengusap leher dan dadanya yang terasa sakit. Ia menatap horor saat melihat kakaknya kembali memanaskan besi. Saat warnanya sudah merah, Gesya menoleh dengan pelan ke Brayen.

Laki-laki itu mengusap tengkuknya. Ia tertawa bodoh. “Hehehe, ah, kakakku cantik sekali. Seperti bidadari,” ungkapnya mulai mengambil ancang-ancang kabur. Kakaknya mengerikan sekali. Bisa-bisanya ia jadi lampiasan kekesalan kakaknya itu.

“Kemari kau, Brayen! Dasar adik tak tahu diri! Kau kan yang membuang semua barang pemberian Bian?! Dasar kurang ajar! Adik sialan! Mata duitan! Mati saja kau!” Gesya memekik. Kesabarannya menyentuh angka nol. Tak bisa lagi menahan amarah yang meledak-ledak.

“Jangan salahkan aku! Salahkan saja kakak ipar!” Brayen melompat dari tempatnya. “Asal kau tahu, aku melakukan semua ini untukmu.” Brayen mengambil jarak jauh karena kakaknya sudah bersiap melemparkan besi. “Jika aku tidaklah membuangnya, kau akan diculik dan perutmu diobrak-abrik. Aku mana bisa membiarkan itu. Aku kan sangat menyayangimu.”

“Membayangkan ususmu—”

“MATI SAJA KAU SIALAN!” Napas Gesya semakin menderu kesal mengetahui adiknya sangat berpihak pada Kaivan. Jika saja otaknya sudah tak dapat berpikir dengan baik, pasti ia tusuk mulut Brayen menggunakan besi.

“Jaga mulutmu Gesya. Seburuk apapun dia adikmu. Kenapa kamu mendoakannya mati hm? Kamu tidak boleh seperti itu.” Meira melepaskan sarung tangan dan menyudahi acara cuci piringnya.

“Hatiku terluka.” Brayen dengan sengaja menyorot Gesya dengan kecewa. Langkah kakinya lesu yang disengaja. Saat sudah dirasa tidak terlihat oleh mata Gesya, Brayen tentu saja langsung tertawa. Pasti sebentar lagi kakaknya itu akan meminta maaf padanya. Dan ia akan sok jual mahal, merajuk setengah abad. Sampai kakaknya sudah sah menyandang status sebagai nyonya Kaivan dan membelikan banyak banyak barang mahal untuk membujuknya. “Kau sangat pintar, Brayen.”

He is CrazyМесто, где живут истории. Откройте их для себя