Bab 3 : Alasan yang Sederhana

137 29 98
                                    

Pagi-pagi Ibu mereka -- Yeni, sudah menyiapkan sarapan. Meski di rumah ada pembantu sekalipun, untuk urusan makanan tetap Yeni yang memasak dengan menu variatif dan menyehatkan. Dulu, sebelum Juwita dan Alleta lahir, Yenni adalah seorang perawat di rumah sakit Amanah, sebuah rumah sakit cukup elit di ibukota. Namun karena menikah dengan ayah mereka -- drg. Khairul Anwar, ibu mereka memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus membesarkan dua orang anak gadis yang cantik-cantik dan berprestasi.

Ayah mereka yang akrab disapa Khai adalah pemilik klinik gigi yang cukup terkenal di ibukota. Klinik gigi itu memiliki bangunan yang cukup luas di daerah Tanah Abang. Klinik gigi yang dibangun Khai juga memiliki beberapa cabang di beberapa kota besar lainnya seperti di Bandung, Banda Aceh, Pekanbaru, dan Medan. Karena memiliki moto memuaskan pasien, klinik gigi yang dibangun itu hampir setiap hari ramai dikunjungi pasien. Khai cukup sibuk mengurus kliniknya, hal itu membuat pria itu sering ke luar kota.

Pagi ini Khai tampak sedang membaca koran sambil menunggu Yeni menyiapkan sarapan. Pagi ini sarapan yang disiapkan adalah sandwich dengan roti gandum, dan segelas susu rendah lemak. Yeni dan Khai berusaha sebaik mungkin menjalankan peran mereka sebagai orang tua. Yeni sebagai ibu rumah tangga selalu perhatian dengan anak-anaknya dan selalu mendampingi aktivitas mereka. Sementara Khai, meski sibuk tetap menyempatkan momen makan bersama  dan sesekali melakukan quality time dengan anak-anak.

"Pagi, Ayah. Pagi, Bu," sapa Juwita yang baru saja menempati kursi yang disediakan.

"Pagi, Sayang," jawab Yeni dan Khai serempak. Mereka kompak memberikan senyuman penuh cinta untuk anak sulungnya.

"Adikmu, mana?" tanya Yeni sambil menuangkan air putih dari teko kaca.

"Enggak tahu," jawab Juwita santai sambil mengangkat bahunya.

"Mungkin masih siap-siap, Bu. Alleta mana pernah terlambat," timpal Khai.

Sambil menunggu Alleta, mereka pelan-pelan memulai sarapannya. Khai melihat Juwita yang sesekali sibuk memainkan ponselnya. "Sayang,  habiskan dulu sarapannya."

"Oh, iya. Maaf, Yah," jawab Juwita seraya memasukkan ponselnya ke saku kemejanya.

"Pagi, Yah, Bu," sapa Alleta yang baru saja memasuki ruang makan dengan tergesa-gesa dan langsung duduk di sebelah Juwita.

"Letta, kenapa agak terlambat?" sapa Yeni lembut.

"Em, anu, Bu." Tiba-tiba kata-kata Alleta terinsteruspsi karena cubitan Juwita di pahanya.

Juwita menarik kembali tangan kirinya yang baru saja mencubit Alleta. Gadis itu tidak ingin adiknya mengadu kepada ayah ibunya kalau tadi dia meminta Alleta membantu mencari sepatunya yang hilang sebelah. Setengah jam mencari sepatu akhirnya bertemu di atas lemari pakaian Juwita sendiri. Juwita baru ingat karena sepulang sekolah dia kesal dan melempar sepatunya dengan asal. Alleta mendahulukan Juwita, padahal tadi dia sendiri belum mandi.

"Em, enggak apa-apa, Bu. Tadi sepatu Letta hilang sebelah. Letta terlalu ceroboh sampai lupa kalau sepatu itu ada di atas lemari pakaian," cerita Alleta.

Meski Alleta mengaku ceroboh, Juwita tahu kalau Alleta sedang menyindir dirinya. Sebab yang kehilangan sepatu adalah Juwita, bukan Alleta. "Brengsek!" rutuknya dalam hati.

"Letta, Kakak paham, Kok. Kalau kamu kebanyakan main Hp sampai kamu lempar sepatu ke mana-mana. Lain kali kamu minta bantuan Kakak aja. Kakak mau kok, bantu kamu. Yang penting, kamu jangan main HP sampai malam," sindir Juwita. Gadis itu tahu kalau Alleta sering menonton drama Korea maraton sampai malam.

Alleta menatap Juwita sekilas lalu kembali fokus ke sandwich yang ada di tangannya. Gadis itu tidak ingin pagi-pagi bermasalah dengan Juwita. Sebab, jika pagi bermasalah sudah pasti sampai malam akan bermasalah dengan Juwita.

Fake Girl (Selesai)Where stories live. Discover now