Tiga Puluh Tujuh : A to Z

115 15 0
                                    

📕📕📕

Aku tidak pernah menyangka bisa ngobrol sebanyak ini dengan Papa. Yap, meskipun selalu aku duluan yang mulai bicara. Selama ini aku selalu mengirimkan pesan suara yang terasa begitu berat, padahal nyatanya bicara langsung bisa seringan ini.

Percakapan malam itu, membuatku sedikit banyaknya memahami Papa. Tidak hanya aku, dia juga amat terluka atas kepergian Mama. Ternyata semua ini berat bagi kami dan kami justru membawa luka ini sendiri-sendiri.

Setelah malam itu, Papa tidak lagi menilaiku dan mengkritik secara berlebihan. Dia membiarkanku memutuskan apa saja—masalah perkuliahan—sesuai pilihanku. Perlahan tapi pasti, aku mulai kembali masuk les. Secara bertahap.

Minggu pertama satu jenis les, minggu kedua mulai tiga, dan begitu seterusnya. Otakku mulai tenang dan bernalar sesuai dengan kendaliku.

"Papa ada pertemuan lima hari di Bandung." Manis sekali rasanya ketika Papa meminta izin akan kegiatannya. Aku mengulum senyum dan mengangguk sekali. "Hati-hati di jalan."

"Kau mau oleh-oleh?"

Aku menggeleng pelan. "Papa bisa bawakan dodol untuk Auntie."

Dia mengangguk sekali dan melenggang pergi. Namun, mataku memicing sesaat, teringat akan sesuatu. "Papa," panggilku. "Aku ingin ikut."

Raut wajahnya perlahan berubah dan senyumnya mengembang. "Benarkah? Tapi bagaimana dengan kursusmu? Waktu persiapanmu tidak banyak lagi, bukan?"

Aku mengedikkan bahu. "Ya, tapi Denti ingin menghabiskan waktu dengan Papa. Sekalian lihat-lihat kampus Padjajaran dan UPI, kudengar mereka lumayan bagus."

Terlihat kerutan halus yang terukir di dahi Papa. Dia mengusap wajahnya sekali dan tertawa ringan. "Papa senang mendengarnya. Kita pergi besok."

"Oke." Aku tersenyum hangat. Dari kejauhan, kudapati Auntie Jane yang juga tersenyum padaku. Sebuah senyuman penuh. Senyuman persis seperti yang Maureen lukiskan ketika aku izin pamit karena tugas sosial yang selesai. Senyuman yang serupa ketika Diandra melihat ketelatenanku membersihkan ranjang para lansia. Senyuman yang sama dengan seringai Fran ketika kami saling bertukar cerita di Prabumulih.

Baru-baru ini aku mengetahui jika itu yang disebut dengan "Senyuman Bangga". Entah kenapa aku baru menyadarinya dan mengakui jika itu yang selama ini kucari dari Mama dan Papa. Padahal sejatinya aku sudah mendapatkan cukup banyak jenis senyuman seperti itu.

Yeah, mungkin sebentar lagi aku juga akan mendapatkannya dari Papa.

Tapi, hei, ternyata tidak perlu piagam, sertifikat, trophy, atau penghargaan apa pun. Bahkan hanya dari mencuci kaki atau sekadar meminta maaf sekalipun, aku sudah bisa mendapatkannya. Dan anehnya, hatiku terasa lebih hangat dibandingkan ketika orang-orang memberikan ucapan selamat—sebagai bentuk pengakuan—atas keberhasilanku menjadi juara umum satu.

Dalam suasana hati yang penuh, aku membawa buku soal UTBK keluar. Berjalan jauh menuju Eighties yang saat ini mulai ramai dan sulit menerima orderan. Ian dulu bilang aku memesan pizza setiap merasa sedih.

Namun kurasa tradisi itu tidak selamanya bertahan.

Sampai di sana, aku mengantri—untungnya sedang sepi—untuk keju dan daging seraya menimbang-nimbang akan memakannya di resto ini secara langsung atau tidak.

Dalam posisi berdiri, aku mulai membuka buku dan menilik soal-soal Biologi.

"Hei," suara ringan terdengar jelas dari belakang. Aku melirik sekilas dan melebarkan mata. "Oh, hei," balasku seraya menutup buku. "Erik, benar? Anak LCC, temannya Doni?"

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang